Mohon tunggu...
Fatihatul Insan Kamil Ramadhani Imama
Fatihatul Insan Kamil Ramadhani Imama Mohon Tunggu... -

Fatihatul Insan Kamil Ramadhani Imama (fikri)

Selanjutnya

Tutup

Travel Story

Menuju Badui, tapi ke Jakarta Dulu

12 Mei 2011   05:12 Diperbarui: 26 Juni 2015   05:48 291
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Masih perlu pengenalan tokoh? Rasanya sebagian besar nama yang ada di cerita ini sudah pernah saya tulis di tulisan tentang Bromo. Tapi demi formalitas dan agar terlihat lebih panjang, saya tetap menuliskannya. Lengkap dengan foto. Haha.

Wibi

Ya! Dia menjadi ketua ekspedisi. Kayaknya kalo masalah travelling, dia juaranya. Semua tempat sudah dijelajahinya. Tak heran banyak perempuan kampus yang menaruh hati padanya (sungguh dua variabel yang ga relevan, fik).

Harsya

Panggilannya Acak, dia cadel. Maklumilah. Dia wakil ketua. Tapi sebenarnya, dia mantan ketua pecinta alam Fakultas Ekonomi. Ketangguhan fisiknya sudah tidak diragukan lagi. Apalagi kekuatan livernya dalam mencerna berbagai macam alkohol di atas 20%.

Angky

Kalo yang dia bilang, dia adalah cowo ganteng, berjaket kulit, bermotor Kawasaki Ninja dengan suara knalpot yang kencang, dan piawai bermain gitar. Menurutnya, satu - satunya kekurangan yang ia miliki hanyalah bersuara cempreng dan medok.

Nikki

Nikki adalah anggota jalan - jalan ini yang paling muda secara angkatan. Ia 2006. Nikki memiliki kelebihan pada kelenjar susunya. Dadanya terlalu besar untuk kategori pria.

***

Akhir bulan April ini, sejak Januari, sudah direncanakan buat liburan ke Pantai Sawarna. Katanya sih semacam pantai berpasir putih di ujung barat Jawa. Kalo ngeliat di google, pantainya oke. Lebih enak jalan sendiri, tapi duit pangkal sudah diserahkan kepada si penyelenggara, pengusaha jalan - jalan yang mengambil untung dari orang - orang yang terlalu sibuk untuk mengatur liburannya sendiri.

Hari itu Selasa. Pukul dua siang saya masih makan nasi padang di sekitar kost. Saya berangkat dari Jogja. Setelah sebelumnya sudah berjanji dengan Harsya dan Angky untuk bersama - sama menumpang kereta api kelas ekonomi ke Jakarta. Rasanya malas sekali kalau menaiki kereta ekonomi seorang diri. Ga ada temen ngobrol buat sepuluh jam ke depan.

"Kamu ke stasiun jam berapa, Ky?" Saya sms Angky sekitar jam dua siang.

"Jam 4," tak lama berselang.

"Kalo kamu nyampe duluan, beliin tiket buat aku dulu ya!"

"Oke!"

Jam tiga siang saya masih berkutat dengan pemindahan data dari handycam (hendikem) yang baru saja selesai dipinjam sebuah band tweepop Jogja untuk tour seminggu di Jakarta. Minjemin dengan sukarela, tanpa duit rokok sepeserpun (kode). Hahaha. Rencananya, hendikem itu mau saya bawa untuk kegiatan perekaman aktivitas menuju Pantai Sawarna. Tapi hingga setengah empat, hendikem laknat tersebut malah bermasalah. Datanya ngadat, ga mau dipindah. Entahlah, mungkin itu namanya penyakit mepet. Selalu saja ada masalah ketika diperlukan.

Jadwal  Kereta Progo setengah lima. Setengah empat saya lekas mandi. Sambil berak juga. Nasi Padang menstimulasi metabolisme pencernaan tubuh lebih cepat. Silit saya sudah berkontraksi. Jam empat kurang lima belas, saya tuntas. Kemudian lima belas menit selanjutnya, secara fantastis saya berhasil packing seluruh kebutuhan saya, memberesi hendikem, memasukkan pakaian ke dalam tas ransel, mematikan listrik kamar, hingga berpakaian lengkap. Jam empat saya siap ke stasiun.

