Mohon tunggu...
Fifin Nurdiyana
Fifin Nurdiyana Mohon Tunggu... Administrasi - PNS

PNS, Social Worker, Blogger and also a Mom

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Badan Bank Tanah, Harapan Baru Reforma Agraria untuk Indonesia Sejahtera

20 Januari 2025   16:02 Diperbarui: 20 Januari 2025   16:02 101
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Badan Bank Tanah (Sumber: website banktanah.id)

Masalah pertanahan saat ini menjadi salah satu isu utama pembangunan di Indonesia. Bukan hanya membicarakan konflik tanah saja, tapi juga berpengaruh besar pada pembangunan di sektor lainnya, seperti hukum, pertanian, ketahanan pangan, kelestarian lingkungan, perekonomian dan kesejahteraan, sosial budaya, dll.

Konflik tanah dapat berimbas pada terhambatnya laju pembangunan. Percepatan pembangunan yang digadang-gadang dapat meningkatkan kesejahteraan bangsa harus terkendala karena berbagai macam konflik tanah, seperti konflik pembebasan lahan, sengketa lahan, dominasi penguasaan lahan pertanian, perambahan hutan oleh oknum tidak bertanggungjawab, penyerobotan tanah negara, ketidakjelasan status hukum suatu lahan tanah atau redistribusi tanah yang tidak tepat sasaran.

Tentu saja hal ini akan membuat proses pembangunan menjadi lambat. Apalagi, seperti diketahui, konflik tanah merupakan salah satu konflik yang cukup pelik dan tidak semudah membalikkan tangan dalam penyelesaiannya. Konflik tanah dapat berefek domino di lini-lini yang lain, sehingga dibutuhkan kehati-hatian, waktu yang tidak sebentar serta komitmen yang kuat dalam upaya penyelesaiannya.

Hingga kini, data yang tercatat Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) menyebutkan bahwa sejak tahun 2023 telah terjadi 241 konflik agraria yang merampas 638.188 hektar tanah, baik tanah pertanian, tanah adat, wilayah tangkap serta pemukiman.

Data ini sekaligus mentahbiskan Indonesia berada di posisi teratas diantara lima negara Asia lainnya, yaitu India, Kamboja, Filipina, Bangladesh dan Nepal yang tergabung dalam Asia NGO Coalition for Agrarian Reform and Rural Development.

Isu agraria yang begitu kompleks mengharuskan pemerintah dan para stake holder benar-benar serius merancang kebijakan yang solutif dan berasaskan keadilan untuk mewujudkan kesejahteraan masyarakat, yang kemudian kita kenal dengan reforma agraria.

Reforma agraria diharapkan dapat menjadi sebuah solusi yang adil dalam membantu menyelesaikan masalah pertanahan di Indonesia dengan menata ulang kembali pemilikan, penguasaan serta redistribusi tanah agar sesuai dengan peruntukannya.

Sekilas Sejarah Reforma Agraria di Indonesia

Ketika membicarakan masalah pertanahan, tentu kita sudah tidak asing dengan istilah reforma agraria, yaitu suatu kebijakan yang berisi proses penataan kembali atas pemilikan, penguasaan, penggunaan serta pemanfaatan sumber daya agraria.

Reforma agraria perlu dilakukan untuk mencapai kepastian hukum serta keadilan yang merata bagi seluruh rakyat Indonesia. Kemakmuran dan kesejahteraan rakyat menjadi tujuan utama kebijakan reforma agraria. Jika kesejahteraan dapat dicapai maka Indonesia pun akan bersiap untuk menyongsong era kemajuan dan berdaya saing di kancah dunia.

Dilansir dari laman website Fakultas Pertanian Universitas Gadjah Mada, reforma agraria tidak terlepas dari upaya pemerintah untuk merumuskan UU agraria baru untuk menggantikan UU agraria lama yang dibuat oleh kolonial.

UU agraria dirancang sejak tahun 1948 oleh Panitia Agraria Yogya dan tahun 1952 oleh Panitia Agraria Jakarta, hingga peristiwa Tanjung Morawa di tahun 1954 dimana pemerintah mengeluarkan UU Darurat Nomor 8 tentang pemakaian tanah perkebunan hak erfpacht oleh rakyat. Di masa ini pendudukan lahan tidak lagi dianggap sebagai pelanggaran hukum.

