Mohon tunggu...
Faishal Himawan
Faishal Himawan Mohon Tunggu... pegawai negeri -

Menulis, Menyuluh

Selanjutnya

Tutup

Gaya Hidup Pilihan

Berangkat ke dan Kembali dari Purwodadi: Meretas Budaya Korupsi

22 Maret 2016   22:01 Diperbarui: 23 Maret 2016   10:51 115
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gaya Hidup. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Rawpixel

1

Perjalanan saya kali ini dimulai dari cerita tentang hilangnya dua lusin celana dalam. Seolah memukaddimahi rencana perjalanan saya menuju sebuah panggung bertuliskan “Meretas Budaya Korupsi”, pagi itu (saya berangkat pada sorenya) dua orang kader desa (saya seorang Penyuluh KB yang “mempunyai” 12 kader dan kesemuanya perempuan) bercerita tentang hilangnya celana dalam mereka ketika sedang dijemur. Menjemur 10, cerita salah satu kader saya, hilang 7. Hari berikutnya, menjemur 6 hilang 3. Selanjutnya, menjemur 2 hilang 1. Terakhir, menjemur 1 hilang 1. Proses hampir serupa dialami kader yang satunya. Korupsi, terbukti bukan hanya milik para pengguna anggaran, tetapi juga milik siapa saja.

2

Jangan memikirkan pertanyaan dalam perjalanan nanti, demikian pesan istri saya sebelum saya berangkat. Tepatnya beberapa saat ketika ia mendapati pandangan mata saya cukup lama tertuju pada satu titik tak tampak mata. Istri saya berhak khawatir tentang perjalanan saya karena perjalanan kali ini disamping jaraknya yang lumayan jauh, juga karena perjalanan saya akan merupakan perjalanan malam yang ia duga bergelimang air hujan. Dugaan yang tersahihkan: sejak dari Blora sampai di tempat tujuan, kurang lebih 3 jam, hujan turun hampir tanpa henti. Orang-orang yang mengenal saya pasti mengetahui bahwa dalam hal mengendarai sepeda motor pada malam hari dan di bawah guyuran hujan, saya adalah orang yang paling layak dikhawatirkan.

3

Saya akan mengajukan dua pertanyaan, inilah rencana saya. Satu pertanyaan sudah bertahun-tahun ada di kepala saya, sedangkan satu pertanyaan lagi akan saya susun berdasarkan apa yang akan ada di panggung “Meretas Budaya Korupsi” nanti. “Biar masuk Youtube,” kata saya kepada istri saya. Tentu saja ini hanya gurauan. Jangankan masuk Youtube, masuk kantor Penyuluh KB saja tidak pernah ada dalam daftar cita-cita saya.

4

Sesungguhnya saya benar-benar tidak perlu melakukan perjalanan ini. Tentang korupsi, tanpa bermaksud merasa sudah tahu, saya pikir saya sudah punya cukup referensi. Tentang hamba Allah yang menjadi titik pusat lingkaran ini, tanpa bermaksud merasa sudah faham, saya pikir saya sudah punya cukup kunci. Apa-apa yang saya pernah terima dari beliau, sungguh tidak jauh beda dengan apa-apa yang pernah saya terima dari salah satu kakak saya. Lagipula, tanpa bermaksud melebih-lebihkan diri, seringkali hikmah-hikmah itu datang tanpa melalui perantara. Ilham dari langit sebenarnya dibagi merata, soal yang satu dapat dan yang lain tidak dapat, atau soal yang satu dapat lebih dahulu dan yang lain dapat belakangan, kunci jawabannya terletak pada modem dan quota masing-masing kita.

5

Jadi mengapa saya tetap menempuh perjalanan yang seharusnya tidak saya perlukan? Kesungguh-sungguhan. Njajal awak mendah matio, kata sebuah tulisan di dinding gedung Pesanten saya dulu. Ini alasan pertama. Alasan kedua, perjalanan ini saya niati nyicil untuk anak saya yang berumur 6 bulan dalam kandungan. Disebut nyicil kesungguhan bisa, disebut nyicil ketulusan monggo, disebut nyicil kesuksesan, jangan! Bagi saya, di dunia ini tidak ada orang sukses, yang ada hanya orang berproses.

6

Menurut sebuah ilmu yang pernah saya pelajari, definisi sahabat Muhammad saw. adalah orang yang pernah melihat beliau secara langsung. Ya, cukup dengan melihat, jadilah sahabat. Padahal yang disebut melihat itu bisa jadi maksud sebenarnya adalah “melihat”. Seperti kata yaroh dalam ayat wa man ya’mal mitsqaali dzarratin khairan yaroh. Maka inilah alasan ketiga perjalanan saya menuju alun-alun Purwodadi: untuk melihat dan "melihat".

7

Jika melihat adalah melihat, saya sudah bisa disebut sahabat sejak 9 tahun yang lalu. Saya hadir pada Bangbangwetan edisi perdana, sedangkan pada edisi kedua hingga ketujuh, saya bukan lagi sekadar sebagai hadirin. Saya terlibat langsung dalam proses penyelenggaraan meskipun keterlibatan itu hanya sebatas sebulan sekali kumpul pra acara di DKS, masang spanduk, dan nempel-nempel poster. Sebuah pengalaman yang bagi saya jauh lebih berkesan dibanding peristiwa lulus tes CPNS tanpa bayar” Namun, definisi adalah definisi, sedangkan kerinduan adalah rasa yang tak bisa didefinisikan. Beberapa teman akan terus saya ingat sebagai sahabat, namun definisi sahabat, tak cukup mewadahi kenyataan bahwa ternyata saya rindu untuk bisa bertemu dan berkumpul dengan sahabat-sahabat saya. Bertemu dan berkumpul dengan sahabat-sahabat saya yang “biasa-biasa” saja saya rindu, apalagi bertemu dan berkumpul dengan yang “tidak biasa”.

8

Empat umpatan terlontar dari mulut saya sepanjang perjalanan menuju tempat tujuan. Dua umpatan Suroboyoan, satu umpatan menyebut nama seekor hewan, dan satu umpatan berbahasa Arab, qittha’, artinya: kerupuk. Saya memang bukan orang yang cukup sopan, dan bersepeda motor di jalan yang lubang-lubangnya sudah menunggu bagai ranjau, hujan terus mengguyur, sebuah mobil mendongakkan sorot lampunya sehingga menggelapkan pandangan saya, cukup jadi alasan bagi saya untuk lebih tidak sopan. Setelah empat umpatan itu, sebenarnya saya menyesal. Jangan-jangan bukan hanya saya sendiri yang menghitung jumlah umpatan, tetapi juga Tuhan. Diam-diam saya khawatir: jangan-jangan Tuhan langsung bikin perhitungan, misalnya dengan membuat sepeda motor saya menghantam lubang.

9

Kekhawatiran saya terwujud. Sepeda motor menghantam lubang kemudian ambruk, saya terlempar beberapa meter dari sepeda motor. Dalam posisi masih terduduk di pinggir jalan aspal, sebuah mobil lewat dan seorang di dalamnya melongokkan kepala dari jendela kemudian memberi saya saran, “Makanya hati-hati, Mas ...” Mobil itu, bersama orang baik hati pemberi saran, terus berjalan. Di tengah kekhawatiran apakah saya masih bisa melanjutkan perjalanan atau tidak, saya tertawa. Sendirian.

Kurang lebih satu kilometer dari tempat saya tertawa sendirian tadi, saya memutuskan untuk istirahat ngopi di sebuah warung. Tujuan sebenarnya bukan ngopi, tapi bertanya, “Apakah alun-alun masih jauh dari sini?” Sambil meletakkan segelas kopi di hadapan saya, Ibu pemilik warung menjawab sekaligus bertanya, “Sudah dekat, Mas. Kira-kira empat kilometer. Mas-nya darimana dan ada apa di alun-alun?” Saya jawab pendek, “Dari Cepu, mau menghadiri pengajian.” Ibu pemilik warung bertanya lagi untuk memastikan, “Maksudnya, pengajiannya di masjid alun-alun?” Saya tertawa. Lagi-lagi sendirian.

11

Pukul 20.10 dikurangi pukul 17.10 sama dengan tiga jam. Pukul 20.18 saya memotret panggung yang masih kosong dan satu shaf terdepan hadirin belum terisi penuh. Menurut perhitungan saya, jika saya ikut mengisi shaf terdepan itu, besar kemungkinan saya untuk mendapatkan kesempatan mengajukan pertanyaan. Tapi saya tampaknya memang cukup berbakat untuk menyia-nyiakan kesempatan. Setelah melakukan perhitungan, saya justru berjalan ke luar alun-alun: mencari entah apa.

12

Salah satu jenis buku yang saya harapkan ketiadaannya adalah buku ringkasan. Ringkasan Sahih Bukhari-Muslim, Ringkasan Tafsir, Ringkasan Al-Hikam, Ringkasan Nurul Yaqin, Ringkasan Cara Memilih Jodoh ... Alasan klasik adanya buku-buku ringkasan itu adalah untuk memudahkan. Sedangkan alasan tersembunyinya adalah untuk mendapatkan lebih banyak uang. Adapun efek klasik nan tersembunyi dari buku-buku ringkasan itu adalah kebodohan. Maka mohon maaf, saya tidak akan memberikan ringkasan materi pengajian di alun-alun Purwodadi malam itu. Lagipula, enam jam perjalanan pergi-pulang plus tiga jam duduk beralaskan genangan air dan beratapkan tetes-tetes air hujan benar-benar bukan periode yang sepadan dibandingkan dengan beberapa paragraf ringkasan.

13

Setiap orang, ketika ditimpa masalah, akan merasa bahwa masalahnya sendirilah yang paling besar. Atau, setiap orang, ketika berjasa, akan merasa bahwa jasanya sendirilah yang paling besar. Saya yang juga termasuk dalam setiap orang itu, pada sebuah titik, merasa bahwa saya sendirilah yang jaraknya paling jauh dibanding seluruh hadirin sehingga saya sendirilah yang perjuangannya paling besar. Sekian detik dari titik itu saya menyadari kesalahan perasaan saya: tepat di sebelah kiri saya, seorang ibu duduk memangku anaknya yang kira-kira baru berumur dua atau tiga tahun. Ibu dan anak itu begitu tenang, seakan langit tidak pernah menurunkan hujan dan bumi tidak pernah tergenang air.

14

“Hilangkan “wajah” saya, hilangkan “wajah” siapa siaja, hanya boleh ada “wajah” Allah,” demikian beliau memukaddimahi doa bersama sebagai penutup acara.

Ya Allah, alangkah indah ketiadaan diri di hadapan-Mu. Dan, wahai, lihatlah itu! Yang diperebutkan oleh kerumunan orang itu bukan tangan Bupati, bukan tangan Kajari, tetapi tangan hamba-Mu yang meniadakan diri.

 

Padangan, 13-14 Februari 2016

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Gaya Hidup Selengkapnya
Lihat Gaya Hidup Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun