Mohon tunggu...
Fifin Nurdiyana
Fifin Nurdiyana Mohon Tunggu... Administrasi - PNS

PNS, Social Worker, Blogger and also a Mom

Selanjutnya

Tutup

Love Artikel Utama

Intervensi Konten bagi Keharmonisan Rumah Tangga, Seberapa Mengkhawatirkan?

1 Februari 2023   17:59 Diperbarui: 17 Februari 2023   13:21 427
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Menggunakan media sosial meningkatkan depresi (freepik/garetsvisual)

Beberapa waktu lalu saya dapati seorang teman menangis tersedu sembari melihat sebuah konten di media sosial. 

Usut punya usut, ternyata ia merasa sedih melihat konten seorang perempuan yang terpaksa bercerai karena suaminya selingkuh. 

Kehidupan perempuan itu pun diliputi dengan kepedihan pasca bercerai, mulai dari kesulitan ekonomi, kehilangan kepercayaan diri hingga dipaksa harus mandiri untuk membesarkan anak-anaknya.

Lantas, teman saya berkata pada suaminya, "Kamu jangan kayak gini ya pa...jangan selingkuh...jangan ceraikan aku...hiksss..."

Sang suami pun terbahak, pun denganku yang melihat ungkapan hati temanku, "'Kok jadi aku sih ?!" Protes suaminya

Fenomena seperti ini pasti tidak sedikit yang mengalami. Sedikit banyak isi konten akan mengintervensi diri penontonnya terhadap lingkungan di sekitarnya. 

Jika kontennya bahagia pasti akan terucap "kamu kok gak pernah giniin aku sih pa ?" atau "lihat ni pa...kalau ikhlas belanjain istri pasti rezekinya lancar..."

Nah, jika kontennya sedih, kira-kira seperti yang teman saya ucapkan tadi. Atau kalau yang lebih ekstrim akan bernada ancaman, seperti "Awas ya kalau kamu selingkuh! Udah pasti habis kamu aku buat!"

Luar biasa ya dampak intervensi sebuah konten terhadap keharmonisan rumah tangga. Meski kelihatan remeh, tapi ini bisa jadi bahaya yang mengancam keutuhan rumah tangga jika tidak disikapi dengan bijak.

Bayangkan, jika seorang istri tiba-tiba menuduh suaminya berselingkuh hanya karena memiliki ciri-ciri sikap yang mirip dengan di konten. Sementara sang suami dalam keadaan lelah setelah bekerja, apa tidak memicu terjadinya pertengkaran?

Atau tiba-tiba istri memantau HP suami dan menanyakan dengan detil isi chat suami dengan teman-temannya. Jika suami bukan tipikal pemarah mungkin tidak masalah, tapi bagaimana jika suami tipikal tidak suka ditanya-tanya secara detil, tentu ini akan menjadi konflik.

Ilustrasi seseorang mudah terintervensi oleh konten media sosial (sumber: lifestyle kompas.com)
Ilustrasi seseorang mudah terintervensi oleh konten media sosial (sumber: lifestyle kompas.com)

Disadari atau tidak, banyak para istri yang memiliki kadar was-was dan ketakutan meningkat sejak adanya beragam konten tentang rumah tangga di media sosial.

Saya coba melakukan riset kecil-kecilan terhadap para istri di lingkungan sekitar. Hasilnya, 8 dari 12 orang menyatakan sering terintervensi dengan konten-konten di media sosial. 

Mereka merasa ketakutan dan dihantui kecurigaan terhadap pasangannya. Dan isi konten yang paling mengintervensi adalah yang berbau perselingkuhan.

Sementara 4 orang lainnya menyatakan biasa-biasa saja dan menganggap konten hanya sebatas hiburan saja. 

Uniknya, hampir 90% istri yang terintervensi adalah para istri yang sehari-hari berprofesi ibu rumah tangga.

Bukan mendiskritkan ibu rumah tangga, karena nyatanya ibu pekerja kantoran pun tak luput dari intervensi konten di media sosial tersebut.

Fenomena ini mengingatkan kita pada dua teori sosiologi komunikasi, yaitu teori uses and effects dan teori uses and gratifications dalam Burhan Bungin (2006). 

Disebutkan pada teori tersebut tentang bagaimana efek media sangat mempengaruhi pemikiran dan sikap penggunanya serta tiga faktor utama yang mempengaruhi seberapa besar seseorang terintervensi, yaitu jumlah waktu, isi konten media dan hubungan kepentingan.

Semakin tinggi angka ketiganya, maka akan semakin tinggi juga tingkat pengguna terpengaruh.

Dari sini, jika diambil benang merahnya, maka sudah jelas bahwa seseorang yang memiliki waktu lebih banyak untuk bermedia sosial maka ia akan lebih berisiko terintervensi lebih besar. 

Ia akan bermain dengan persepsinya sendiri dan cenderung kurang mengindahkan fakta-fakta logika.

Bisa dimaklumi, jika dari riset saya, lebih dominan ibu rumah tangga yang mudah terintervensi. 

Namun, saya tertarik kepada satu orang ibu rumah tangga yang ternyata berada di kubu empat orang yang tidak terintervensi dimana ketiga lainnya adalah ibu pekerja kantoran.

Setelah saya kulik, ternyata sang ibu ini memang sosok yang memiliki prinsip independen. Ia mengaku tidak mau dipusingkan dengan media sosial. 

Sama seperti tiga lainnya, ia menganggap media sosial hanya sebatas hiburan, tidak lebih. 

Sang ibu juga mengaku tidak tertarik melihat isi HP suaminya atau dalam bahasa kekiniannya tidak kepo. Baginya, yang penting suami selalu pulang, bertanggungjawab dan tidak pernah kasar. Rumah tangga harus dilandasi kepercayaan, lanjutnya.

Lantas, seberapa mengkhawatirkan kah intervensi konten terhadap keharmonisan rumah tangga?

Tentu saja jika tidak disikapi dengan bijak akan sangat mengkhawatirkan. Tidak dapat dimungkiri, derasnya arus teknologi digital semakin menggeser cara pandang seseorang tentang kehidupan.

Bahkan, dilansir dari infosurabaya. id, perolehan data dari satu daerah menyebutkan bahwa media sosial menjadi penyebab perceraian tertinggi kedua setelah faktor ekonomi. Bahkan jumlahnya mengalami tren naik setiap tahun.

Kemudahan mendapat informasi akan sangat memengaruhi kerangka berpikir seseorang. 

Pasalnya, tidak semua orang siap untuk menerima gempuran teknologi yang semakin canggih. 

Tidak sedikit justru mereka terikut arus dan tergerus oleh zaman. Salah satu yang tidak disadari adalah mereka yang mudah terintervensi oleh konten media sosial.

Mereka bahkan sanggup mengesampingkan akal dan logika karena pengaruh konten yang terus-menerus.

Sudah pasti ini akan menganggu keharmonisan rumah tangga. Masing-masing pasangan akan dihantui oleh ketakutan dan was-was. 

Kecurigaan tanpa bukti kerap menjadi awal pertengkaran. Konsep berpikir secara persepsi lebih mendominasi ketimbang realita. 

Akibatnya, standar bahagia dan sedih itu dipukul rata bagi semua orang. Misal, kalau di konten bahagia itu ketika dibelikan perhiasan, maka begitu juga dengan pengguna konten, menganggap bahwa bahagia itu ketika dibelikan perhiasan. 

Ketika sang suami tidak mampu membelikan perhiasan, maka ia pun menyimpulkan bahwa rumah tangganya tidak bahagia. Dan masih banyak lagi contoh kasus yang lain.

Pada akhirnya, memang kita tidak bisa menghindari arus teknologi digital. Suka tidak suka, mau tidak mau, kita memang harus berhadapan dengan teknologi media sosial. 

Kita bahkan tidak bisa menjustifikasi bahwa media sosial itu buruk. Nyatanya, media sosial merupakan salah satu media siar informasi positif yang paling relevan untuk saat ini.

Meski demikian, ada beberapa hal yang dapat kita perhatikan tentang bagaimana menyikapi konten-konten di media sosial, terutama bagi keharmonisan rumah tangga:

Pertama, bijak bermedia sosial. Salah satu ciri bijak bermedia sosial adalah dengan menggunakan media sosial untuk hal-hal yang manfaat serta mendatangkan kebaikan untuk diri dan lingkungan.

Kedua, jangan mudah termakan hoax. Selalu mencari sumber berita yang valid sehingga tidak mudah terprovokasi.

Ketiga, kurangi waktu bermedia sosial. Seimbangkan waktu antara dunia maya dengan realita.

Keempat, pilah konten. Pilihlah konten yang membawa suggest positif, jangan malah sebaliknya. Lebih baik skip saja konten-konten yang tidak berfaedah.

Kelima, jaga komunikasi. Tidak ada salahnya membuat kesepakatan dengan pasangan untuk sejenak stop gadget dan ber-quality time bersama keluarga.

Keenam, ambil value dari sebuah konten. Jadi, nonton konten jangan cuma bisa baper, tapi juga ambil nilai-nilai pelajaran di dalamnya. 

Contoh, setelah melihat konten suami selingkuh, jangan bapernya yang dominan, tapi justru logika. Misalnya, oh saya harus memperbaiki komunikasi dengan suami, saya tidak boleh egois atau saya harus lebih meluangkan waktu untuk keluarga, dll.

Ketujuh, perbanyak ibadah dan beraktivitas positif. Hal ini sebagai salah satu upaya agar kita tidak terjebak dengan gaya hidup gadget minded serta membantu kita untuk merefresh pikiran supaya dapat berpikir dengan jernih.

Nah, bagaimana? Masih khawatir kah dengan fenomena intervensi media sosial terhadap keharmonisan rumah tangga? Atau justru sudah berada di kubu yang bijak dan tidak mudah terintervensi?

***

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Love Selengkapnya
Lihat Love Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun