Menurut sebuah ilmu yang pernah saya pelajari, definisi sahabat Muhammad saw. adalah orang yang pernah melihat beliau secara langsung. Ya, cukup dengan melihat, jadilah sahabat. Padahal yang disebut melihat itu bisa jadi maksud sebenarnya adalah “melihat”. Seperti kata yaroh dalam ayat wa man ya’mal mitsqaali dzarratin khairan yaroh. Maka inilah alasan ketiga perjalanan saya menuju alun-alun Purwodadi: untuk melihat dan "melihat".
7
Jika melihat adalah melihat, saya sudah bisa disebut sahabat sejak 9 tahun yang lalu. Saya hadir pada Bangbangwetan edisi perdana, sedangkan pada edisi kedua hingga ketujuh, saya bukan lagi sekadar sebagai hadirin. Saya terlibat langsung dalam proses penyelenggaraan meskipun keterlibatan itu hanya sebatas sebulan sekali kumpul pra acara di DKS, masang spanduk, dan nempel-nempel poster. Sebuah pengalaman yang bagi saya jauh lebih berkesan dibanding peristiwa lulus tes CPNS tanpa bayar” Namun, definisi adalah definisi, sedangkan kerinduan adalah rasa yang tak bisa didefinisikan. Beberapa teman akan terus saya ingat sebagai sahabat, namun definisi sahabat, tak cukup mewadahi kenyataan bahwa ternyata saya rindu untuk bisa bertemu dan berkumpul dengan sahabat-sahabat saya. Bertemu dan berkumpul dengan sahabat-sahabat saya yang “biasa-biasa” saja saya rindu, apalagi bertemu dan berkumpul dengan yang “tidak biasa”.
8
Empat umpatan terlontar dari mulut saya sepanjang perjalanan menuju tempat tujuan. Dua umpatan Suroboyoan, satu umpatan menyebut nama seekor hewan, dan satu umpatan berbahasa Arab, qittha’, artinya: kerupuk. Saya memang bukan orang yang cukup sopan, dan bersepeda motor di jalan yang lubang-lubangnya sudah menunggu bagai ranjau, hujan terus mengguyur, sebuah mobil mendongakkan sorot lampunya sehingga menggelapkan pandangan saya, cukup jadi alasan bagi saya untuk lebih tidak sopan. Setelah empat umpatan itu, sebenarnya saya menyesal. Jangan-jangan bukan hanya saya sendiri yang menghitung jumlah umpatan, tetapi juga Tuhan. Diam-diam saya khawatir: jangan-jangan Tuhan langsung bikin perhitungan, misalnya dengan membuat sepeda motor saya menghantam lubang.
9
Kekhawatiran saya terwujud. Sepeda motor menghantam lubang kemudian ambruk, saya terlempar beberapa meter dari sepeda motor. Dalam posisi masih terduduk di pinggir jalan aspal, sebuah mobil lewat dan seorang di dalamnya melongokkan kepala dari jendela kemudian memberi saya saran, “Makanya hati-hati, Mas ...” Mobil itu, bersama orang baik hati pemberi saran, terus berjalan. Di tengah kekhawatiran apakah saya masih bisa melanjutkan perjalanan atau tidak, saya tertawa. Sendirian.
Kurang lebih satu kilometer dari tempat saya tertawa sendirian tadi, saya memutuskan untuk istirahat ngopi di sebuah warung. Tujuan sebenarnya bukan ngopi, tapi bertanya, “Apakah alun-alun masih jauh dari sini?” Sambil meletakkan segelas kopi di hadapan saya, Ibu pemilik warung menjawab sekaligus bertanya, “Sudah dekat, Mas. Kira-kira empat kilometer. Mas-nya darimana dan ada apa di alun-alun?” Saya jawab pendek, “Dari Cepu, mau menghadiri pengajian.” Ibu pemilik warung bertanya lagi untuk memastikan, “Maksudnya, pengajiannya di masjid alun-alun?” Saya tertawa. Lagi-lagi sendirian.
11
Pukul 20.10 dikurangi pukul 17.10 sama dengan tiga jam. Pukul 20.18 saya memotret panggung yang masih kosong dan satu shaf terdepan hadirin belum terisi penuh. Menurut perhitungan saya, jika saya ikut mengisi shaf terdepan itu, besar kemungkinan saya untuk mendapatkan kesempatan mengajukan pertanyaan. Tapi saya tampaknya memang cukup berbakat untuk menyia-nyiakan kesempatan. Setelah melakukan perhitungan, saya justru berjalan ke luar alun-alun: mencari entah apa.
12