Pagi yang cerah diiringi sinar matahari yang menghangatkan tubuh, begitu juga keindahan yang dipancarkan oleh Julaeha, sang kembang desa dari Desa Sindang Sari. Bukan hanya parasnya yang cantik, namun Julaeha juga seorang anak pemilik pondok pesantren terkenal di kampungnya, yaitu Kiyai Soleh. Pagi itu, Julaeha mengawali semester pertamanya sebagai mahasiswi di salah satu universitas Islam di kotanya.
Semangat mengiringi Julaeha untuk mengawali hari pertamanya sebagai mahasiswi. Seusai sarapan, Julaeha langsung menyalami Abah dan Uminya untuk segera berangkat menuju kampus yang berada di tengah Kota Serang.
"Umi, Abah, Enong berangkat dulu ya," ucap Julaeha.
"Iya, Nak, hati-hati," jawab Abah dan Uminya sambil membersamainya ke gerbang rumah.
"Assalamualaikum," ucap Julaeha sambil menyalami kedua orang tuanya.
"Walaikumsalam," jawab Abah dan Uminya.
Letak rumah Julaeha persis di pinggir jalan sehingga memudahkan ia untuk menaiki angkutan umum. Dari jauh, Abah dan Uminya memandangi dengan penuh doa untuk anaknya yang sudah beranjak dewasa.
Tidak butuh waktu lama bagi Julaeha untuk mendapatkan angkot yang lewat persis di depan rumahnya. Sambil melambaikan tangan sebagai tanda memberhentikan angkot, angkot itu pun berhenti tepat di depan Julaeha. Melihat angkotnya masih kosong, Julaeha memilih duduk di belakang kursi supir dan di depannya, tepat di pintu keluar-masuk penumpang.
Julaeha fokus dengan HP-nya, ia sedang mengecek jadwal perkuliahan hari itu dan membaca silabus perkuliahan. Di waktu yang sama, sang supir, yaitu Hamdan, terus memandangi Julaeha, sang kembang Desa Sindang Sari itu, dari kaca spion belakang dengan pandangan kagum pada kecantikan Julaeha. Namun, Julaeha masih belum menyadarinya.
Beberapa penumpang naik ke dalam angkot yang siap mengantarkan mereka ke tujuan, namun kegiatan Hamdan melihat Julaeha masih belum berhenti sampai ke tujuan terakhir, yaitu Terminal Pakupatan yang terletak di pinggir Kota Serang.