Mohon tunggu...
Fifin Nurdiyana
Fifin Nurdiyana Mohon Tunggu... Administrasi - PNS

PNS, Social Worker, Blogger and also a Mom

Selanjutnya

Tutup

Vox Pop Artikel Utama

Stop Kekerasan PRT: Aku, Kamu, Kita Semua Bisa

1 Agustus 2022   08:23 Diperbarui: 1 Agustus 2022   11:40 724
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
ilustrasi demonstrasi oleh para Pekerja Rumah Tangga (Sumber: Kompas.com/Heru Sri Kumolo)

Saat ini kebutuhan akan Pekerja Rumah Tangga (PRT) dalam sebuah keluarga menjadi salah satu kebutuhan primer. Artinya, profesi pekerja rumah tangga sudah menjadi profesi yang sangat penting dan tidak dapat dipandang sebelah mata. 

Setiap rumah tangga tidak akan terlepas dari peran pekerja rumah tangga, terutama bagi pasangan muda yang memiliki mobilitas tinggi. Keberadaan PRT merupakan salah satu support system berjalannya roda aktivitas sehari-hari. Tanpanya, akan terjadi kepincangan yang berakibat pada terhambatnya kelancaran aktivitas keluarga.

Data International Labour Organization (ILO) menunjukkan di kawasan Asia Pasifik sebanyak 38 juta atau 50% lebih mempekerjakan PRT. Angka ini sekaligus menempatkan wilayah Asia Pasifik di urutan teratas dunia penggunaan PRT. 

Untuk Indonesia sendiri telah menyumbangkan sekitar 1,2 juta PRT bersama dengan penyumbang terbesar lainnya seperti China, India, Filipina, dan Bangladesh.

Angka yang sangat fantastis untuk sebuah pekerjaan yang memiliki tingkat dibutuhkan yang sangat tinggi. Ini membuktikan bahwa masalah PRT bukan lagi menjadi isu nasional tapi juga sudah menjadi isu dunia yang harus menjadi perhatian serius bagi pemerintah dan masyarakat secara umum. 

Bukan itu saja, keberadaan ILO yang menaungi masalah perburuhan dunia seolah menjadi satu sandaran hukum atas pembelaan hak-hak para PRT.

Fakta-fakta tegas yang diungkap ILO mestinya dapat menjadi cambuk bagi kita semua bahwa ada batas-batas kemanusiaan yang tidak boleh dilupakan selain batas nilai-nilai ekonomis dan kebutuhan pekerja pada diri PRT.

Studi Kasus, Ani Babak Belur Disekap dan Dianiaya Majikan

Dilansir dari Kompas.com, kisah Ani terkuak saat ia berhasil kabur dari sekapan sang majikan di daerah Jakarta Timur sekira tahun 2016 lalu. Dengan menggunakan seutas kabel, ia menuruni lantai tiga rumah majikan dan menyeberang ke rumah tetangga. 

Tak ayal, warga yang mengetahui aksi nekatnya pun berupaya menolong Ani yang kala itu mengalami depresi berat dengan luka lebam parah di wajah serta beberapa luka bekas setrika dan siraman air panas di daerah perut dan dada. Bersama warga, Ani pun mendatangi polsek terdekat dan membuat laporan.

Dari hasil laporan kepolisian, Ani mengaku kerap mendapat penganiayaan oleh majikannya. Sedikit saja Ani membuat kesalahan, maka kekerasan pun akan diterimanya. 

Mulai dari pemukulan oleh benda-benda di rumah seperti sapu, selang air, besi alat pel, sikat lantai, penyiraman air panas, setrika, dll hingga menimbulkan luka yang berdarah-darah.

Bukan hanya itu, Ani juga disekap tidak boleh keluar rumah oleh sang majikan. Dan itu sudah berlangsung selama kurang lebih 6 tahun lamanya. 

Warga yang sempat curiga karena sering mendengar rintihan dan teriakan minta tolong berusaha mendatangi rumah tersebut, namun selalu dihalangi dan dibantah oleh sang majikan bahwa keadaan rumahnya baik-baik saja.

Kasus kekerasan terhadap PRT sebenarnya bukan hanya terjadi pada Ani. Masih banyak kisah-kisah pilu "Ani-Ani" yang lain, yang barangkali tidak termuat ke media. 

Kisah menyedihkan Ani sungguh menjadi tamparan keras kepada kita semua, bahwa sampai saat ini PRT masih kerap mendapat perlakuan yang diskriminatif serta semena-mena oleh majikannya. Perlakuan tersebut mengarah ke kekerasan, baik fisik maupun verbal melalui perkataan-perkataan yang buruk, merendahkan dan menyakitkan.