Jam empat lebih sedikit saya sudah di stasiun. Saya cari Harsya dan Angky. Nihil. Saya datang lebih dulu dari mereka. Saya, Angky, dan Harsya beda misi. Mereka menuju Jakarta untuk bergabung dengan Wibi, yang akan menjelajahi Kampung Badui. Sebulan yang lalu Harsya dan Wibi sudah ke sana. Sepertinya Badui memberi efek adiktif.

Saya lihat antrian di depan loket sudah panjang. Padahal di atas loket telah tergantung tulisan "Untuk Kereta Progo, tempat duduk sudah habis." Sialan!

Saya tidak mengerti apa yang menyebabkan penuhnya penumpang saat itu. Padahal bukan akhir pekan dan tidak ada libur. Ya sudahlah, saya sudah menyiapkan kaki untuk berdiri berjam - jam nanti.

Beberapa hisapan rokok kemudian, mereka datang. Ternyata Nikki juga ikut.

"Cak, Progo penuh, mau pindah ke Bengawan aja? Berangkatnya beda sejam, harganya sama. Ya siapa tau dapet duduk."

"Ya nanti gw tanya dulu."

"Mbak, Progo kursinya udah abis ya?"

"Iya."

"Kalo Bengawan?"

"Bengawan sama Gaya Baru juga udah abis, Mas."

"Progo 4 orang, Mbak!"

"Hahaha."

***

Sepuluh menit berikutnya, saya dan yang lain sudah berada di dalam gerbong kereta. Di sambungan gerbong lebih tepatnya. Mengatur posisi paling nyaman untuk pantat yang tidak kebagian jatah busa tipis kursi Kereta Progo. Ketika dirasa sudah enak, Angky membuka dialog. Dialog yang mungkin saya sama sekali tidak ekspektasikan.

"Lah kamu kapan ke Sawarna-nya, Fik?"

"Berangkatnya sih Sabtu pagi banget. Jam setengah lima pagi udah harus kumpul di Plaza Semanggi. Aku bingung, itu tur ke pantai apa pesantren kilat."

"Ya udah kalo gitu! Ke Badui aja dulu!"

"Ngga ah!"

"Iya ikut aja! Kita kan Jum'at sore udah balik." Harsya ikutan mempersuasi.

"Halah boong banget!"

"Yee beneran! Jumat sore udah nyampe Jakarta!"

"Loh emang kapan berangkat ke Badui-nya?"

"Ya ini nyampe Jakarta, langsung berangkat ke Rangkas naek kereta. Jumat pulang."

Sampai di situ, saya belum berfikir untuk mengubah rencana. Pendirian saya masih tetap tegar. Teguh. Kukuh. Kuat. Tak tergoyahkan untuk alasan apapun. Pendirian saya adalah: Begitu nyampe di Jakarta, saya langsung menawar bajaj untuk pulang ke rumah, mengetuk pintu, tidur, dan 3 hari kemudian berangkat ke Sawarna.

"Ya gapapa sih kalo ga mau ikutan, tapi nanti jangan nyesel kalo kita udah minum sampe mabok, terus ketawa - tawa cerita tentang Badui, kamu ga ikutan cerita. Nanti cerita tentang mandi di kali, jalan di hutan, kamu diem aja. Nanti kalo maboknya udah parah, kita ketawa - tawa sambil ngeliatin foto, kamu pulang aja mendingan. Daripada ga bisa ikutan ketawa."

"Bentar ya, aku nelpon Gita dulu. Ga enak udah janji mau ketemu besok."

"Iya!"

Saya lalu memberi tahu si pacar kalau saya ingin ke Badui dulu sebelum ke Pantai Sawarna. Dia marah. Haha. Dia iri. Saya yakin kalo misalnya Angky jadi agen MLM, dia sudah memiliki kapal pesiar. Saya yakin. Saya beriman. Haha.

"Rencananya gimana? Ini nyampe Jakarta turun di mana? Jatinegara kan? Si Wibi di sana? Terus langsung cabut ke Badui?"

"Iya Wibi di sana. Nanti kita langsung berangkat. Tapi tergantung keretanya juga sih nyampe jam berapa."

"Yakin ga pulangnya hari Jumat? Aku harus pergi ke Sawarna hari Sabtu pagi. Udah bayar, mahal pula. Pokoknya kalo hari Jumat belum pulang, aku pulang sendiri. Bodo amat. Kamu aku tinggal ya!"

"Ya udah sana, tanya aja Wibi kalo ga percaya. Gapapa sih kalo ga mau ikutan. Kita ga maksa kok. Ya pokoknya jangan salahin kita kalo nanti lagi mabok terus ngeliatin foto - foto di Badui, kamu ga bisa ikutan. Kamu cuman ngeliatin dari pojok. Terus ga ada yang ngajak ngobrol. Kasian."

"Iye iye bawel. Aku ikut ke Badui."

Akhirnya kereta mulai bergerak. Bergerak meninggalkan Jogja.

***

Kalo ga dapet kursi, naik kereta ekonomi itu memang paling enak di depan pintu. Apalagi pintu masuk yang terkunci. Jadi tidak akan terganggu oleh turun naiknya penumpang dan pedagang apa saja. Pintu yang tidak dilalui pedagang dan penumpang yang akan naik atau turun. Jika berhasil menguasai pojok pintu bahagia itu, maka perjalanan dengan kereta ekonomi akan terasa mewah.

Kadang - kadang kalo berada di jalur pedagang, kepala sering terantuk barang dagangan. Kalo cuman pisang sale, atau getuk sih gapapa, tapi kalo termos air panas buat bikin kopi, lumayan juga.

Karena terkenal dengan kecepatan dan kenyamanannya, saya dan teman - teman sering menambahi kata Progo agar terdengar lebih keren. Biar kalo ditanya orang, masih bisa dijawab nyombong dan terlihat elegan.

"Lo balik ke Jakarta naik apa, fik?"

"Argo Progo."

Atau.

"Kamu pulang naik apa?"

"Progo Airlines."

Pedagang di kereta ekonomi tidak begitu ajaib kalo malem. Kalo siang, kamu akan menemukan benda yang benar - benar di luar logika. Seperti gabungan antara koin yang sudah diamplas dan batang berujung tumpul. Kata pedagangnya, itu untuk pijat refleksi dan kerokan. Atau benda warna putih panjang mirip selotip lengkap dengan cara penggunaannya, kata pedagangnya itu adalah untuk menambal panci yang sudah bolong. Atau batu seukuran kepalan tangan dengan bagian bawah yang lebih halus, pedagangnya bilang itu alat mengulek sambel. Ajaib.

Saya masih bingung asal usul pemberian nama untuk pembagian kelas. Ekonomi, bisnis, dan eksekutif. Agak aneh. Naik kereta ekonomi memakan durasi yang lebih lama jika dibandingkan dengan kereta kelas bisnis dan eksekutif. Ya jelas saja, kereta ekonomi akan mengalah jika melewati jalur dengan rel tunggal. Ia pasti akan memberi kesempatan agar kereta bisnis dan atau eksekutif jalan duluan.

Angky sempat membeli buku TTS untuk membunuh waktu. Buku TTS dari dulu sampe sekarang bentuknya sama, covernya gambar cewek cakep. Sebut saja Bella Saphira, Luna Maya, Dian Sastro, dan Sandra Dewi. Kasihan mereka. Hampir pasti menjadi korban. Ketika buku TTS sudah berpindah tangan dari penjual, mereka akan dicoret semena - mena dengan pulpen hitam. Giginya dibuat ompong, Atau dibuat bekas luka jahit di bagian wajah. Atau dibikin tato jangkar di bagian lengan. Haha.

"Hah apaan Ky?" Saya yang lagi memegang ponsel Angky tiba - tiba mendapat pesan pendek berisi itu. Dari Wibi.

"Ky, ini ada sms dari Wibi."

"Mana sini!" Angky mengambil ponselnya kembali. Beberapa saat kemudian, saya memainkan ponselnya lagi.

"Kamu sms apa ke Wibi, Ky?"

"Aku nanya."

"Nanya apa?"

"Jabatan tertinggi dalam angkatan bersenjata."

"Hee? Kok tiba - tiba nanya itu?"

"Iya ini 13 kotak. Buat ngisi TTS"

"Niat amat kamu Ky. Bego."

"Hahaha."

***

Hujan saat itu cukup deras. Air menetes dari atas pintu dan celah bawah pintu. Alas koran yang saya duduki basah. Saya menunggu tukang koran buat beli koran sebagai alas duduk. Tapi sayangnya tukang koran tidak terlihat lagi. Mungkin sudah turun di Stasiun Purwokerto. Akibatnya, salah satu piranti pembunuh durasi perjalanan hilang. Padahal belum terisi semua, dan Jakarta masih jauh. Dengan terpaksa, buku TTS diduduki. Maafkan saya, Bella Saphira. Mukamu jadi alas pantat.

Duduk di besi selama berjam - jam memang tidak disarankan bagi pemilik pantat tipis seperti saya. Pegal luar biasa! Sudah pegal, lembab pula. Hujan terus saja turun. Lebih enak berdiri.  Mau tidur pun susah gara - gara hujan. Karena aktivitas selanjutnya yang monoton, dari duduk, ngobrol, dan berdiri, maka cerita ini kita percepat saja ke lima jam kemudian.

Sekitar lima jam kemudian, kereta sudah mencapai Stasiun Cikampek.

"Cak, sejam lagi nyampe nih. Kita nunggu di stasiun apa gimana?"

"Kayaknya kita ke rumah Wibi dulu deh. Ini masih segini."

"Kita dijemput Wibi apa gimana?"

"Katanya Wibi sih kalo metromininya udah abis, kita bakal dijemput."

"Ohh okee."

Lalu sejam kemudian, Progo sudah mendarat di Jatinegara. Jam setengah tiga pagi, stasiun masih ramai. Banyak yang numpang tidur. Banyak yang hanya duduk di ruang tunggu. Banyak yang berjualan. Banyak tukang ojek. Banyak tukang bajaj. Banyak supir taksi indie label. Kenapa indie label? Karena saya tidak pernah mendengar nama perusahaannya. Bajunya pun tidak berseragam.

Kita keluar dari stasiun, ngambil nafas sebentar. Tujuannya adalah warung kopi beberapa puluh meter dari pintu keluar. Harsya dan Angky pesan kopi, Nikki pesan teh. Saya minta saja. Haha.

"Cak, naik apa nih?"

"Metromini 27."

"Kayaknya udah ga ada deh. Itu udah sepi. Adanya mikrolet doang, bisa ga?"

"Bisa, tapi gua lupa turun di mana. Soalnya nanti nyambung lagi."

"Ohh gitu."

Di warung kopi ada supir taksi yang sedang nongkrong. Harsya bertanya.

"Pak kalo metromini nomer 27 masih ada ga?"

"Wah jam segini sih udah abis. Nanti jam setengah lima baru ada lagi."

"Kalo ke Terminal Rawamangun juga abis, Pak?"

"Iya. Semua baru ada lagi jam setengah lima. Emang mau ke mana?"

"Ke Duren Sawit."

"Ya udah, Dik. Naek taksi aja 30 ribu. Enak nyaman tinggal duduk terus nyampe."

"Lebih enak lagi nelpon temen minta jemput, Pak. Ga keluar duit. Hehehe."

"Hoo ya udah kalo gitu."

Harsya menelpon Wibi.

"Bi, udah di Jatinegara nih. Metromininya abis. Lo ke sini ga?"

"Baru tidur gua. Udah lo naek bajaj atau taksi aja sono. Males gua jemput."

"Hahaha tai."

[Jogjakarta. April-Mei 2011. Fikri]

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
Mohon tunggu...

Lihat Konten Travel Story Selengkapnya
Lihat Travel Story Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun