Terkait desakan publik untuk membatalkan UU KPK melalui pernerbitan peraturan pemerintah pengganti undang-undang (Perppu), Presiden Jokowi saat ini seperti berada di persimpangan.
Di satu sisi, para pimpinan parpol pendukung telah menunjukkan ketidaksetujuannya tentang penerbitan Perppu KPK.
Seusai bertemu presiden di Istana Kepresidenan, Bogor, Jawa Barat, Senin (30/9/2019) lalu, para pimpinan parpol pendukung telah membuat pernyataan bahwa Jokowi dan partai politik pendukung sepakat untuk tidak mengeluarkan Perppu KPK.
Bahkan, dengan alasan bahwa UU KPK hasil revisi saat ini masih diuji materi di Mahkamah Konstitusi (MK), ada pimpinan parpol pendukung yang menakut-nakuti Jokowi dengan isu pemakzulan apabila presiden menerbitkan Perppu KPK.
Di sisi lain, para mahasiswa yang melakukan unjuk rasa menolak UU KPK Â masih terus mendesak agar Jokowi segera menerbitkan Perppu KPK.
Ketika bertemu Kepala Staf Kepresidenan Moeldoko, Kamis (3/10), Badan Eksekutif Mahasiswa dari sejumlah universitas telah menyampaikan ultimatum agar Presiden Jokowi bersedia berdialog terbuka mengenai isu UU KPK ini. Mereka memberi tenggat waktu bagi Jokowi sampai 14 Oktober mendatang.
Apabila melewati batas waktu yang diberikan, Presiden Jokowi belum juga merespon, mahasiswa 'mengancam' akan melakukan demonstrasi dengan kekuatan massa yang lebih besar lagi.
"Kalau sampai 14 Oktober tidak ada juga diskusi tersebut dan tidak ada statement dari Presiden Jokowi, kami pastikan mahasiswa akan turun ke jalan dan lebih besar lagi," kata Presiden Mahasiswa Trisakti Dino Ardiansyah. [Kompas, Jumat (4/10).
Hingga tulisan ini dibuat, Presiden Jokowi belum mengambil keputusan apakah akan menerbitkan Perppu atau tidak.
Padahal, usai bertemu sejumlah  tokoh, diantaranya Mahfud MD, mantan pimpinan KPK Erry Riana Hadjapamekas, pakar hukum tata negara Feri Amsari dan Bivitri Susanti serta beberapa tokoh ternama lainnya di Istana Merdeka, Jakarta, Kamis (26/9/201), Jokowi sempat membuat statemen akan mempertimbangkan penerbitan Perppu KPK.
Namun, sikap Jokowi seolah jadi berubah (lagi) setelah bertemu pimpinan parpol pendukung. Jokowi seolah lebih percaya dan lebih 'mau mendengar' omongan para pimpinan parpol ketimbang masukan para tokoh yang ditemui sebelumnya.
Saya yakin Jokowi bukan seorang penakut. Saya juga yakin Jokowi mengerti bahwa sebagai presiden, ia bukan hanya kepala pemerintahan, tetapi juga kepala negara.
Sebagai kepala negara, Presiden Jokowi-lah yang mestinya menjadi pemegang tongkat komando dan menjadi pengontrol partai-partai agar tidak berbuat semaunya. Jokowi-lah yang mestinya bisa meluruskan  (dan/atau meralat) segala keputusan politik yang dibuat oleh para tokoh partai di DPR agar sesuai dengan kehendak publik.
Dalam konteks inilah, presiden diberikan kewenangan oleh Undang-Undang Dasar 1945 untuk menerbitkan Perppu dalam hal ihwal kegentingan yang memaksa. Penafsiran tentang 'kegentingan memaksa' pun diserahkan sepenuhnya kepada  subyektivitas Presiden.
Akan tetapi, nyatanya, terkait kisruh revisi UU KPK, Jokowi seolah tak berdaya menghadapi para pimpinan parpol pendukung (juga partai oposisi) yang begitu ngotot ingin 'menguatkan' KPK dengn cara mereka.
Jokowi seolah percaya begitu saja narasi menyesatkan tentang isu pemakzulan jika menerbitkan Perppu KPK. Jokowi seolah mengiyakan 'pandangan terbalik' dari orang-orang dekatnya yang menyebut 'mahasiswa jangan memaksa-maksa'.
Lha mestinya pemerintah dan DPR yang jangan maksa-maksa  membuat UU yang tidak sesuai dengan kehendak publik. Jika sudah terlanjur  jadi UU trus diprotes dan didemo, berarti ada yang salah. Ada yang kurang tepat. Ya terbitkan Perppu. Sudah, gitu aja.
Lalu, apa sebenarnya penyebab Jokowi belum juga mengambil keputusan terkait polemik revisi UU KPK?
Hemat saya, hanya ada dua kemungkinan tekait kondisi  yang dialami Jokowi saat ini. Pertama, jika Jokowi memang 'hanya' petugas partai, ia akan diam-diam saja, seperti sikap tidak pedulinya ketika publik mendesak agar mencoret nama Capim KPK  bermasalah hingga UU KPK hasil revisi sah menjadi UU dengan sendirinya karena telah melewati batas 30 hari.
Apabila kita telisik lebih dalam, kengototan untuk merevisi UU KPK sebenarnya tidak hanya ditunjukkan oleh DPR. Orang-orang pemerintah, baik Menteri maupun orang-orang istana juga begitu jelas berkata bahwa mereka sangat berkeinginan untuk 'menguatkan' KPK dengan cara 'seperti itu'.
Terlebih lagi jika selentingan yang beredar ternyata benar, bahwa upaya 'menguatkan' KPK didesain oleh dua parpol besar pendukung pemerintah agar orang-orangnya tak 'terjamah', Jokowi tentu tidak akan bisa berbuat apa-apa.
Kedua, jika Jokowi mampu berdiri sebagai seorang presiden yang dipilih langsung oleh rakyat, yang sadar dan mengerti bahwa ia tidak hanya  sebagai kepala pemerintahan tetapi juga sebagai kepala negara, Presiden Jokowi tanpa ragu akan menerbitkan Perppu.
Apabila saat ini Jokowi diam, ia hanya (masih) menunggu waktu. Menunggu judicial review di MK yang apabila ditolak atau hanya dikabulkan sebagian, hampir pasti akan ada gejolak sehingga punya alasan untuk menafsirkan 'kegentingan yang memaksa. Â
Atau menunggu 30 hari pasca UU KPK hasil revisi disahkan pada 17 Oktober nanti. Atau menunggu waktu yang aman, setelah pelantikan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H