"Dari dulu saya suka, soalnya waktu kuliah saya suka begadang. Eh, keterusan sampe sekarang. Kamu sendiri, bagaimana?"
Saya tersenyum ketika kamu menanyakan hal seperti itu pada saya. Jika kamu tahu, senyum saya ini sangat tulus dari hati. Saya cukup terhibur dengan respon baik yang kamu berikan, seakan hari ini adalah hari keberuntungan bagi saya.
"Kopi sudah seperti hidup saya. Bikin candu seakan saya nggak bisa hidup kalau tidak meminumnya barang sehari."
"Dulu saya juga begitu, tapi kebanyakan minum kopi juga nggak sehat," katamu menoleh ke arah saya. Lalu tiba-tiba meminta saya merentangkan telapak tangan. Dalam kebingungan yang terlihat jelas saya menurut. Beberapa permen rasa kopi ada di tangan saya. "Ganti pake ini. Sama aja kok rasanya kayak minum kopi biasa."
Saya tercenung lantas menaruhnya di kantung coat saya yang berwarna coklat tua. "Terima kasih," balas saya tersenyum. Jujur saja, rasanya sangat malu.
Setelah menghabiskan waktu hampir satu jam dan percakapan yang berakhir begitu cepat dari biasanya, kamu bangkit dari tempatmu dan menatap saya yang masih terpaku.
"Kei, ayo kita pulang." Deg, tak terkira kagetnya ketika kamu menyebutkan nama saya tanpa ragu. "Setiap senin dan kamis pagi jam delapan kita selalu berpas-pasan. Nama kamu tertulis jelas di kartu nama yang selalu kamu kalungin di leher," jelasmu menunjuk leher saya yang kebetulan tidak mengenakan kartu nama hari ini. Lagian untuk apa? Saya tidak sedang di kantor.
Saya benci ketika sudut bibir saya selalu membentuk senyuman, namun tidak bisa menyembunyikan perasaan senang yang saya rasakan. Bukankah kebahagiaan itu harus diterima dengan suka cita?
"Saya pikir kamu tidak sadar kalau kita selalu berpas-pasan di lift. Tapi maaf, saya belum tau nama kamu," kata saya mengutuk diri sendiri atas kebodohan. Bisa-bisanya saya tidak tahu namamu. Kenapa saya sebodoh itu, ya?
"Nama saya Hina. Senang berkenalan dengan kamu, kei."
"Senang juga berkenalan dengan kamu, Hina," balas saya sambil tersenyum.