Air tawar bersih agak langka di Teluk Kiluan. Sialnya, sebagai sweeper team yang selalu belakangan, saya harus gigit handuk. Apa lacur, air untuk membersihkan badan sudah dihabisi dengan beringas oleh teman-teman yang lain.
"Maass! Mandi di sana saja! Ada sumur kok!"
"Di mana, Mas?"
"Di situ! Di hutan belakang!" Kata salah satu pengurus sambil mengarahkan telunjuknya ke arah belakang penginapan.
Dalam pikiran saya, sudah tergambar imaji bagaimana gantengnya saya saat mandi. Mandi di ruang terbuka yang ditemani bunyi merdu gesekan sayap jangkrik, bulir-bulir tetesan embun di ujung daun, matahari yang bersinar jingga, bunyi mencicit dari burung-burung liar di tengah hutan, ah! Sungguh eksotis!
Tapi imaji itu musnah. Seiring dengan terlontarnya kalimat laknat.
"Aku ikutan, Pik!"
Iya betul, persis seperti dugaan, itu bukan perempuan. Itu Saiqa. ITU SAIQA!
Karena berbentuk sumur, saya dan Saiqa membawa ember untuk menampung air. Setelah beberapa timbaan, ember penuh. Kami bergegas mandi karena lengket dan gatalnya sela-sela selangkangan mulai tidak bisa ditolerir. Saya memutuskan mengambil posisi saling membelakangi tepat ketika Saiqa membuka kaosnya, agar tak merusak mata. Keputusan tersebut adalah yang paling brilian yang saya buat selama di Kiluan.
Mandi di alam terbuka itu nikmat. Kadang-kadang beberapa serangga kecil menari-nari di atas punggung kaki.
Saat sedang asyik-asyiknya mandi, saya tak mendengar suara Saiqa. Saya mencari keberadaannya. Saya menengok ke belakang. Saya menyesal dengan seluruh jiwa raga mengapa saya harus mencari Saiqa. Mengapa saya harus menengok ke belakang. Keputusan tersebut adalah yang paling malapetaka yang saya buat selama di Kiluan.