Nahas! Kuntilanak itu menatapku sambil masih memeluk adikku, dan yang tadinya menangis, tiba-tiba tertawa dengan lengkingan yang sangat keras. Ketakutanku semakin menjadi-jadi. Kupejamkan mataku, berharap ini hanya ilusi, namun suara tawa kuntilanak itu semakin keras. "Hihihii... hihihiiii..."
Tiba-tiba suara itu menghilang dan ruangan menjadi sunyi. Kuberanikan diri membuka mata, dan benar saja, kuntilanak itu sudah tidak ada di dekat adikku. Rasanya lega dan plong. Aku yang berpikir semuanya sudah baik-baik saja, mencoba menutup pintu kamar adikku. Sial! Ternyata kuntilanak itu ada di balik pintu yang sedang aku tutup.
Kuntilanak itu tidak menangis atau tertawa. Dia hanya melototiku tajam, dan tiba-tiba berbicara, "Sekarang giliranmu." Kuntilanak itu langsung menyergap dan memelukku dengan erat. Ketakutan yang hebat membuatku tak bisa berbuat apa-apa. Ayat-ayat suci yang aku ucapkan sepertinya tidak berpengaruh terhadapnya.
Dekapannya semakin erat dan kuat, membuatku sulit bernapas. Kupasrahkan saja hidup ini di pelukan kuntilanak tersebut. Benar saja, aku tak kuat menahan dekapannya yang membuatku sesak. Dengan sekuat tenaga, aku berteriak sekencang mungkin, namun tak ada yang mendengar.
Dan ternyata, aku masih tertidur dan tak pernah beranjak dari tidurku. Aku pikir dari tadi aku sudah bangun untuk pergi ke dapur dan minum air, tapi ternyata semuanya hanya mimpi.
Keesokan paginya, saat kami sedang sarapan, tiba-tiba adikku bertanya kepada ibu, "Mah, adek tadi malam kayak ada yang meluk tidurnya terus sambil nangis, itu Mamah, bukan?" Pikiranku langsung kacau balau. Apa yang sebenarnya terjadi? Semalam itu mimpi atau nyata? Aku terdiam mendengar cerita adikku, sambil menatap sarapanku dengan penuh ketakutan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H