Mohon tunggu...
Fifin Nurdiyana
Fifin Nurdiyana Mohon Tunggu... Administrasi - PNS

PNS, Social Worker, Blogger and also a Mom

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Anakku, Bukan Hanya Gawai, Budaya Literasi Juga Kekinian

7 April 2018   11:47 Diperbarui: 8 April 2018   05:19 2300
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
ilustrasi (sumber:http://smpn2purworejo.sch.id)

Keisha sibuk mengotak-atik gawai milikku. Sepertinya aku tak pernah mengajarinya untuk bermain-main gawai, tapi kok kelihatannya dia sudah sangat akrab dan terampil membuka setiap aplikasi di dalamnya. Lebih terkejut lagi, sempat tertinggal chatt di media sosialku antara dia dan temannya.

Ternyata dia menggunakan akun media sosialku untuk chatting dengan teman sekolahnya. Memang, untuk usia Keisha yang baru 10 tahun, aku tak mengizinkannya memiliki akun media sosial atau mengenal internet terlalu jauh.

Kalau toh harus terhubung dengan internet biasanya karena dia ingin mendownload permainan gratisan, itu pun atas seizinku. Namun, kini rupanya Keisha sudah semakin mengenal dunia digital lebih jauh dari yang kuperkirakan. Dan ini cukup menjadi kegundahanku sebagai seorang ibu.

Terus terang, meneropong 24 jam aktifitas anak rasanya suatu hal yang tidak mungkin, terutama bagiku yang seorang ibu pekerja kantoran. Aku hanya bisa mengecek pada beberapa waktu, seperti saat jam istirahat kantor dan saat pulang kantor.

Selebihnya kupercayakan semua pada si anak dan guru di sekolah serta si mbak yang menjaganya di rumah. Karena keterbatasan itulah, aku tak bisa menyalahkan secara sepihak saat lingkungan sedikit banyak sudah memberi pengaruh terhadap Keisha, baik lingkungan sekolah maupun lingkungan di komplek rumah kami.

Aku juga tak bisa serta merta menyalahkan teman-temannya yang sebagian besar sudah memiliki gawai sendiri apalagi mendoktrin Keisha untuk tidak berteman dengan mereka. Karena bagaimanapun, Keisha membutuhkan teman. Keisha membutuhkan ruang untuk bersosialisasi dengan teman-temannya. Dan aku sangat memahami itu.

Sebagai ibu, tentu saja aku yang paling merasa bertanggungjawab atas perilaku dan perkembangan anak-anakku. Ibu tak lain adalah sekolah pertama bagi anak-anak. Tempat anak-anak belajar dan mengenal apapun. Karena itulah, menjadi seorang ibu bukanlah hal yang cukup dengan kata "sederhana".

Menjadi ibu harus menjadi sosok yang "istimewa" agar bisa mencetak anak-anak yang juga "istimewa". Seperti kata Dian Sastro "Entah akan berkarir atau menjadi ibu rumah tangga, seorang wanita wajib berpendidikan tinggi karena ia akan menjadi ibu". Dari sini kita sepakat bahwa menjadi seorang ibu harus "pintar".

Menghadapi perkembangan perilaku anak sungguh suatu hal yang tidak semudah membalikkan telapak tangan. Dengan corak karakter yang beraneka ragam, tentu dibutuhkan kesiapan seorang ibu dalam menghadapinya. Apalagi, di era kekinian yang serba digital saat ini, jika tidak mampu menjadi ibu yang "friendly" dengan teknologi, maka bisa dipastikan akan tertinggal dalam menerapkan pola asuh era kekinian.

Sementara, kita tidak bisa menghentikan derasnya arus modernisasi yang menaungi kehidupan anak-anak. Suka tidak suka, mau tidak mau, kita harus menerima era millennial hadir ditengah-tengah kita. Yang kita bisa hanya menjadi filter bagi anak-anak agar mereka tetap bisa menjadi generasi z, namun generasi z yang berprestasi dan membanggakan.

Membudayakan Literasi sebagai Budaya Kekinian

Mengetahui perkembangan perilaku Keisha terhadap dunia digital tak serta merta membuatku marah atau bertindak menghukum padanya. Justru ini menjadi tantangan buatku, bagaimana agar Keisha tetap bisa menikmati era kekiniannya namun dengan cara yang berbeda dan lebih berbudaya.

Ya, aku mencoba untuk membudayakan literasi kepada Keisha. Membiasakan membaca, mengakrabkan dengan buku-buku serta mengenalkan menulis pada Keisha. Bagiku, membaca dan menulis adalah hal yang paling mendasar dalam dunia pendidikan. Dan literasi merupakan jawaban atas banyaknya pertanyaan-pertanyaan.

Melalui budaya literasi, anak-anak diajarkan untuk mampu berfikir melalui proses membaca kemudian menuangkannya dalam tulisan hingga akhirnya bisa menerapkannya dalam proses kegiatan sehingga dapat menghasilkan suatu karya atau prestasi.

Menurutku,  literasi harus benar-benar dibudayakan pada lingkup keluarga sebagai lingkup terkecil di masyarakat. Melalui budaya keberaksaraan inilah, anak-anak akan belajar bagaimana dapat berpikir mandiri dalam berperilaku sehingga pada akhirnya dapat menjadi self defence ketika mereka harus menghadapi lingkungan di lingkup yang lebih besar.

Anak-anak yang terbiasa berliterasi adalah anak-anak yang diharapkan memiliki kemampuan intelektual dan emosional yang lebih baik daripada mereka yang tidak terbiasa berliterasi.

Mengapa ? sebab dalam proses literasi, anak-anak belajar secara mandiri mengenal satu permasalahan, berpikir sekaligus menemukan ide-ide cemerlang tentang bagaimana memecahkan permasalahan tersebut.

Bukan hanya itu, anak-anak juga memiliki kesempatan untuk menjadi dirinya sendiri dan berlatih percaya diri dengan menuangkan kerangka berpikirnya ke dalam tulisan. Mereka akan lebih bisa menilai sesuatu, baik buruk, bagus jelek atau bermanfaat merugikan  serta mampu mengambil keputusan dengan cermat.

Meski demikian, tidak dapat dimungkiri, peran orangtua terutama ibu adalah sangat besar agar budaya literasi ini dapat terselenggara dengan baik dan benar. Anak-anak tetap butuh pendamping dan mentor literasi yang paling dapat dipercaya, yaitu ibu. Anak-anak tidak dapat dilepaskan begitu saja dalam memilih buku bacaan serta harus tetap diarahkan pola berpikirnya agar tidak salah arah.

Setiap hari aku mengajak Keisha untuk meluangkan waktu membaca bersama, yaitu sore, saat kami sudah berada di rumah. Mengapa bersama ? karena akan menjadi sesuatu yang tidak menyenangkan ketika Keisha membaca buku sedangkan aku asyik bermain gawai.

Bukankah memberi contoh adalah jauh lebih baik ketimbang hanya sekadar menyuruh atau memerintah ? benar saja, Keisha menjadi sangat bersemangat membaca melihat ibunya juga membaca.

Setelah membaca, aku ajak Keisha berdiskusi. Mendiskusikan tentang apa yang sudah dibacanya. Biasanya aku bertanya "menceritakan tentang apa buku itu Kei ?" dan dengan penuh antusias Keisha menceritakan apa-apa saja yang sudah dibacanya. 

Tentu saja dengan bahasa anak-anak seusianya. Disinilah terjadi proses interaksi dan komunikasi yang luar biasa menyenangkan antara aku dan Keisha. Antara ibu dan anak.

Sesekali aku bertanya, Keisha menjawab. Sesekali aku mengkritik dan Keisha dengan lapang dada menerima kritikanku. Sesekali juga kami tak menemukan solusi dari permasalahan yang ada sehingga menjadi PR untuk hari-hari berikutnya.

Bersama-sama berusaha mencari jalan keluarnya. Dan sesekali juga aku memberikan pujian untuk Keisha. Aku sadar, mengapresiasi hal positif yang sudah dilakukannya akan semakin menambah rasa kepercayaan dirinya.

Di lain kesempatan, aku juga mengajarkan Keisha tentang bagaimana menuangkan ide dan kerangka berpikir kita ke dalam tulisan. Hal ini aku lakukan agar Keisha dapat menyenangi dunia menulis. untuk itu, aku membebaskan Keisha menulis tentang apa saja. 

Bahkan, aku juga pernah menerima tulisannya yang berisi tentang protes Keisha saat aku melarangnya bermain gawai, saat aku pulang terlambat dari kantor atau saat aku lupa dengan janjiku mengajaknya berenang.

Melalui tulisan, Keisha dapat mengaktualisasikan dirinya dan secara bertahap belajar untuk mengungkapkan pendapatnya. Biasanya, aku menanggapi tulisannya dengan menanyakan bagaimana solusi menurut dia dan tentu saja diakhiri dengan pelukan dan pujian. 

Percaya atau tidak, tanpa disadari, Keisha sedang berproses belajar untuk memecahkan suatu permasalahan dan berani untuk mengambil keputusan loh !

Beberapa waktu membiasakan membaca menulis, semakin melatih Keisha dalam berperilaku. Keisha semakin mengerti tentang apa saja boleh dan tidak boleh. Keisha juga semakin paham dengan tugas dan kewajibannya. Ini tentu menjadi satu pembuktian bahwa budaya literasi telah sampai pada tahap pengaplikasian pada kegiatan sehari-hari.

Jika sudah demikian, maka tidak berlebihan jika aku menyebutnya sebagai sebuah prestasi dan perilaku yang membanggakan. Dan tidak berlebihan juga kan kalau aku bilang "anakku, gemar berliterasi juga kekinian loh !"

Internet dan Budaya serba Instan

Tidak dapat dimungkiri, internet begitu banyak memberi kemudahan yang signifikan bagi kehidupan. Pengguna internet dimanjakan dengan fasilitas-fasilitas yang serba ada dan serba instan. Nyaris tak ada satu pun yang terlewatkan atau tidak tersedia di internet. Dengan mengandalkan satu kata kunci saja maka kita akan menemukan apa yang kita inginkan.

Mendapatkan informasi secara digital begitu cepat dan mudah sehingga kerap membuat addict bagi para penggunanya. Mereka beranggapan bahwa internet dapat memberi solusi atas semua persoalan mereka sehingga enggan untuk beranjak dari gawai yang menyediakan "keasyikan" semu tersebut.

Namun, sadarkah kita ? bahwa semua itu hanyalah kamuflase semata. Jika kesenangan maka itu adalah kesenangan semu. Jika kesedihan maka itu adalah kesedihan yang semu. Karena itulah internet juga disebut dengan dunia maya. Dunia yang tidak riil. Dunia yang semu. Lantas, logikanya bagaimana mungkin sesuatu yang sifatnya semu dapat memberikan manfaat yang nyata bagi kita ?

Tanpa disadari, manusia sudah banyak dibuai dengan segala kemudahan dan hiburan yang ada didalamnya sehingga banyak dari mereka yang terlena. Tanpa adanya kemampuan "melek teknologi" maka internet dapat menjerumuskan seseorang ke hal-hal yang bersifat negatif. Sudah banyak contoh kasusnya.

Semakin lama internet semakin memunculkan bentuk kejahatan-kejahatan baru seperti kejahatan ujaran kebencian, penipuan online, trafficking, berita hoax, video porno, dll.

Tentu saja ini menjadi titik balik bagi pengguna internet, bahwa menjadi pengguna internet tidak hanya dibutuhkan kemampuan berteknologi tapi juga mental menggunakan teknologi yang mumpuni sehingga tidak mudah terjerumus hanya demi mengejar sebuah istilah kekinian.

Budaya Literasi Versus Budaya Digital

Menyadari akan semakin kompleksnya sisi negatif dari budaya dunia digital, pemerintah tidak tinggal diam. Beberapa waktu terakhir, pemerintah melalui Dinas Pendidikan sedang gencar-gencarnya mensosialisasikan budaya literasi di kalangan masyarakat khususnya di kalangan sekolah. Berbagai cara dan upaya dilakukan agar budaya literasi ini dapat tercapai penerapannya secara maksimal.

Bahkan di beberapa sekolah juga punya cara yang unik untuk membiasakan budaya literasi ini pada anak didiknya seperti menggantung buku-buku di ranting pepohonan agar murid-murid lebih tertarik membaca ketimbang buku-buku hanya tersusun rapi di ruang perpustakaan, ada juga yang menggunakan gerobak buku, dll.

Dengan begitu murid-murid diharapkan dapat menghabiskan waktu isirahatnya di sekolah bukan hanya sekadar bermain atau jajan tapi juga dengan membaca.

Budaya internet yang kekinian di era serba digital pada satu sisi cukup memberi kontribusi besar pada kemudahan akses informasi. Bahkan inovasi-inovasi yang ada di internet sangat memberikan kemudahan secara efektif dan efisien bagi aktifitas manusia sehari-hari. Bahkan membaca berita pun sudah dapat dilakukan secara digital.

Namun demikian, ternyata tak selamanya internet membawa hal positif bagi manusia. Seiring dengan kemudahannya, ternyata juga begitu kompleks hal-hal negatif yang disebabkan oleh penggunaan internet. Karena itulah, menjadi pengguna internet yang bijak adalah suatu keharusan, terutama bijak dalam memfilter apa saja yang ada di internet.

Budaya literasi dan budaya internet sebenarnya dapat berjalan secara beriringan. Karena bagaimanapun kita tidak dapat mengelak bahwa kita memang sedang berada di era millennial yang serba digital.

Sangat naif rasanya jika kita mengatakan "tidak" pada internet. Sebab pada kenyataannya, sedikit banyak kita sudah terlibat dalam penggunaan internet dan peralatan yang serba canggih. Salah satu yang paling dekat adalah penggunaan gawai, laptop, dll.

Yang harus dilakukan untuk menghindari kekhawatiran terlalu besar terhadap anak yang menggunakan gawai adalah dengan menjadi pendamping dan sahabat bagi anak. Sederhana saja, mendampingi anak saat berinteraksi dengan gawainya serta mengenalkan anak pada aktifitas non gawai lainnya dengan cara yang menyenangkan.

Membudayakan literasi adalah salah satu aktifitas yang paling sesuai untuk mengimbangi budaya internet pada anak. Dan yang paling penting, lakukan pendekatan dengan anak agar anak senantiasa merasa nyaman bahkan saat mereka "terlepas" dari gawainya. Yakinkan pada anak-anak bahwa bukan hanya gawai dengan akses internetnya yang kekinian tapi juga budaya literasi !

***

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun