Memang, tradisi keluarga kami di Tana Rongkong yang cukup tradisional, dalam keseharian berkomunikasi dengan bahasa Tae', yang merupakan bahasa mayoritas rakyat Tana Luwu, atau Kerajaan Luwu, yang dulunya, yang teruntai dari Wajo hingga Kolaka kini.
Bahasa ini lebih tua dari bahasa Bugis, yang adalah bahasa keluarga kerajaan Luwu, serta bahasa Makassar, Toraja, Massenrengpulu' dan Mandar. Konon, bahasa Tae' adalah bahasa kuno Luwu. Pun, Sureq La Galigo yang lebih panjang dari epos Mahabarata milik India itu, menggunakan bahasa ini, sebelum ditranslasi Colliq Pujie.
Kini, bahasa Tae' tengah sekarat. Ia dibawah bayang-bayang kepunahan. Yang jika tak diselamatkan, akan mengikut para pendahulunya yang telah ditelan zaman. Menilik data Kompas (2010), Di Sulawesi yang memiliki 110 bahasa, 36 diantaranya terancam punah. Sebab, bahasa-bahasa etnik ini tak lagi ditutur oleh satu juta orang, sebagai persyaratan agar bahasa tersebut tetap eksis.
Dan, Bahasa Tae' termasuk di antaranya.
Seperti Irna, di kampung-kampung, terlebih perkotaan, kini orang-orang terlalu latah menyikapi perkembangan zaman. Kepada anak-anaknya, para orang tua telah alpa mewariskan bahasa-bahasa lokal, termasuk bahasa Tae' ini. Pembudayaan bahasa Tae' yang semestinya dilakukan sejak masa kanak-kanak, tak lagi diejawantahkan.
Itu salah satu sebab. Doktrinasi bahwa bahasa Indonesia modern dan prestisius, menghipnotis masyarakat hingga lebih memilih bertutur dengan bahasa Indonesia, menjadi sebab yang lain.
Absennya pemerintah dalam hal ini, juga menjadi pemicu lain. Pemerintah yang semestinya menopang bahasa daerah sebagai bagian tak terpisahkan dari entitas budaya, kurang apresiatif dan antisipatif dalam upaya penjagaan serta pewarisannya.
Akibatnya, generasi sekarang, utamanya Generasi Z, yang lahir tahun 1995 keatas, lebih mengenal bahasa Indonesia. Bahasa etnik pun tercecer dan terpinggirkan. Fenomena anak kampung masuk kota misalnya, yang sekoyong-koyong berhadapan langsung budaya berbeda (cross culture), abai menggunakan bahasa daerahnya. Gengsi, karena bisa jadi terstigma kampungan. Dialeknya yang sedemikian rupa, bagi dirinya dianggap sebagai hal yang memalukan.
Miskinnya pemahaman akan budaya menyebabkan hal ini terjadi. Budaya, termasuk bahasa daerah, tak lagi diposisikan sebagai identitas, apalagi dibanggakan. Bahasa sebagai hasil dialektika sosial, yang berlangsung ratusan tahun, sebagaimanan terma budaya sebagai hasil perjuangan dan kemenangan-nya Ki Hajar Dewantara, kini terlupakan.
Mungkin kita perlu belajar dari migran Jerman, yang menempatkan bahasa nasional Jerman hanya sebagai bahasa kedua. Mereka tetap merawat bahasa ibu dari negara asalnya sebagai bahasa pertama, sebagai budaya, sebagai identitas, sebagai suatu khazanah.