Tahun 1957, pemerintah Indonesia membatalkan perjanjian Konferensi Meja Bundar (KMB) karena Belanda belum juga melepaskan Irian Barat. Hal ini juga yang kemudian mendasari pemerintah untuk membuat UU baru yaitu UU Nomor 1 Tahun 1958 tentang penghapusan tanah-tanah partikelir, dimana hak-hak pemilikan tanah dikuasai oleh negara dengan memberikan ganti rugi agar tidak terjadi konflik.

Dua tahun kemudian, tepatnya tanggal 24 September 1960, lahirlah UU Nomor 5 tentang peraturan dasar pokok-pokok agraria. Undang-undang kemudian lebih dikenal dengan sebutan Undang-undang Pembaruan Agraria (UUPA).

Lahirnya UUPA inilah yang kemudian menjadi awal lahirnya hukum agraria atau pertanahan yang baru, dimana tanah di Indonesia harus bisa digunakan untuk kepentingan kesejahteraan rakyat dan mengatur segala hal tentang pertanahan, seperti penguasaan, hak tanah bagi rakyat, diakuinya hukum adat serta yang menggembirakan adalah warga negara asing tidak bisa mempunyai hak milik atas tanah di Indonesia.

UUPA disambut dengan sukacita oleh rakyat kala itu, sehingga setiap tanggal 24 September diperingati sebagai Hari Tani sekaligus menjadi acuan dimulainya reforma agraria di Indonesia. Program ini diawali dengan pendaftaran tanah yang aturannya disesuaikan dengan Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1961 agar dapat diperoleh status kepastian hukum atas pemilikan dan penguasaan tanah.

Asas keadilan dan kesejahteraan rakyat kemudian diwujudkan dengan memberikan tanah yang melebihi batas maksimum pemilikan kepada para petani yang tidak memiliki lahan tanah, sehingga para petani diharapkan dapat memiliki lahan tanah untuk pertanian.

Namun demikian, reforma agraria ini belum berjalan dengan maksimal. Kendala administrasi dan carut marut korupsi serta kepentingan pihak tertentu menjadikan program reforma agraria menjadi lambat dan tidak sesuai dengan harapan.

Keadaan ini menyebabkan terjadinya konflik agraria, dimana kala itu konflik besar terjadi di Jember dan Kediri, yang dikenal dengan peristiwa jengkol, yaitu konflik sengketa tanah antara petani dan perkebunan yang menyebabkan banyak korban meninggal.

Karena itulah, pada tahun 1964, dikeluarkan UU Nomor 21 tentang pengadilan landreform yang mengatur sanksi bagi mereka yang menolak menaati aturan, yang justru memicu kericuhan politik sehingga reforma agraria sempat dianggap gagal.

Hingga kini, program reforma agraria masih terus diupayakan, walaupun seiring dengan berjalannya waktu dan pergantian rezim kepemimpinan, masih banyak yang harus dibenahi agar tujuan utama reforma agraria untuk kesejahteraan rakyat dapat dicapai.

Badan Bank Tanah, Harapan Baru Reforma Agraria untuk Indonesia Sejahtera

Seperti diketahui, masa pemerintahan Presiden Prabowo Subianto, salah satu dari fokus kerja Asta Cita adalah mewujudkan swasembada pangan di Indonesia. Swasembada pangan menjadi target kerja utama yang harus diwujudkan untuk meningkatkan pertahanan negara di sektor pangan.

Untuk mewujudkan hal tersebut, Presiden telah merumuskan 8 program hasil terbaik cepat, dimana salah satunya adalah mencetak dan meningkatkan produktivitas lahan pertanian dengan lumbung pangan desa, daerah dan nasional.

Sementara itu, bicara swasembada pangan bukan hanya bicara tentang komoditas pangan saja, tapi juga bicara tentang ketersediaan lahan yang akan dijadikan sebagai lumbung pangan di suatu daerah.

