Sengaja saya buat judulnya membahana seperti itu, agar dikira "Wah kayaknya keren nih tulisan". Maaf kamu salah, coba lagi di tulisan berikutnya ya!
Mari berjalan kaki bersama sama
Menghabis kan hari
Sibuk terus di kantor tak baik pula
Slalu pulang malam dan lupa keluarga
Jangan marah mari bernyanyi saja
Rindu semerbak alami
Riuk melambai
Walau berjalan kaki
Berbekal sepenggal lirik lagu Vakansi milik White Shoes and the Couples Company, saya berniat untuk menghabiskan libur akhir pekan yang tergolong panjang dengan bersenang-senang. Yah setidaknya untuk keluar dari rutinitas baru yang saya hadapi. Rutinitas yang benar-benar membuat saya ... ah sudahlah, tak usah diperpanjang, lagipula Mak Erot sudah tiada.
Ditemani beberapa teman, saya memutuskan untuk pergi ke arah barat. Ke Pulau Sumatera. Pulau yang tanahnya belum pernah saya jejaki. Mengacu film Warkop DKI, "kayak yang udah-udah aja, kita ke pantai!" maka tujuan saya kali ini adalah pantai. Namanya pun terdengar asing di telinga, Teluk Kiluan. Beberapa sering salah ucap menjadi kiloan, standar.
Saya sempat mencari beberapa data mengenai Teluk Kiluan. Dari gambar-gambar yang tersaji, kelihatannya Teluk Kiluan cukup aduhai untuk dijadikan tempat tujuan. Teluk Kiluan masuk ke dalam area Provinsi Lampung. Tepatnya enam jam perjalanan dari Pelabuhan Bakauheni. Teluk Kiluan masih berada di bawah pemerintahan Kabupaten Tanggamus. Tepatnya di Desa Kiluan Negeri, Kecamatan Kelumbayan, letaknya di lekukan paling ujung selatan Pulau Andalas. Tak banyak kawan-kawan saya yang mengetahui surga tersembunyi ini.
Itu berarti, dari ibukota harus menyebrangi Selat Sunda sebelum sampai di sana. Itu berarti, dari Jakarta harus menuju ke Pelabuhan Merak sebelum menyebrangi Selat Sunda. Itu berarti, dari saya harus bergerak dari rumah menuju tempat pertemuan sebelum menuju Pelabuhan Merak. Itu berarti, saya harus segera mandi dan berkemas sebelum menuju tempat pertemuan. Itu berarti saya harus segera bangun tidur sebelum mandi dan berkemas.
Setelah 'itu berarti' yang demikian banyaknya, saya dan teman-teman menuju tempat pertemuan. Sebetulnya, teman-teman yang saya sebut di tulisan ini tidak asing. Sebab mereka turut membantu menaikkan tingkat kebodohan dalam tulisan saya tentang kerennya Pulau Sempu.
Kami berangkat hari Jumat saat jam memukul setengah delapan malam. Durasi tempuh dari Jakarta hingga Pelabuhan Merak sekitar tiga jam. Waktu yang cukup untuk pemanasan bagi pantat, mengingat menurut agenda, kami diperkirakan akan tiba di Teluk Kiluan kira-kira saat muadzin sudah selesai soundcheck untuk adzan subuh.
Sesampainya di Pelabuhan Merak, saya dan teman-teman langsung ke dek bagian paling atas. Selain sepi, di dek bagian atas lebih nyaman dibandingkan dengan ruang duduk yang dipenuhi penjaja Pop Mie limabelas ribuan dan kepulan asap rokok penumpang. Sebetulnya kapal feri yang kami tumpangi menyediakan ruangan VIP dengan fasilitas kursi empuk dan pendingin ruangan, namun mental mahasiswa yang masih melekat erat di kepala dengan brilian menyebabkan sepuluh ribu lebih baik disimpan untuk membeli sebungkus rokok.
Waktu tempuh dari Pelabuhan Merak hingga Pelabuhan Bakauheni sekitar tiga jam. Dan itulah gunanya punya teman dengan level kebodohan di atas rata-rata. Oleh mereka, waktu tiga jam bisa digunakan untuk berbagai hal bodoh. Mereka terus saja bercanda, bertingkah aneh seperti adegan di film Titanic, hingga yang tak masuk di akal, mereka membuat perjanjian.
Kebetulan, kapal feri yang kami tumpangi adalah Kapal Menggala, sehingga tiga orang teman saya membuat Perjanjian Menggalau. Persis seperti Perjanjian Renville yang dilakukan di atas kapal Renville. Apa isi perjanjiannya? Ya intinya mereka bertaruh, saat akhir tahun 2012 mereka harus membawa pasangan masing-masing, jika salah satunya tidak membawa pasangan, maka ia dianggap kalah. Menyedihkan.
Punya teman-teman dengan level kebodohan di atas rata-rata membuat perjalanan tiga jam di atas kapal feri terasa seperti tiga jam di atas kapal feri bersama orang-orang bodoh.
***
Akhirnya secara resmi, saya menjejakkan kaki di Pulau Sumatera. Lebih spesifik lagi, saya menjejakkan kaki kiri di depan Indomaret Bandar Lampung. Setelah itu, saya tidur. Dalam tidur yang tak begitu nyenyak, saya merasakan jalan menuju Teluk Kiluan lumayan buruk. Goncangan dan bebunyian karet ban menghantam batu sering terdengar. Saya intip dari jendela mobil, di sebelah kanan adalah jurang sedangkan sebelah kiri dipenuhi kebun pisang.
Jam setengah enam pagi mobil yang kami tumpangi berhenti. Jembatan darurat dari empat batang pohon tak bisa dilewati oleh mobil yang lumayan besar. Di sana kami turun dari mobil lalu dijemput dengan mobil yang lebih kecil. Pindah mobil, lagu Kiss From a Rose dari Seal yang diputar oleh supir mengiringi kami mencapai Teluk Kiluan.
Saya sempat membuka obrol dengan supir.
"Jalanannya agak rusak ya Pak?"
"Iya, Mas"
"Ga dilaporin ke pemerintah biar dibenerin. Diaspal gitu? Ini kan udah masuk objek wisata, biar orang-orang yang dateng tambah rame."
"Yah kalo nanti jalannya mulus, kita orang sini ga dapet duit dari nyewain mobil dong mas?"
"Oiya ya."
Standar.
Menurut penduduk setempat, Kiluan berarti permintaan dalam bahasa Lampung. Pulau Kiluan yang berbentuk seperti tangan menengadah dari kejauhan. Ditambah lagi dengan cerita turun temurun tentang seorang leluhur yang memiliki permintaan terakhir untuk dikuburkan di pulau tersebut. Semakin sahlah Kiluan digunakan untuk menamai teluk ini.
Yang menyedihkan adalah sejauh-jauhnya perjalanan, benda yang dicari ketika sampai di tujuan adalah colokan listrik. Betapa manusia urban diperbudak oleh dua lubang kecil dan gulungan kabel.
Sebelum berangkat ke sisi pulau yang lain, kami diajak pemanasan ke Pantai Pasir Putih. Lokasinya tak jauh dari rumah warga yang dijadikan tempat singgah. Lagi-lagi agak tersembunyi. Kami berhenti di salah satu rumah warga, lalu berjalan kaki sekitar limabelas menit dan menyebrangi sungai sebelum bisa sampai di sana.
Pantai Pasir Putih walau tidak putih, tapi tetap amboi. Ombaknya terlalu beringas, tidak diperbolehkan renang di pantai ini.
Dua jam bermain air laut, kami cabut. Eh berima!
***
Untuk mengakses Teluk Kiluan, kami harus berganti kendaraan lagi. Kali ini perahu tradisional nelayan menjadi media. Karena hanya muat 5 orang, maka dua perahu bolak-balik mengantar kami. Tak jauh memang, hanya limabelas menit. Tapi dengan intensitas ombak yang tinggi dan perahu kecil cukup membuat panik.
Dan benar saja, begitu sampai di Teluk Kiluan, apa yang tergambar dari beberapa foto dan lanjutan lirik White Shoes and The Couples Company memang terbukti.
Semilir bertiup angin di tepi pantai
Daun-daun berdansa dan nyiur melambai
Aduh senang bunga berkembang asri
Setahun bekerja kita membanting tulang
Inilah waktunya kita berlibur panjang
Melupakan semua problema hati
Aduh...
Indahnya abadi
Surya menyapa
Pasir pantai yang halus tanpa deru bising motor, air laut yang jernih tanpa bunyi klakson, pohon bakau dan kelapa yang berbaris rapi tanpa jingle 'Susu Murni Nasional', langit biru tanpa lampu merah, penginapan bersahaja dari kayu, dan ikan-ikan kecil yang sembunyi di terumbu karang mempersilakan kami masuk ke dalam rumahnya. Ah, kombinasi yang membuat orgasme! Membuat status saya yang masih karyawan serasa menjadi pemilik perusahaan. Haha.
Bongkar muatan dan saya sudah tidak sabar. Segera saya kenakan peralatan snorkeling dan langsung terjun ke laut! Saya bahagia! Setidaknya di lima menit pertama. Lima menit kedua saya baru sadar, alat yang saya gunakan sudah tidak layak pakai. Tentu menyebabkan air terus saja masuk ke selang untuk bernafas. Mungkin selangnya sudah bocor, harusnya pengurus menggunakan alat snorkeling yang bersayap, agar tidak bocor ke samping.
Belum lagi jaket pelampung yang mungkin kualitasnya rendah. Lima menit saya renang, busa di dalam pelampung turun dan berkumpul di bagian bawah pelampung. Membuat saya terlihat seperti ibu-ibu dengan payudara yang sudah kendor. Kalau tujuan utama kamu ke Kiluan adalah untuk snorkeling, maka kamu akan kecewa. Karena terumbu karang di Kiluan monoton. Tidak ada yang spesial.
Satu hal yang istimewa dari Teluk Kiluan ialah menghadap barat. Sehingga proses matahari berpendar gradasi kuning ke merah saat terbenam ibarat sedang menonton bioskop dengan layar yang dibatasi cakrawala. Nyeh, nulis apaan fik.
Matahari sudah berganti shift dengan bulan. Mengacu pada lirik Jamrud, yang namanya laut angin pasti kencang. Benar! Malam itu angin sangat kencang bertiup. Malam terasa sangat dingin tanpa kau di sampingku, anggur merah. Harusnya saya membawa dua botol anggur merah. Tetapi, semesta berkehendak lain. Saat saya akan membeli anggur merah malam sebelumnya, dua polisi sedang 'dipijit' di warung langganan. Dua botol anggur merah pun hanya tinggal imajinasi.
***
Saya dibangunkan teman tepat pukul enam pagi keesokan harinya. Dengan perasaan dongkol ini-hari-minggu-kenapa-harus-bangun-jam-enam-pagi saya bergerak gontai ke tempat lain untuk sarapan pagi. Ternyata, acara setelah sarapan adalah dolphin tour.
Kapal tradisional nelayan berubah fungsi saat akhir pekan. Tetap mencari ikan, hanya saja tidak ditangkap. Mereka mencari ikan Lumba-lumba untuk ditontonkan ke wisatawan sebagai biaya pengganti mereka tidak menangkap ikan. Merujuk informasi yang saya dapat dari dunia maya, saat dolphin tour kadang-kadang diselingi ikan paus yang menampakkan diri.
Kami menumpang perahu nelayan sekali lagi menuju ke lautan lepas. Tentu saja dengan curah ombak yang lebih ganas. Saya berpegangan erat pada kayu perahu. Saya tidak mau terjatuh dan tenggelam di tengah laut. Masih banyak deadline yang menunggu di kantor. Mental karyawan ini masih terbawa hingga samudera.
Sekitar duapuluh menit, perahu sudah sampai ke lokasi. Di sana sudah padat perahu-perahu sejenis berisi wisatawan untuk menonton pertunjukkan lumba-lumba langsung dari habitat aslinya, tanpa harus distempel bagian tangannya. Seperti di Ancol, maksud saya. Nelayan dengan sigap memandu perahu agar lebih dekat dengan lumba-lumba. Sepertinya lumba-lumba di Teluk Kiluan memang sudah tahu dirinya menjadi objek wisata. Mereka terus berloncatan dari dalam laut, mengajak main para perahu dan turis.
Sayang, gumpalan paus tidak terlihat saat itu. Hanya sesosok babi-air-tawar-dengan-brewok-semenjana yang menjelma dalam tubuh Saiqa, teman saya.
Sangat disayangkan sekali, saat dolphin tour ombak terlalu besar, membuat cipratan air laut sering menerpa badan. Air laut bukan kolaborasi yang baik bagi alat elektronik, sehingga untuk dokumentasi hanya diklik kanan lalu save picture di otak masing-masing.
Lepas satu jam dan lumba-lumba sudah tidak muncul lagi, rombongan ini kembali ke Teluk Kiluan. Kali itu, kami diturunkan di Pulau Kelapa. Di sana pasirnya halus dan intensitas ombaknya kecil. Kami bermain air hingga pulau Sumatera. Iya, kami menyebrangi laut selama 45 menit!
Saya rasa saya siap masuk marinir.
***
Air tawar bersih agak langka di Teluk Kiluan. Sialnya, sebagai sweeper team yang selalu belakangan, saya harus gigit handuk. Apa lacur, air untuk membersihkan badan sudah dihabisi dengan beringas oleh teman-teman yang lain.
"Maass! Mandi di sana saja! Ada sumur kok!"
"Di mana, Mas?"
"Di situ! Di hutan belakang!" Kata salah satu pengurus sambil mengarahkan telunjuknya ke arah belakang penginapan.
Dalam pikiran saya, sudah tergambar imaji bagaimana gantengnya saya saat mandi. Mandi di ruang terbuka yang ditemani bunyi merdu gesekan sayap jangkrik, bulir-bulir tetesan embun di ujung daun, matahari yang bersinar jingga, bunyi mencicit dari burung-burung liar di tengah hutan, ah! Sungguh eksotis!
Tapi imaji itu musnah. Seiring dengan terlontarnya kalimat laknat.
"Aku ikutan, Pik!"
Iya betul, persis seperti dugaan, itu bukan perempuan. Itu Saiqa. ITU SAIQA!
Karena berbentuk sumur, saya dan Saiqa membawa ember untuk menampung air. Setelah beberapa timbaan, ember penuh. Kami bergegas mandi karena lengket dan gatalnya sela-sela selangkangan mulai tidak bisa ditolerir. Saya memutuskan mengambil posisi saling membelakangi tepat ketika Saiqa membuka kaosnya, agar tak merusak mata. Keputusan tersebut adalah yang paling brilian yang saya buat selama di Kiluan.
Mandi di alam terbuka itu nikmat. Kadang-kadang beberapa serangga kecil menari-nari di atas punggung kaki.
Saat sedang asyik-asyiknya mandi, saya tak mendengar suara Saiqa. Saya mencari keberadaannya. Saya menengok ke belakang. Saya menyesal dengan seluruh jiwa raga mengapa saya harus mencari Saiqa. Mengapa saya harus menengok ke belakang. Keputusan tersebut adalah yang paling malapetaka yang saya buat selama di Kiluan.
Saiqa telanjang bulat! Saya ulang, SAIQA TELANJANG BULAT! Dengan bulu-bulu kasar di sekujur tubuhnya, dengan belahan pantat yang masih basah, dengan handuk di kepalanya, dia tersenyum. DIA TERSENYUM SAAT SAYA MENATAPNYA!
"Ah kamu fik, barang kita kan sama. Kok pake ngintip?"
Rasanya saya tak ingin hidup lagi di planet ini.
***
Kalau dalam mimpi ada mimpi buruk, maka dalam mandi juga ada mandi buruk. Berarti, itu tadi adalah mandi terburuk saya. Acara memandian selesai. Semua teman sedang mengemasi barang-barang bawaannya. Saiqa? Ah saya tak peduli. Sejujurnya, saya sangat berharap ia diterkam beruang saat ia mandi. Dimuntahkan, lalu diterkam lagi.
Agenda selanjutnya adalah kembali ke dunia normal. Kembali ke suara desing mesin. Kembali ke bunyi liar klakson. Kembali ke lagu jingle 'Susu Murni Nasional'. Kembali menjadi karyawan. Kembali menunggu gajian dan akhir pekan. Kembali ke Jakarta.
Rasanya, kalau kamu mengaku sebagai petualang, backpacker, atau traveler, ataupun hanya karyawan biasa seperti saya, Teluk Kiluan bisa dijadikan rujukan kalau Pulau Sempu atau Karimun Jawa terlalu jauh dari Jakarta.
Dan tentunya, tanpa Saiqa.
---------------------------------------
*Foto oleh Isty, Saiqa, Najib, , Gitaditya, dan Guntar :)
[Jakarta. 1 April 2012. 11:39 PM. Fikri]
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H