Mohon tunggu...
Fifin Nurdiyana
Fifin Nurdiyana Mohon Tunggu... Administrasi - PNS

PNS, Social Worker, Blogger and also a Mom

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Artikel Utama

Anak Gemar Menjawab Nasihat, Apa yang Harus Dilakukan Orangtua?

19 April 2022   00:24 Diperbarui: 19 April 2022   06:12 968
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi orangtua menasehati anak (Sumber: shutterstock)

Para orangtua pasti pernah merasa kesal jika anak menjawab saat dinasehati. Apalagi jika anak menjawab dengan nada protes dan mimik wajah yang cemberut. Rasanya ingin marah saja karena apa yang kita sampaikan seperti ditentang oleh anak. 

Anak terkesan tidak mau menurut, padahal orangtua pada dasarnya ingin anaknya menurut terhadap apa yang disampaikan. 

Orangtua biasanya berpikir bahwa apa yang disampaikan pastilah yang terbaik untuk anak. Benarkah demikian?

Saya dulu waktu kecil juga begitu, malah lebih parah. Kalau menjawab, bukan omelan mama saja yang harus saya terima, tapi juga cubitan geram yang membuat paha saya memerah. Tapi anehnya, saya tidak merasa membenci mama. Meski cubitan membekas, tapi toh tidak mengurangi rasa sayang saya sama mama, begitu pun sebaliknya.

Berbeda kini. Barangkali mama saya sudah masuk bui jika mencubit saya di zaman sekarang. Bagaimana tidak? Zaman sekarang sedikit saja memarahi anak, sudah bisa dipidanakan, apalagi sampai mencubit.

Tapi percayalah, di zaman dulu, kita akan merasakan cubitan mama bukan sebuah kekerasan tapi lebih ke bentuk kasih sayang orangtua pada anaknya. 

Buktinya, tak sedikit pun terlintas di benak saya bahwa mama jahat atau mama nggak sayang sama saya. Justru sebaliknya, saya merasa cubitan mama itu ngangenin. 

Saya malah bingung kalau mama pergi beberapa hari. Seperti ada yang hilang di hari-hari saya. Sepi dan hambar. Bener nggak?

Tapi kalau sekarang, orangtua harus dihadapkan pada hukum yang memantau setiap saat jika marah hingga mencubit atau memukul anak. Perantaranya banyak, bisa si anak sendiri, tetangga yang melihat atau para pengguna media sosial aktif. 

Kamera video seperti sudah terpasang otomatis dan siap merekam adegan apa saja yang ada di hadapannya. Ujung-ujungnya adegan memarahi anak pun masuk ke ranah hukum.

Meski demikian, saya dan kita semua pasti setuju, kekerasan dalam bentuk apapun adalah sebuah kesalahan yang dapat dipidanakan. Apalagi jika itu dilakukan pada anak-anak. Sudah jelas jerat hukumnya akan lebih dalam.

Akan tetapi, kita juga harus bisa jeli melihat konteksnya. Sebuah kekerasan harus memenuhi pelbagai unsur yang mendukung pembuktian kekerasan itu sendiri. Di antaranya adalah unsur psikologis orangtua dan anak, duduk persoalannya, waktu dan tempat kejadian, tingkat kekerasannya, efek bagi korban hingga maksud dan tujuan tindakan. 

Jadi tidak serta merta kontak fisik antara orangtua dan anak dapat dikategorikan sebagai bentuk kekerasan yang dapat dipidanakan. Namun, jika memang semua unsur telah memenuhi syarat tindak pidana kekerasan, maka kasus kekerasan pada anak dapat langsung diusut, sebab kekerasan pada anak merupakan satu delik khusus bukan aduan, yang artinya dapat diusut tanpa adanya laporan.

Ilustrasi orangtua marah dan anak menjawab (sumber:health.kompas.com)
Ilustrasi orangtua marah dan anak menjawab (sumber:health.kompas.com)

Kembali lagi ke topik anak yang menjawab orangtua. Saat ini saya sudah menjadi orangtua, dan ternyata apa yang mama saya rasakan dulu sudah saya rasakan sekarang. Memang kesal rasanya jika anak menjawab apa yang kita sampaikan. Kita orangtua inginnya anak diam dan menurut saja dengan apa kata orangtua. Toh nasehat orangtua tidak ada yang menjerumuskan anak, bukan?

Memang tidak salah, tapi sayangnya itu cara berpikir orangtua zaman lampau. Di zaman sekarang, pola pikir seperti itu pasti sudah tidak relevan. Apalagi perkembangan teknologi dan ilmu pengetahuan sudah semakin pesat, maka pola asuh kita kepada anak pun mau tidak mau, suka tidak suka juga harus bisa menyesuaikan.

Era kemajuan teknologi membuat anak-anak zaman now punya karakter yang lebih kritis dan berani berpendapat. 

Mereka sudah dibekali teori-teori baru yang didapatkan di sekolah maupun lingkungan pergaulannya sehingga punya kepercayaan diri dalam berbicara.

Meski awalnya kesal dan marah, tapi kini justru saya yang ditantang untuk mampu mengontrol diri ketika menghadapi mereka. 

Saya terus belajar untuk memahami dunia mereka. Bagaimanapun saya pernah menjadi mereka dan mereka belum pernah menjadi saya. Logikanya, saya yang harus bisa memahami dan mengarahkan mereka, bukan?

Saya cukup paham akan cara berpikir mereka yang lebih open minded dan berani berbicara. Sayangnya masih banyak orangtua yang menganggap karakter ini sebagai bentuk karakter yang "kurang ajar" terhadap orangtua. Padahal sebenarnya tidak demikian. 

Saya yakin, anak tidak memiliki niatan untuk membangkang apalagi menentang orangtua. Mereka hanya ingin menunjukkan eksistensinya dengan berani mengungkapkan opini dan kritis dalam berpendapat. 

Orangtua yang kolot akan menganggap mereka melawan, namun orangtua yang bijak akan menganggap ini adalah media pembelajaran demokrasi bagi anak dalam mengeluarkan pendapatnya. Lantas, apa yang harus orangtua lakukan?

Pertama, berikan ruang dan waktu bagi anak untuk menyampaikan apa yang ingin disampaikannya.

Kedua, jangan pernah menganggap anak adalah lawan. Tetap posisikan diri sebagai orangtua dan mereka adalah anak. Kita pernah menjadi mereka dan mereka belum pernah menjadi kita.

Ketiga, tetap tenang dan kontrol diri. Jangan sampai kita dikuasai oleh emosi yang berlebihan. Sedikit trik ketika sedang marah, cobalah untuk duduk, tarik nafas yang dalam untuk meredakan emosi yang telah meluap.

Keempat, biasakan menyampaikan sesuatu kepada anak di saat yang tepat. Cari waktu yang terbaik. Jangan ketika anak baru pulang sekolah, dalam keadaan lelah langsung dihujani dengan nasehat. Tentu saja anak akan sulit menerimanya.

Kelima, perbanyak waktu bersama melakukan hal-hal yang menyenangkan dengan anak. Hal ini adalah untuk menciptakan bonding dan chemistry antara orangtua dan anak.

Keenam, tidak ada salahnya setiap minggu melakukan evaluasi diri antara orangtua dan anak. Catat apa-apa saja kesalahan dan kebaikan yang telah dilakukan. Jangan lupa beri pujian dan pelukan hangat kepada anak di akhir evaluasi

Ketujuh, akan lebih baik menyampaikan suatu pesan dengan perbuatan nyata. Anak akan melihat langsung hal baik yang orangtuanya lakukan, sehingga tanpa diungkapkan anak akan paham dengan melihat langsung.

Kedelapan, jangan gengsi untuk meminta maaf kepada anak jika kita salah. Meski banyak orangtua yang enggan melakukannya, namun cobalah untuk memberi contoh pada anak bahwa meminta maaf bukan suatu hal yang memalukan, justru itu adalah bentuk kebesaran hati dari seseorang.

Kesembilan, beri kepercayaan dan tanggung jawab pada setiap pilihan anak. Meski demikian, jangan lengah untuk tetap melakukan kontrol setiap saat.

Kesepuluh, jadilah sahabat bagi anak. Dengarkan apa yang hendak diceritakannya. Selipkan nasehat yang menenangkan untuk mereka. Hindari suara yang meninggi dan terus menerus sehingga anak akan merasa bosan. Sesekali lakukan dengan canda dan tawa untuk mencairkan suasana.

Nah bagaimana, masih merasa kesal ketika anak menjawab? Masih mengharuskan anak diam dan menurut dengan apa yang kita sampaikan? Atau kita mulai belajar menjadi orangtua yang bijak dengan mengikuti perkembangan zaman?

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun