Pande tongantu nene‟ta Sawerigading
Sukku tongan paissenna toriolota
Pande untandai tana, tana marongko
Unnissen padang marua tana masakke
Natandai lana lipu, lipu Wara
Naganta lana pa‟lewon, Palopo e
Kutipan lagu dalam bahasa Tae’
Karya Alm. HB. Sibenteng,
Telepon berdering. Yang memanggil adalah Irna, perempuan yang cukup dekat dengan saya, beberapa bulan terakhir. Semari berbincang dengan dia, saya sesekali bercanda dengan adik sepupuku Adip, yang tahun ini baru beranjak masuk delapan.
Si Adip, kucandai menggunakan bahasa Tae'. Yang diujung telepon lalu memrotes. Kata dia, mestinya saya membiasakan menyapa anak kecil dengan bahasa Indonesia. Saya cukup bingung dengan penuturannya, yang berkilah atas nama kemoderenan dan perkembangan zaman,
Memang, tradisi keluarga kami di Tana Rongkong yang cukup tradisional, dalam keseharian berkomunikasi dengan bahasa Tae', yang merupakan bahasa mayoritas rakyat Tana Luwu, atau Kerajaan Luwu, yang dulunya, yang teruntai dari Wajo hingga Kolaka kini.
Bahasa ini lebih tua dari bahasa Bugis, yang adalah bahasa keluarga kerajaan Luwu, serta bahasa Makassar, Toraja, Massenrengpulu' dan Mandar. Konon, bahasa Tae' adalah bahasa kuno Luwu. Pun, Sureq La Galigo yang lebih panjang dari epos Mahabarata milik India itu, menggunakan bahasa ini, sebelum ditranslasi Colliq Pujie.
Kini, bahasa Tae' tengah sekarat. Ia dibawah bayang-bayang kepunahan. Yang jika tak diselamatkan, akan mengikut para pendahulunya yang telah ditelan zaman. Menilik data Kompas (2010), Di Sulawesi yang memiliki 110 bahasa, 36 diantaranya terancam punah. Sebab, bahasa-bahasa etnik ini tak lagi ditutur oleh satu juta orang, sebagai persyaratan agar bahasa tersebut tetap eksis.
Dan, Bahasa Tae' termasuk di antaranya.
SEBAB
Seperti Irna, di kampung-kampung, terlebih perkotaan, kini orang-orang terlalu latah menyikapi perkembangan zaman. Kepada anak-anaknya, para orang tua telah alpa mewariskan bahasa-bahasa lokal, termasuk bahasa Tae' ini. Pembudayaan bahasa Tae' yang semestinya dilakukan sejak masa kanak-kanak, tak lagi diejawantahkan.
Itu salah satu sebab. Doktrinasi bahwa bahasa Indonesia modern dan prestisius, menghipnotis masyarakat hingga lebih memilih bertutur dengan bahasa Indonesia, menjadi sebab yang lain.
Absennya pemerintah dalam hal ini, juga menjadi pemicu lain. Pemerintah yang semestinya menopang bahasa daerah sebagai bagian tak terpisahkan dari entitas budaya, kurang apresiatif dan antisipatif dalam upaya penjagaan serta pewarisannya.
Akibatnya, generasi sekarang, utamanya Generasi Z, yang lahir tahun 1995 keatas, lebih mengenal bahasa Indonesia. Bahasa etnik pun tercecer dan terpinggirkan. Fenomena anak kampung masuk kota misalnya, yang sekoyong-koyong berhadapan langsung budaya berbeda (cross culture), abai menggunakan bahasa daerahnya. Gengsi, karena bisa jadi terstigma kampungan. Dialeknya yang sedemikian rupa, bagi dirinya dianggap sebagai hal yang memalukan.
Miskinnya pemahaman akan budaya menyebabkan hal ini terjadi. Budaya, termasuk bahasa daerah, tak lagi diposisikan sebagai identitas, apalagi dibanggakan. Bahasa sebagai hasil dialektika sosial, yang berlangsung ratusan tahun, sebagaimanan terma budaya sebagai hasil perjuangan dan kemenangan-nya Ki Hajar Dewantara, kini terlupakan.
Mungkin kita perlu belajar dari migran Jerman, yang menempatkan bahasa nasional Jerman hanya sebagai bahasa kedua. Mereka tetap merawat bahasa ibu dari negara asalnya sebagai bahasa pertama, sebagai budaya, sebagai identitas, sebagai suatu khazanah.
REORIENTASI
Sebagai ahli-waris peradaban, sudah selayaknya kita merasakan kegetiran akan fenomena ini. Sudah semestinya pula, kita mengambil peran dalam menjaga Bahasa Tae, ataupun bahasa-bahasa lokal kita lainnya, sebagai khazanah budaya. Pemerintah pun sebagai regulator, mesti pula mampu mencipta suasana kebudayaan yang lebih baik.
Mengutip Rosvita Dahri, layaknya kartu pengenal, Bahasa Tae' mesti ditempatkan sebagai lambang identitas lokal. Guyub tuturnya mesti dijaga sebagai warisan budaya leluhur untuk mereka, para penerus. Sebagai markah ke-Luwu-an atau kebangsaan, ia mesti diterjemahkan kembali sebagai penyanggah kepribadian diri, kepribadian bangsa, sebagai infrastruktur peradaban.
Bagi saya, layaknya mata air sebagai sumber kehidupan, bahasa daerah adalah mata air kebudayaan. Karena dari sanalah, kita dituturkan akan kekayaan budaya. Dari sanalah kita diajarkan nilai-nilai kearifan lokal.
Mata air adalah, sumber kehidupan. Tanpanya, kita tidak akan bertahan.
Pun, bahasa daerah mata air kebudayaan, yang tanpanya, kita mungkin tersedak zaman, lalu akhirnya tak bernafas. Dan mati. Yah, matinya kebudayaan.
Danggi mi macapa'!.
(*) Oleh Zulfiqar Rapang, Pegiat literasi di Sureq Institut, Palopo
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H