Sudah tiga hari selama saya melewati jalan yang sama ketika pulang bekerja, saya melihat kamu di sana, duduk tercenung seperti memikirkan hal yang begitu berat. Terkadang pula kamu menangis, lalu sesudahnya kamu akan mengusap air mata dan pergi dari sana. Ini hari keempat saya ada di sini dan kamu masih di tempat yang sama. Perlu empat hari bagi saya mengumpulkan keberanian untuk menghampirimu. Mungkin kamu tidak tahu, tetapi setiap senin dan kamis pagi jam delapan kita sering berpas-pasan di lift lantaran berada di satu atap yang sama. Hanya saja ruangannya yang berbeda. Katakanlah saya seorang pengecut yang payah. Saya tidak berani menyapa dan berpura-pura tidak mengenali dirimu yang kalau boleh jujur menjadi pusat perhatian saya akhir-akhir ini. Akan tetapi, hari ini saya bulatkan tekad untuk mendatangimu. Paling-paling datang menghibur dengan segelas kopi yang saya beli di indomaret terdekat.
Setelah menghembuskan napas dan membuangnya untuk menenangkan diri yang diajarkan oleh bawahan saya. Brian namanya, sebenarnya dia hanya anak magang yang kebetulan saya kenal. Kami berada di satu perusahaan yang sama rupanya. Saya datang menghampirimu. Kamu terlihat kaget dan saya hanya menampilkan senyum idiot yang saya punya. Kamu tau? Saya belum pernah pacaran, hidup saya terlalu serius selama ini dan saya baru sadar sekarang, penyesalan yang tidak pantas disebut penyesalan.
Sebagai perempuan yang duduk sendirian jam sepuluh malam jelas kamu terlihat sangat was-was. Sebagai lelaki saya paham akan sikapmu itu, tetapi tak apa. Saya tidak marah, kalau saya jadi kamu tentu saya melakukan hal yang sama.
"Kehadiran saya bikin kamu tidak nyaman?" adalah pertanyaan yang sewajarnya saya ajukan. Bukannya malah aneh bila saya bilang saya bukan orang jahat?
Kamu menarik kedua sudut bibirmu. Berusaha untuk tersenyum. Maaf, ya, bila saya membuatmu takut?
"Saya bisa pergi kalau kamu tidak suka kehadiran orang lain di sini."
"Tidak apa, saya juga butuh teman cerita," katamu lagi-lagi tersenyum. Awalnya saya tidak percaya. Namun, gelagatmu yang terlihat biasa saja membuat saya yakin. Benar, kan, saya tidak mengganggu kamu?
"Tadi saya beli kopi kelebihan, kamu mau?" tanya saya menyodorkan segelas kopi padamu. Alih-alih curiga kamu malah mengambilnya dengan suka cita.
"Makasih, ya, kebetulan saya juga haus," katamu seraya menancapkan pipet di tutup plastik kopi tersebut lalu menyeruputnya lega.
"Kopi ini selalu enak, saya suka beli kalau lagi lembur.
"Kamu suka kopi?" tanya saya kagum. Jarang-jarang saya menemui wanita yang menyukai kopi lantaran kopi memiliki rasa pahit yang khas.