Menyadari akan hal ini, Badan Bank Tanah yang merupakan badan yang dibentuk khusus oleh Pemerintah Pusat untuk mengelola tanah milik negara, seperti melakukan perencanaan, perolehan, pengadaan, tata kelola, pemanfaatan serta pendistribusian tanah harus mengemban tugas besar untuk mendukung program swasembada pangan tersebut.

Badan Bank Tanah tidak bekerja sendiri, namun memiliki komite yang melibatkan menteri keuangan, menteri PUPR dan menteri ATR/BPN dan bertanggungjawab kepada Presiden. Melalui kerjasama komite, Badan Bank Tanah mampu menyediakan lahan tanah yang memiliki spesifikasi berkualitas dan tentu saja sudah pasti status hukumnya untuk dipergunakan sesuai dengan peruntukannya.

Kehadiran Badan Bank Tanah mewarnai capaian kinerja dalam tata kelola agraria di Indonesia. Badan Bank Tanah merupakan leading sector bangkitnya reforma agraria, khususnya pada program peningkatan ketahanan pangan melalui swasembada pangan.

Menurut Kepala Badan Bank Tanah, Parman Nataatmadja, dilansir dari Kompas.com, hingga kini Badan Bank Tanah sudah menyediakan kesiapan lahan tanah untuk mendukung program swasembada pangan, yaitu di wilayah Poso, Kalimantan dan Tapanuli Selatan dengan total luas 27.000 hektar.

Bukan hanya sekadar menyediakan lahan tanah untuk pertanian pangan, namun Badan Bank Tanah juga berkomitmen menjamin kualitas lahan tanah yang akan dimanfaatkan untuk kepentingan kesejahteraan negara.

Pembentukan Badan Bank Tanah menjadi harapan baru reforma agraria dengan gebrakannya dalam mengelola tanah melalui visi misinya, yaitu mendukung pemerataan ekonomi (keadilan perekonomian), memberikan kepastian hukum, solusi untuk kebutuhan lahan serta bersifat transparan, akuntabel dan non profit.

Sedangkan tujuan utamanya adalah untuk menjamin ketersediaan tanah dalam mendukung ekonomi berkeadilan, meliputi kepentingan umum, kepentingan sosial, kepentingan pembangunan nasional, pemerataan ekonomi, konsolidasi lahan dan reforma agraria.

Reforma agraria menjadi salah satu tugas dan fungsi Badan Bank Tanah, dimana dalam Peraturan Pemerintah Nomor 64 Tahun 2021, Badan Bank Tanah berkewajiban menyediakan minimal 30% dari HPL untuk pelaksanaan reforma agraria.

Kabar baiknya, masyarakat yang menjadi subjek reforma agraria akan mendapatkan hak pakai HPL Badan Bank Tanah selama 10 tahun dan diberikan sertifikat hak milik (SHM) jika dapat mempergunakannya dengan baik (sumber:banktanah.id)

Dengan demikian, Badan Bank Tanah sudah memberikan kontribusi besar dalam langkah strategis untuk mempercepat program pembangunan di segala sektor untuk mencapai kesejahteraan rakyat bersama Indonesia maju menuju Indonesia emas 2045.

Hingga kini, data dari laman website banktanah.id, Badan Bank Tanah sudah berhasil memiliki aset persediaan tanah seluas 33.115,6 hektar yang tersebar di 45 kabupaten/kota di seluruh Indonesia yang dapat dimanfaatkan melalui bentuk kerjasama, seperti jual beli, sewa, kerjasama usaha, hibah, tukar menukar, dll.

Besar harapan, dengan wewenang tata kelola tanah oleh Badan Bank Tanah, reforma agraria dapat berjalan dengan maksimal sehingga angka konflik agraria dapat ditekan dan keadilan agraria dapat ditingkatkan. Tidak ada lagi petani gurem sehingga mereka bisa mandiri dengan lahan pertanian yang dimiliki. 

Jika ini tercapai, maka apresiasi yang luar biasa bagi Badan Bank Tanah yang sudah melahirkan sejarah baru reforma agraria yang jauh lebih baik di Indonesia.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun