Beberapa waktu lalu ada seorang teman yang mengeluh tentang pekerjaan dan lingkungan kantornya. Padahal ia baru saja diterima menjadi karyawan di kantor tersebut.Â
Alih-alih bersyukur sudah diterima kerja di situasi yang serba sulit ini, ia malah mengeluhkan banyak hal yang membuat saya mengernyitkan dahi. Apa memang seberat itu keadaannya, sampai ia harus mengeluh ?
"Aku gak nyaman...teman-teman kantor banyak yang julid..."
"Banyak banget kerjaan, capek banget!"
"Salah dikit aja atasanku udah marah...kesel jadinya!"
"Masa aku disuruh ngantar dokumen yang lokasinya jauh...mana naik sepeda motor...siang-siang panas!"
Bla bla bla
Begitulah curhatan bernada keluhan yang kerap diceritakan pada saya. Terlepas benar atau tidaknya, saya tetap menganggap itu hanya sekelumit cerita versi teman saya. Saya tidak serta merta membenarkan atau menyalahkannya keluhannya, sebab saya sendiri tidak mengetahui secara langsung kondisi yang sebenarnya.
Saya hanya berusaha memberi masukan yang menyemangati, agar teman saya dapat keluar dari situasi yang tidak nyaman tersebut.
"Kamu kan baru masuk kerja, setidaknya itu dulu yang harus disyukuri... hargai perjuanganmu selama ini mencari kerja..."
"Kamu kayaknya sedang menghadapi situasi adaptasi deh... namanya masih baru... mungkin buat kamu semuanya masih terasa asing..."
"Kalau bicara julid, di mana-mana kita bekerja, akan selalu ada yang namanya teman julid... kita nggak akan pernah menemukan lingkungan kantor yang sempurna seperti harapan kita... kendala akan selalu ada...tinggal bagaimana kita menyikapinya..."
"Coba berdamai deh dengan lingkungan yang ada... bersyukur... bayangkan sedihnya orang-orang yang belum mendapat pekerjaan seperti kita... masa kita yang udah dapat pekerjaan segitu mudahnya mengeluh?"
"Tugas kamu hanya menjalankan pekerjaan dengan sebaik-baiknya... kalau ada hal lain yang mengganggu namun masih dalam batas normal, baiknya abaikan saja... tetap fokus tujuan kamu bekerja... anggap saja itu hanya bumbu-bumbu kehidupan... yang bagus ya dipakai...yang nggak bagus ya abaikan..."
Begitulah kira-kira saya menanggapi keluhan teman saya. Bagaimanapun, saya tidak pernah akan menyarankan untuk resign. Saya tetap menggunakan prinsip positif dalam menghadapi segala sesuatu.Â
Bagi saya, tidak ada satu pun masalah yang tidak ada jalan keluarnya, dan resign adalah pilihan terakhir yang sebaiknya dihindari jika memang tidak bersifat mendesak.
Saya rasa bukan hanya teman saya saja yang pernah mengalami hal serupa. Termasuk saya. Menjadi karyawan atau pegawai baru memang memiliki liku-liku tersendiri. Apalagi jika kita memang belum pernah memiliki pengalaman bekerja di kantor. Pasti semua hal akan terasa asing. Kebiasaan-kebiasaan baru yang dialami akan berbeda dengan kebiasaan-kebiasaan lama yang selama ini dialami.
Hal-hal baru ini ada yang bisa diterima oleh diri kita, tapi ada juga yang menerima penolakan karena dianggap tidak sesuai dengan apa yang selama ini kita pahami.Â
Penolakan inilah yang menjadi cikal bakal masalah dalam lingkungan kerja. Dimulai dari rasa tidak nyaman, berusaha menjauhi lingkungan untuk menghindari konflik hingga mempengaruhi performa kerja.
Hal ini akan semakin parah jika atasan memiliki karakter pemarah, tidak menutup kemungkinan kita akan dicap tidak profesional karena sudah pasti hasil kerja menjadi tidak maksimal. Hal terburuknya adalah munculnya rasa stres dan tertekan yang membangkitkan keputusan emosional, salah satunya adalah resign.
Lantas, bagaimana jika kita berada di situasi tersebut?
Dalam kamus sosiologi antropologi (2001) adaptasi diartikan sebagai bentuk penyesuaian diri terhadap lingkungan. Penyesuian ini dapat berarti mengubah diri sesuai dengan keadaan lingkungan atau sebaliknya mengubah lingkungan sesuai dengan keinginan pribadi.
Sementara menurut Soerjono Soekanto, dalam proses adaptasi memiliki beberapa batasan, yaitu bagaimana mengatasi halangan-halangan yang ada, penyesuaian terhadap norma-norma, perubahan untuk menyesuaikan dengan situasi yang berubah, mengubah agar sesuai dengan kondisi yang ada, memanfaatkan sumber-sumber yang terbatas demi kepentingan lingkungan dan sistem serta penyesuaian budaya dan aspek lainnya sebagai hasil seleksi alam.
Dari teori adaptasi di atas, dapat ditarik benang merah bahwa untuk dapat melewati fase adaptasi sangat diperlukan adanya kemampuan untuk berdamai dengan keadaan.Â
Sebagai individu yang tengah menghadapi fase adaptasi, sudah barang tentu kitalah yang harus berjuang untuk bisa diterima di lingkungan yang baru. Kita yang harus dapat menyesuaikan diri, bukan justru menunggu lingkungan baru yang menerima kita.
Artinya, ada usaha atau upaya kita untuk bisa diterima di lingkungan yang baru. Tentu saja kemampuan diterima ini hanya dimiliki oleh orang-orang tangguh yang tidak mudah mengeluh apalagi baperan.Â
Mereka paham bahwa menurunkan ego untuk menciptakan good relationship adalah suatu strategi networking dalam dunia kerja. Jadi bukan lagi persoalan gengsi, tapi lebih ke nilai jangka panjang dalam pekerjaan. Bahwa untuk menggapai kenyamanan kerja sangat diperlukan hubungan kerja yang baik di dalamnya.
Jadi, apa yang harus kita lakukan selama proses adaptasi?
Pertama, bersyukur dan berilah penghargaan kepada diri sendiri, bahwa pekerjaan yang berhasil didapatkan adalah merupakan satu pencapaian yang harus diapresiasi. Bersyukur dengan melihat ke bawah, masih banyak orang lain yang bersedih karena belum mendapatkan pekerjaan, apalagi di situasi pandemi seperti ini.
Kedua, buat kesepakatan dengan diri sendiri bahwa tujuan bekerja bukan semata-mata untuk salary, tapi juga untuk membuka networking yang baik.Â
Bekerja bukan melulu persoalan uang dan pemenuhan kebutuhan hidup tapi juga tentang bagaimana mencari kenyamanan dalam beraktivitas. Dengan menyepakati hal ini, maka kita akan lebih mudah untuk membuka diri dengan lingkungan yang baru.
Ketiga, pahami bahwa konflik akan selalu ada di manapun kita berada. Jadi, lebih baik kita fokus ke bagaimana meminimalkan konflik, bukan menghindari apalagi lari dari konflik.
Keempat, tunjukkan performa kerja yang baik, tidak mudah mengeluh. Apa yang bisa dan mampu kita kerjakan, selama itu tidak menyalahi aturan maka kerjakan. Karena ini adalah bagian dari loyalitas yang harus dimiliki oleh pegawai dalam pekerjaannya.
Kelima, yakini bahwa apa yang kita tanam maka itulah yang kita tuai nantinya. Jadi, kalau kita tanam kebaikan (baik dalam kinerja maupun hubungan kerja) maka yang akan kita tuai nantinya adalah kebaikan juga, misalnya reward karir yang meningkat atau hubungan kerja yang semakin membaik.Â
Jadi, jangan ragu untuk terus berbuat baik, meski ada pertentangan didalamnya.
Keenam, menurunkan ego bukan berarti kita merendahkan diri kita. Justru sebaliknya, kita akan lebih dihargai karena kemampuan kita dalam mengalahkan ego. Bersahabatlah dengan keadaan, agar kita tidak terus dihantui oleh pikiran-pikiran negatif.
Ketujuh, tetap percaya diri dan menjadi diri sendiri. Ini penting sebagai kontrol diri, agar kita tidak kebablasan dalam upaya adaptasi. Bagaimanapun, kita tetap harus punya prinsip, yang benar kita gunakan dan yang tidak benar kita tolak. Jangan sampai, demi bisa diterima oleh lingkungan baru kita malah kehilangan jati diri.
Kedelapan, jangan apatis dengan rekan kerja. Tumbuhkan rasa empati terhadap sesama. Perhatian kecil akan menjadi salah satu cara untuk lulus dari proses adaptasi. Misalnya, ucapan ulangtahun pada teman yang berulangtahun, membagi makanan dengan teman-teman kantor atau sekadar membantu teman yang sedang mengalami kesusahan.
Kesembilan, tingkatkan potensi diri dan tidak pelit berbagi ilmu dengan teman kantor. Sadari bahwa teman kantor kita adalah tim kerja kita, tanpa mereka kita juga akan mengalami kesulitan dalam bekerja.
Kesepuluh, buang jauh-jauh keinginan resign karena emosional. Hal ini akan menjadi catatan buruk bagi pengalaman kerja kita. Akan lebih bijak jika kita mengurai permasalahan yang ada dan mencari jalan keluarnya tanpa harus resign.Â
Resign adalah keputusan akhir yang bersifat mendesak, jika tidak maka lebih baik koreksi diri sendiri dan mulai memperbaiki diri sendiri. Evaluasi apa yang salah dan apa yang harus dilakukan untuk memperbaiki kesalahan tersebut.
Tidak ada satu pun pekerjaan yang terbebas dari kendala dan masalah. Tinggal bagaimana kita bijak dalam menyikapinya. Jika kita menganggap bahwa kendala pekerjaan adalah beban, maka selamanya kita akan terjebak dalam situasi pekerjaan yang tidak nyaman.
Tapi sebaliknya, jika kita menganggap kendala pekerjaan adalah bagian dari risiko pekerjaan, maka kita akan terlatih dalam upaya problem solving, yaitu kemampuan bagaimana menyelesaikan masalah serta mengambil keputusan yang tepat.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H