Jakarta bermasalah dengan sistem transportasi yang dianutnya. Jakarta macet. Klise? Memang! Tapi seklise apapun, cerita yang akan kamu baca di bawah ini tidak klise kok. Cerita tentang pengalaman saya dan teman saya berlalu-lintas dengan media transportasi pribadi dan umum di seputaran ibukota. Ibukota yang kejam, siapa suruh datang Jakarta?
Jakarta memang macet. Dan saya tidak habis pikir dengan orang - orang yang mengeluh macet. Teriak "ahh Jakarta macet anjiingg!", atau menulis status di situs jejaring social seperti twitter dan facebook, tentang betapa macetnya Jakarta di pagi hari dan sore hari. Padahal mereka mengendarai mobil sendirian. Buat saya itu bodoh.
Saya baru mengalami kebengisan amburadulnya transportasi Jakarta ketika SMA. Ketika masih bersekolah di SMA Negeri 28 Jakarta, saya memilih jalan kaki ke sekolah daripada naik angkot. Jalan kaki menghabiskan waktu sebatang gudang garam filter. Naik angkot menghabiskan waktu setengah jam. Ergh! Lagipula kalau jalan kaki, bisa cuci mata. Anak SMA berseragam sekolah lain jauh lebih enak dilihat daripada anak SMA berseragam sekolah sendiri. Entah kenapa.
***
Saya menjadi pengguna regular Transjakarta mulai pertengahan tahun ini. Khususnya jalur Senen menuju Ragunan dan sebaliknya. Haha. Busway sekiranya menjadi cara peminimalisir kemacetan ternyata hanya anekdot. Belum lagi tagline-nya yang absurd. Take the bus, no it's way? Apa itu maksudnya? Ada yang bisa jelaskan?
Saya janjian pukul enam sore di Pejaten Village. Saya berangkat dari Senen pukul tiga sore. Dengan harapan masih ada waktu lebih untuk dipakai nongkrong di sebelah sekolah. Sekalian silahturahmi dengan teman lama dan ibu penjual nasi warteg di sana. Jalur Senen menuju Pejaten dilewati dengan tiga kali berganti koridor. Dari Senen berhenti di Harmoni, lalu dari Harmoni berganti jalur ke Blok M. Dari jalur mengarah Blok M, saya harus turun di Dukuh Atas untuk mengakses Ragunan. Di situ saya berhenti untuk berganti koridor, lagi.
Ekspektasi saya yang surplus satu jam dengan berangkat jam tiga untuk janjian jam enam ternyata runtuh. Saya sampai di Harmoni jam empat. Menunggu armada bus, seperempat jam. Di Dukuh Atas sudah pukul lima sore. Sampai Kuningan ternyata jam sudah menunjukkan jam enam sore. Alhasil Pejaten Village jam setengah tujuh. Orang yang saya ajak janjian marah. Ia sudah menunggu setengah jam. Katanya saya telat. Padahal saya berangkat tiga jam sebelum waktu yang ditetapkan bersama.
Berarti sebenarnya jarak yang bisa ditempuh dalam paling lama satu jam waktu normal, malah membutuhkan masa tiga jam setengah. Jika diambil rata - rata, orang yang tinggal di Senen dan harus kerja di daerah Kuningan menghabiskan masa hidupnya selama enam jam per hari. Dikali 25, maka hasilnya seratus limapuluh jam. Itu setara dengan enam hari. Berarti dalam sebulan rata - rata orang Jakarta menghabiskan waktu enam hari di jalan. Dalam setahun berarti tujuhpuluh dua hari dihabiskan di jalan. Wow! Seperlima hidup orang Jakarta dihabiskan di jalan. Okay kalau begitu, nak, kamu jangan hidup di Jakarta ya, kamu nanti tua di jalan.
***
Saya juga bingung akan memulainya dari mana, cerita terlanjur sudah berbaris. Terlalu banyak pengalaman saya dan teman - teman yang ironis dan tragis. Tapi jangan pesimis. Karena sebentar lagi ini akan berbuah manis. Menggunakan rima biar dikira penulis. Cukup fikri, hentikan! Ini terlalu hiperbolis. Hahaha.
Bagaimana kalau dimulai dengan cerita tentang teman SMA saya. Mulai saat ini disebut si A. Ia memang terkenal berkelakuan aneh. Saya sudah terbiasa dengan tabiat minusnya itu. Tapi yang ini benar - benar menguras logika. Saya dan A sering bermain permainan yang berbasis jaringan di daerah Pejaten Barat, Teamworkz. Seusai pulang sekolah kami menunggu angkot S11 yang melewati depan sekolah untuk menuju sana. Hari itu hari Minggu, saya bertemu dia di Teamworkz. Ia memakai seragam sekolah. Saya kaget.
"Emang sekolah ada acara apa? Kok lo pake batik 28? Gw ga dikasih tau kalo ada acara. Gw bolos dong itungannya?"
"Engga ada acara apa - apa kok fik. Ini biar bayar angkotnya murah"
Saya tidak berniat melanjutkan dialog. Cuma bisa ketawa. Â Ini yang bego siapa? Temen saya atau supirnya?
Di hari lain, saya dan dia berangkat bareng ke Teamworkz. Dengan angkot S11 tentu. Hari itu saya tidak membawa uang kecil. Cuma ada limapuluh ribuan di dompet. Saya meminta A untuk mengongkosi saya. Dia setuju. Ketika sampai di tujuan, kami turun.
"A bayarin yak!"
"Iya udah santai aja fik. Bang. Yang belakang yang bayar"
Angkot itu langsung melesat, meninggalkan saya yang bengong. Padahal di angkot tadi sudah tidak ada siapa - siapa lagi. ini yang bego siapa? Teman saya atau supirnya?
Kejadian ini-yang-bego-teman-saya -atau-supirnya terjadi tiga kali. Yah setidaknya hanya tiga kali yang saya tahu. Kejadian yang kedua, lagi - lagi saya dan A berangkat bareng menuju Teamworkz. Dan lagi - lagi, tidak tersisa lagi uang kecil di kantong karena habis untuk dikonversi dengan mie ayam. Serta lagi - lagi saya memninta A untuk mengongkosi saya. Tidak, dialog yang di atas tidak terulang kok. Tapi, yang kali ini lebih ekstrim. Karena penumpangnya kali itu penuh. Turunlah kami di depan Teamworkz.
"Bang yang bayar yang pake topi biru"
"Yoo"
Angkot bergegas pergi mencari penumpang yang lain.
Saat itu, tidak ada penumpang yang memakai topi biru. Mungkin supirnya baru sadar kalau dia ditipu nanti ketika bercermin. Iya, supir angkot naas tersebutlah yang memakai topi biru. Sungguh ajaib memang kelakuan si A. Â ini yang bego siapa? Temen saya atau supirnya?
***
Teman saya juga pernah mengalami kerugian secara finansial akibat macet. Yang bukan gara - gara si komo lewat. Tapi kalau dipikir - pikir, komodo lewat di tengah Jakarta itu memang aneh. Tapi menurut saya tidak menimbulkan kemacetan, Cuma keheranan. Yang menimbulkan kemacetan itu kalau pejabat lewat. Semua kendaraan diintruksikan menepi dengan pengeras suara dari motor polisi militer. Mobil yang berhenti di pinggir demi lewatnya itu si pejabat jelas saja menambah intensitas kemacetan. Â katanya wakil rakyat, tapi kalau macet, ia tidak mau mewakili. Sialan!
Jadi ceritanya, teman saya dari Passer Baroe, hendak menuju rumah untuk pulang. Sampai daerah SetiaBudi, jalanan macet total dan jam menunjukkan pukul empat. Mereka mengejar pukul delapan atau sembilan untuk berada di Kemang guna menghadiri acara ulang tahun teman saya yang lain. Mereka ke Passer Baroe untuk membeli piranti kamera. Ternyata macet di SetiaBudi tidak ada akhirnya. Perut lapar. Tukang bakpao dan bakpao di tepi jalan menggoda lidah.
"Bang, bakpaonya dua"
"Yang rasa apa?"
"Ayam aja"
"Nih dek"
"Jadi berapa?"
"Dua jadi delapan ribu"
Teman saya menyerahkan uang duapuluh ribu. Masih ada sisa duabelas ribu.
"Bentar ya dek, ga ada kembalian"
"Iya bang"
Ternyata, sampai macetnya kelar, si tukang bakpao tidak muncul lagi. ia hilang ditelan kemacetan Jakarta. Memang tidak rugi banyak sih, Cuma duabelas ribu. Tapi kesalnya luar biasa.
Dan prediksi tentang di-setiabudi-jam-empat-nyampe-rumah-paling-lama-jam-enam ternyata salah. Sampai di rumah ternyata jam sembilan. Jadi hari itu teman saya mengalami dua kali kejadian terkutuk. Kemacetan Jakarta dan penipuan kembalian bakpao.
***
Ada lagi cerita tentang kebodohan teman SMA saya yang lain, sebut saja P dan S. P dan S akan menuju Blok M. Mereka menempuh jalur Kemang untuk mencapai sana. Tetapi Kemang sudah terkenal dengan macet. Apalagi di malam minggu. Jam dua pagi saja Kemang masih macet.
Jadi ceritanya, P membonceng S dengan motor Tiger barunya. Sesampainya di Kemang, pengisi jalanan tidak bergerak. Tetapi tidak untuk motor. Motor bisa melaju dengan cara menyempil ke kiri dan berkelit ke kanan. P pun melakukannya. Sampai di suatu tempat di mana berkelit pun susah. Trotoar jadi sasaran.
"S turun dulu bentar, motor gue ga kuat naek trotoar kalo boncengan"
"Iya oke!"
Begitu motor sudah berada di atas tempat pejalan kaki itu, otomatis jalanan jadi terbentang. P melenggang. Â Si P terus saja bercerita. Mengobrol ke sana - sini di atas motornya. Sesampainya di Blok M, P kebingungan mencari S yang tidak ada. Dia lalu menghubungi ponsel S.
"Gue masih di Kemang, tempat tadi lo naek ke trotoar. Gue belum naek lo udah maen cabut aja. Gue panggil lo kagak denger. Ya udah gue sekalian aja ngopi di warung"
Si S tidak sempat naik kembali ke motor. Si P sudah terlanjur meninggalkannya.
***
Untuk mengatasi kemacetan Jakarta, sebenarnya sejak dulu, saya punya sedikit ide yang absurd. Sangat absurd. Saya beropini jika saja Jakarta dibagi menjadi dua untuk urusan waktu, mungkin kemacetan akan menjadi setengahnya. Jadi hasil pikiran saya ketika masih berbawahan abu - abu dan berseragam lima hari adalah memisahkan Sunda Kelapa dua bagian. AM dan PM. Abis Malem dan Panas Menyengat. Saya tak pernah tahu singkatan AM dan PM sebenarnya itu apa. Cuma tahu Meridiennya saja. Hahaha.
Iya ide saya adalah membuat jam kerja Jakarta terbagi menjadi AM dan PM. Ada orang yang harus berada di tempat kerja pukul dua belas siang hingga dua belas malam tergantung shiftnya dan sebaliknya. Tetapi ide ini juga harus ditopang oleh infrastruktur yang kuat dan terintegrasi serta berkesinambungan. Bahasa kamu seperti pemerintah sekali, fik. Â Iya, maksud saya, jika Jakarta terbagi dua menurut AM atau PM, maka angkutan umum dan tempat makan juga harus mendukung.
Jadi jika ide saya ini berhasil terimplementasikan dengan baik, maka nantinya Jakarta tidak macet lagi, karena kemacetan di satu jalur akan berpindah ke jalur sebelahnya. Yang satu akan berangkat kerja, yang lain baru pulang kerja. Jadi Jakarta tidak macet lagi, hanya setengah mac et. Hehehe. Tapi tentu saja tidak akan terlaksana, Fauzi Bowo lebih sibuk merawat kumisnya dan SBY padat dengan jadwal curhatnya. Eh salah, ada istilah baru untuk curhat, mbeye.
*Tadinya, saya akan menulis sebuah cerita anak. Tetapi dalam prosesnya malah menulis seperti ini.
**Tulisan ini dibuat sesuai instruksi tema bulan September, transportasi, dalam blog kumpulan spasi.
[Jogjakarta. 13 September 2010. 10:21 PM. fikri]
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H