Dari kasus Ani, kita dapat menelaah bahwa sosok PRT seringkali dianggap rendah dan lemah oleh majikannya. Apalagi jika PRT perempuan, maka kekerasan cenderung lebih mudah terjadi karena mereka dianggap tidak berdaya untuk melawan. Berbeda dengan PRT laki-laki yang lebih punya kekuatan dan kemampuan untuk melawan secara fisik.

Padahal, data ILO menyebutkan Pekerja Rumah Tangga di Asia Pasifik 78% adalah perempuan. Ini artinya, kekerasan terhadap PRT akan lebih mudah terjadi karena lebih dari separuh PRT adalah perempuan. Miris bukan ?

Stop Pelabelan dan Stereotip terhadap Pekerja Rumah Tangga (PRT)

Tidak dapat dimungkiri, profesi PRT masih mengalami stereotip hingga kini. Meski, secara bahasa PRT bukan Pembantu Rumah Tangga lagi melainkan diubah menjadi Pekerja Rumah Tangga yang mengisyaratkan adanya perubahan cara pandang kita terhadap profesi tersebut ke arah yang lebih baik.

Namun, meski demikian, faktanya stereotip itu masih juga berlangsung. Sering kita mendengar label-label yang kurang mengenakkan yang ditujukan kepada mereka, seperti "bodoh", "ndeso", "norak", "dekil", "kampungan", "miskin", "tidak berpendidikan", dll. Pelabelan bermakna konotasi ini tentu saja menjadi salah satu bagian dari kekerasan dan pelecehan terhadap para PRT.

Frame of thinking yang demikian akan menyebabkan PRT kehilangan core value-nya sehingga mereka dengan mudah akan direndahkan, dilecehkan serta tidak dihargai keberadaannya. 

Meski terdengar sederhana, namun ternyata bentuk pelabelan seperti ini akan melahirkan stereotip yang pada akhirnya mempengaruhi hilangnya hak-hak PRT sebagai manusia dan pekerja.

Lalu, apa yang terjadi ? seperti yang kita lihat, kekerasan, penganiayaan berat, pelecehan seksual, penyekapan, trafficking hingga pembunuhan dan pelanggaran HAM berat lainnya kerap dialami oleh para Pekerja Rumah Tangga.

Sebuah Dilema, Rendahnya Intelektualitas dan Lemahnya Kontrol Masyarakat 

Terlepas dari kejahatan yang dilakukan oleh pemberi kerja (majikan) terhadap para PRT, ada beberapa hal yang bisa dianalisis dari setiap kasus kekerasan yang dialami oleh PRT. 

Diantaranya adalah masih rendahnya tingkat intelektualitas PRT serta lemahnya kontrol dari masyarakat. Keduanya tidak bisa dilepaskan, sebab berkaitan dengan proses dan upaya defence mechanism atau mekanisme pertahanan diri seseorang.

Rendahnya intelektualitas seorang PRT sangat berkaitan erat dengan minimnya akses PRT untuk mendapatkan pendidikan dan informasi yang tepat dan memadai, terutama akses pada pendidikan kritis.

Padahal, jika akses pendidikan dan informasi dapat diperoleh PRT dengan baik, maka akan meningkatkan kesadaran kritis mereka untuk mampu berdaya dan memahami konteks hak-haknya sehingga akan menaikkan posisi tawar mereka menjadi lebih tinggi.

Peningkatan intelektualitas dapat mempengaruhi kualitas kinerja mereka dan tentu saja akan memperbaiki sistem bekerja mereka menjadi lebih baik. Para PRT akan sadar hak dan kewajibannya sehingga jika terjadi hal-hal yang menyimpang mereka dapat melakukan upaya perlindungan diri.

Berbicara pendidikan tidak melulu berada di bangku kelas formal. Para PRT dapat meningkatkan kapasitas dirinya melalui pelbagai aktivitas belajar, seperti sekolah non formal, kursus dan pelatihan maupun berkelompok dan berorganisasi. 

Selain untuk mendapatkan ilmu pengetahuan, juga dapat menjadi wadah bagi para PRT untuk menjalin koneksi dan komunikasi dengan pihak-pihak yang berkompeten di dalamnya.

Namun, fakta di lapangan, masih banyak PRT yang tidak memahami apa hak dan kewajibannya sehingga kerap menimbulkan konflik yang merugikan dirinya sendiri yang disebabkan oleh faktor rendahnya intelektualitas mereka.

Hal berikutnya adalah masih lemahnya kontrol masyarakat. Masyarakat dalam hal ini termasuk pemerintah dan para pegiat atau aktivis masalah PRT. Meski sudah banyak tumbuh lembaga-lembaga atau organisasi yang concern terhadap isu PRT, namun kenyataannya, kontrol dari masyarakat tetap masih kurang.

