1
Perjalanan saya kali ini dimulai dari cerita tentang hilangnya dua lusin celana dalam. Seolah memukaddimahi rencana perjalanan saya menuju sebuah panggung bertuliskan “Meretas Budaya Korupsi”, pagi itu (saya berangkat pada sorenya) dua orang kader desa (saya seorang Penyuluh KB yang “mempunyai” 12 kader dan kesemuanya perempuan) bercerita tentang hilangnya celana dalam mereka ketika sedang dijemur. Menjemur 10, cerita salah satu kader saya, hilang 7. Hari berikutnya, menjemur 6 hilang 3. Selanjutnya, menjemur 2 hilang 1. Terakhir, menjemur 1 hilang 1. Proses hampir serupa dialami kader yang satunya. Korupsi, terbukti bukan hanya milik para pengguna anggaran, tetapi juga milik siapa saja.
2
Jangan memikirkan pertanyaan dalam perjalanan nanti, demikian pesan istri saya sebelum saya berangkat. Tepatnya beberapa saat ketika ia mendapati pandangan mata saya cukup lama tertuju pada satu titik tak tampak mata. Istri saya berhak khawatir tentang perjalanan saya karena perjalanan kali ini disamping jaraknya yang lumayan jauh, juga karena perjalanan saya akan merupakan perjalanan malam yang ia duga bergelimang air hujan. Dugaan yang tersahihkan: sejak dari Blora sampai di tempat tujuan, kurang lebih 3 jam, hujan turun hampir tanpa henti. Orang-orang yang mengenal saya pasti mengetahui bahwa dalam hal mengendarai sepeda motor pada malam hari dan di bawah guyuran hujan, saya adalah orang yang paling layak dikhawatirkan.
3
Saya akan mengajukan dua pertanyaan, inilah rencana saya. Satu pertanyaan sudah bertahun-tahun ada di kepala saya, sedangkan satu pertanyaan lagi akan saya susun berdasarkan apa yang akan ada di panggung “Meretas Budaya Korupsi” nanti. “Biar masuk Youtube,” kata saya kepada istri saya. Tentu saja ini hanya gurauan. Jangankan masuk Youtube, masuk kantor Penyuluh KB saja tidak pernah ada dalam daftar cita-cita saya.
4
Sesungguhnya saya benar-benar tidak perlu melakukan perjalanan ini. Tentang korupsi, tanpa bermaksud merasa sudah tahu, saya pikir saya sudah punya cukup referensi. Tentang hamba Allah yang menjadi titik pusat lingkaran ini, tanpa bermaksud merasa sudah faham, saya pikir saya sudah punya cukup kunci. Apa-apa yang saya pernah terima dari beliau, sungguh tidak jauh beda dengan apa-apa yang pernah saya terima dari salah satu kakak saya. Lagipula, tanpa bermaksud melebih-lebihkan diri, seringkali hikmah-hikmah itu datang tanpa melalui perantara. Ilham dari langit sebenarnya dibagi merata, soal yang satu dapat dan yang lain tidak dapat, atau soal yang satu dapat lebih dahulu dan yang lain dapat belakangan, kunci jawabannya terletak pada modem dan quota masing-masing kita.
5
Jadi mengapa saya tetap menempuh perjalanan yang seharusnya tidak saya perlukan? Kesungguh-sungguhan. Njajal awak mendah matio, kata sebuah tulisan di dinding gedung Pesanten saya dulu. Ini alasan pertama. Alasan kedua, perjalanan ini saya niati nyicil untuk anak saya yang berumur 6 bulan dalam kandungan. Disebut nyicil kesungguhan bisa, disebut nyicil ketulusan monggo, disebut nyicil kesuksesan, jangan! Bagi saya, di dunia ini tidak ada orang sukses, yang ada hanya orang berproses.
6