Hal ini digambarkan melalui masih tingginya angka kekerasan terhadap para PRT, khususnya perempuan. Lemahnya kontrol diawali sikap apatis masyarakat terhadap isu sosial ini. Bahkan, UU ketenagakerjaan juga belum sepenuhnya mampu mengakomodir masalah-masalah yang menimpa Pekerja Rumah Tangga. 

Advokasi yang kurang berpihak, sulitnya menempuh jalur hukum, budaya individualistik hingga adanya oknum-oknum "makelar" PRT yang seolah-olah kebal hukum.

Sungguh keadaan yang menjadi dilema bagi kita semua. Di satu sisi kita tidak bisa menerobos hak pribadi seseorang, di sisi lain kita dituntut untuk peka dengan penyimpangan dan pelanggaran yang dialami oleh PRT. 

Di sudut lain, ketika berbicara intelektualitas dan pendidikan, pada intinya kita juga kembali pada latar belakang keluarga dan kondisi ekonomi mereka.

Belajar dari Kisah Sukses Pekerja Rumah Tangga (PRT), Kamu Bisa, Kita Semua Bisa 

Di tengah isu PRT yang serba miris dan dilematis, namun nyatanya masih ada secercah harapan yang diberikan oleh para PRT yang sukses dalam dunianya. Mereka seperti oase di tengah padang pasir yang dapat memberikan semangat baru bagi PRT lainnya untuk mau dan mampu berdaya.

Sebut saja kisah sukses Eli Yuliana dengan majikan yang mengizinkannya untuk melanjutkan sekolah hingga mendukungnya menjadi seorang blogger dan akhirnya mendirikan ICT Watch.

Ima Matul Maisaroh yang sempat punya kisah pilu dengan majikannya namun berhasil keluar dari masalah dan bangkit hingga mengantarnya sampai sekarang menjadi seorang anggota dewan penasehat gedung putih atau kisah Eni Kusuma, seorang PRT yang berhasil menulis dan menerbitkan buku-buku motivasi. Disini kita bisa terinspirasi bahwa kita tidak bisa underestimate terhadap para PRT.

Luar biasa, bukan ? Kalau mereka bisa, kamu dan kita semua juga pasti bisa !

Jangan Apatis, Pupuk Empati dan Jadilah Bagian dari Masyarakat yang Peduli

Kini, sudah saatnya kita menjadi bagian dari masyarakat yang peduli dengan isu-isu di sekitar kita. Jangan apatis dan terus pupuk rasa empati terhadap sesama. 

Bagaimanapun, kita adalah makhluk sosial yang tidak dapat hidup sendiri tanpa keberadaan orang lain, maka sudah seharusnya kita saling menghargai dan menghindari segala hal yang dapat memicu terjadinya konflik.

Lantas apa yang dapat kita lakukan?

Pertama, hargailah keberadaan PRT. Jangan pernah sekalipun merendahkan sosoknya. Selagi apa yang dikerjakannya tidak melanggar hukum dan norma maka tidak ada yang salah dengannya.

Kedua, beri kesempatan PRT untuk berdaya dan mampu menaikkan core value-nya melalui kesempatan pendidikan, akses informasi yang mudah, menjalin koneksi yang baik, dll.

Ketiga, stop segala bentuk pelabelan yang bernada negatif, sebab kekerasan bukan hanya berbentuk penganiayaan secara fisik tapi juga dapat melalui verbal atau perkataan yang menyinggung atau menyakitkan.

Keempat, mulai untuk belajar memahami koridor hukum dan undang-undang tentang buruh khususnya tentang pekerja rumah tangga agar kita tahu apa dan bagaimana hak-hak dan kewajiban, baik PRT maupun yang memperkerjakan.

Kelima, Sadari bahwa keberadaan PRT adalah salah satu bagian dari support system aktivitas kita yang harus diayomi dan diperlakukan secara manusiawi. Rasa kemanusiaan harus seiring dengan faktor ekonomi dan kepentingan lainnya.

Pada akhirnya, yuk sama-sama kita hentikan segala bentuk kekerasan dan pelecehan terhadap PRT. Kontrol ini bukan hanya menjadi kewajiban pemerintah maupun para aktivis, tapi juga kita semua. 

Jadilah bagian dari agent of change bagi masyarakat yang berdaya dan sadar hukum agar angka kekerasan dan pelecehan terhadap PRT dapat ditekan.

Beri para Pekerja Rumah Tangga (PRT) ruang untuk meningkatkan kapasitas dirinya melalui pendidikan dan akses informasi yang baik, penuhi segala yang menjadi haknya, hargai dan senantiasa memanusiakannya. Yuk, aku, kamu, kita semua pasti bisa!

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Vox Pop Selengkapnya
Lihat Vox Pop Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun