Mohon tunggu...
Fiahsani Taqwim
Fiahsani Taqwim Mohon Tunggu... Penulis - :)

Penganut Absurditas

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Pasar Tulangan

20 Februari 2021   10:05 Diperbarui: 20 Februari 2021   10:27 188
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Seperti yang sudah terjadi selama beberapa saat terakhir, Minggu pagi ini, aku juga akan pergi ke pasar. Mama telah menyiapkan daftar keperluan keluarga untuk seminggu ke depan yang harus dibeli di Pasar Tulangan, mulai dari sayur, beberapa jenis ikan, hingga bumbu dapur. Disebabkan oleh hobiku yang gemar berbelanja, maka aku begitu menikmati tugas mingguan ini. Aku akan berangkat ke pasar dengan hati yang berwarna semangka.

“Ma, aku berangkat ke pasar dulu ya.” Pamitku kepada Mama.

Sebetulnya, ada hal lain di samping passion berbelanja yang membuatku selalu antusias untuk mengarahkan mesin motor matic-ku menuju Pasar Tulangan. Ini karena wajah menawan salah seorang pedagang muda di sana. Lelaki itu menjual banyak macam yang aku perlukan. Ada tahu, tempe, berbagai sayuran, telur, bahkan daging sapi dan ayam. 

Saat tiba di depan meja dagangannya, aku kerap berlama-lama memilih bahan makanan yang tersedia. Sesekali aku memainkan mata nakalku, berusaha mengajak si lelaki pemilik kios agar bersedia beradu pandang denganku. 

Tidak lupa, aku juga selalu memberikan senyum paling manis saat menyerahkan atau mengambil uang kembalian, supaya semakin menunjukkan betapa berharapnya diriku untuk dapat berkenalan dengannya. 

Aku terkadang berlaku agak egois dengan mengacuhkan para pembeli lain di belakangku yang juga perlu untuk mengisi keranjang belanjaan mereka. Semoga saja lelaki pemilik kios itu menangkap sinyal proaktifku dan meresponnya sesuai harapanku. Sebab sejauh ini, yang aku tangkap adalah, dia mulai malu-malu dan terkadang sedikit salah tingkah. Ini boleh jadi pertanda bagus.

Setelah empat minggu berturut-turut, akhirnya aku memberanikan diri bertanya kepada Mama tentang siapa sosok yang telah membuatku tertarik itu.

“Ma, kenal tidak dengan penjual yang berada di blok K 12.”

“Hah, blok K yang sebelah mana?”

“Itu loh Ma, yang di pasar, dekat dengan blok penjual tahu dan kelapa. Dia biasa menjual banyak bahan. Segalanya ada. Tidak seperti penjual lain yang hanya menyediakan jenis bahan makanan yang spesifik.”

“Mama lupa. Siapa sih? Memangnya kenapa?”

“Ya Allah Ma, itu yang masih muda. Laki-laki. Biasanya ada ibunya juga. Orang di pasar memanggil dengan sebutan Bu Haji. ”

“Oh, oh, yang itu. Anak muda itu pasti anaknya Bu Haji. Nama ibunya Bu Haji Sofia, orang terpandang di sini. Ayahnya bernama Pak Haji Hasan, yang punya peternakan ayam di ujung desa.”

“Lah, nama anaknya siapa?”

Ya meskipun aku belum berhasil mengantongi nama lelaki itu, setidaknya aku telah sedikit paham tentang asal-usulnya. Mama menceritakan sepotong demi sepotong tentang dirinya. Dia adalah anak bungsu pasangan terhormat di desa kami. Bapak ibunya adalah orang kaya, sekaligus tokoh masyarakat. Kedua kakak lelakinya telah berkeluarga dan hidup mapan di luar kota. Tinggal dirinya sebagai anak bungsu yang tidak merantau karena harus menjaga kedua orang tuanya yang mulai tua. Selain itu, Mama juga menjelaskan bahwa lelaki berwajah menawan itu kemungkinan besar akan menjadi pewaris peternakan ayam sekaligus kios di pasar milik orang tuanya. Sebab itulah dia dilarang keras untuk pergi merantau seperti kedua kakaknya.

Mama yang curiga lantas bertanya tentang mengapa aku begitu penasaran dengan sosok anak bungsu Bu Haji Sofia tersebut. Aku, dengan terbuka segera menyatakan kepada Mama bahwa lelaki itu sepertinya sosok yang baik, dan mungkin cocok untuk menjadi pacarku.

***

“Jadi, Mas Ronny ini perokok ya.” Tanyaku padanya.

Ia berdehem, batuk kecil beberapa kali, lalu menjawab, “Aku sebetulnya baru belajar merokok sekitar dua minggu yang lalu. Aku pikir, perempuan seperti kamu akan lebih menyukai pria perokok. ”

“Ah, ndak juga. Aku ini penderita sinusitis. Kalau terpapar asap rokok bisa kambuh sakitku.”

Saat aku protes tentang asap rokok itu, Mas Ronny segera menghilangkan nyawa rokonya. Ada-ada saja kelakuan orang yang sedang jatuh cinta, terkadang mereka melakukan sesuatu hal yang menurut dugaan mereka dapat memukau hati orang yang ditaksirnya. Padahal belum tentu dugaan itu mampu membuat terkesan kekasihnya. Maka sebaiknya tidak perlu banyak menduga ketika sedang jatuh cinta, cari tahu saja fakta sebanyak-banyaknya.

Malam ini, untuk pertama kalinya setelah berulang kali hanya bermain mata tepat di kios Blok K 12 Pasar Tulangan, Mas Ronny dan aku akhirnya berkencan. Pada hujan tipis malam Minggu sehabis magrib, dia menjemputku, dan di moment itu, langsung saja aku memperkenalkannya kepada Mama dan Papa. Hamdalah, kami berempat tidak saling canggung sama sekali. Seolah sudah erat hubungan kami dan suasana begitu cair.

Sebelumnya, kami saling berkirim pesan via whatapp sampai akhirnya kami memutuskan untuk saling berkomunikasi secara langsung. Dia menyelipkan secarik kertas bertuliskan nomor ponselnya, lalu memberikannya kepadaku bersamaan dengan menyodorkan uang kembalian pada hari Minggu pagi seminggu yang lalu. Aku tak kuasa menahan rona cerah sepanjang perjalanan menuju rumah dari pasar. Ya Tuhan, kenapa aku begitu tertarik dengan pemuda satu ini. Padahal aku telah menemui jutaan lelaki di tempat lain. Beginilah jadinya jika panah sang Dewa Eros telah menancap di hatiku.

Kami melanjutnya obrolan malam ini dengan santai namun serius. Mas Ronny, anak pemilik kios di Pasar Tulangan ini rupanya adalah seorang Sarjana Peternakan. Dia memutuskan untuk mengisi hidup dengan mengejar gelar sarjana di bidang tersebut bukan atas keinginannya. Akan tetapi, demi memenuhi titah orang tuanya. Abahnya, Pak Haji Hasan meminta agar kelak sang anak bungsu bisa semakin meningkatkan kualitas produksi ayam di peternakan milik keluarga.

“Jadi, selama ini, kota mana saja yang telah kamu singgahi?” tanyanya.

“Lumayan banyak. Hampir seluruh ibukota provinsi di Pulau Sumatra, Jawa, Sulawesi, dan Kalimantan sudah aku kunjungi. ” Jawabku. Maklum, sebagai seorang pekerja sosial, berpindah lokasi kerja dari kota satu menuju kota yang lain adalah hal biasa yang telah aku jalani selama tiga tahun ini. Sejak lulus kuliah S1 tiga tahun silam, aku langsung mendapatkan pekerjaan pertamaku sebagai seorang staf humas untuk sebuah lembaga sosial internasional. Karirku tersebut  membuatku memperoleh kesempatan untuk membuang waktu sejenak di beberapa daerah di seluruh penjuru Indonesia dan beberapa negera tetangga. Disebabkan oleh karir itu pula, aku menjadi jarang sekali pulang ke rumah Mama Papa belakangan ini. Maka, untuk menebus semua waktu yang telah aku gunakan dengan tanpa Mama Papa beberapa tahun ini, aku memutuskan untuk berhenti menjadi staf humas, pulang ke rumah Mama Papa, sembari berlibur dan menata ulang tujuan hidupku.

“Sudah malam Fi. Ayo lekas pulang. Jangan membuat orang tua kita khawatir.” Mas Ronny mengajakku mengakhiri kencan kami tepat saat jam menunjukkan pukul 22.00 WIB.

Aku mungkin sudah jatuh hati padanya. Semoga, dia adalah pilihan Tuhan untukku.

“Mas, besok pagi kita ketemu di pasar ya.” Kataku manja sambil menggencangkan pegangan di perutnya saat ia mengantarku pulang.

***

“Mbak Fi, ada tamu yang mencari.” Kata Mbak Tri, asisten rumah tangga di rumah Mama pada suatu siang. Aku berharap semoga tamu yang dimaksud oleh Mbak Tri adalah utusan dari yayasan SMP international di kecamatan sebelah. Beberapa saat yang lalu, Papa menyuruhku untuk melamar pekerjaan sebagai staf humas dan public relation di sekolah elite tersebut. Papa berusaha membantu agar aku mendapatkan pekerjaan yang aku sukai di sekitar sini saja. Tidak perlu bekerja di tempat yang jauh seperti yang sebelumnya. Setelah beberapa kali berkunjung ke sekolah tersebut untuk bertemu dengan pimpinan dan para stafnya, aku percaya diri untuk diterima bekerja di tempat tersebut. Kepala sekolah mengatakan akan segera mengirim anak buahnya untuk berkunjung ke rumah orang tuaku, lantaran mereka juga berencana untuk bersilaturahmi dengan Papa yang merupakan tenaga dinas pendidikan.

“Silahkan duduk, Mbak.” Kataku ramah. Benarkah ini petugas dari yayasan SMP itu? Mengapa dia terlihat begitu tegang dan tidak nyaman. Mengapa pula ia datang di saat Papaku belum memberi pesan apa-apa terkait kedatangan perempuan ini. Papa bahkan belum pulang dari kantornya.

 “Saya Nurma. Saya calon tunangan Mas Ronny.”

Otakku berhenti bekerja selama beberapa detik selepas mendengar celoteh perempuan yang telah mengganggu tidur siangku ini. Siapa dia sebenarnya?

“Mmm, Sorry?” akhirnya hanya itu yang sanggup untuk kuutarakan.

“Mbak, saya sudah lama sekali mengenal Mas Ronny. Dia kakak kelas saya saat SMA. Kami bahkan telah saling dekat, berpacaran sejak setahun silam. Sekarang dia tiba-tiba tidak pernah datang ke rumah sejak kenal dengan Mbak.”

“Sebentar, sebentar. Tenang dulu. Silahkan diminum.” Kataku canggung sambil memepersilahkannya meminum segelas es sirup yang dibuatkan oleh Mbak Tri.

“Mbak, kamu terlahir dari keluarga terpandang. Ibumu seorang bidan terkenal, dan ayahmu adalah pejabat dinas. Semua orang juga tahu kalau Mbak ini punya kehidupan yang sempurna sejak masih kecil. Saya dengar Mbak pernah berkuliah di Eropa dan telah menjadi wanita karir yang sukses. Saya ini cuma anak penjual siomay keliling. Bapak dan Ibu saya tidak pernah merasa lebih terhormat lagi daripada menjadi besan Pak Haji Hasan. Sejak masih kecil, saya bercita-cita untuk mengangkat derajat keluarga saya yang miskin dan tidak terpandang. Saya ingin sekali menikah dengan Mas Ronny, Mbak. Tolong jangan biarkan dia meninggalkan saya.

“Saya telah berusaha mati-matian untuk menjadi pantas di mata Mas Ronny dan keluarganya. Saya memaksa kedua orang tua saya untuk membiayai uang kuliah demi bisa menyamakan derajat dengan keluarga Mas Ronny. Saya dan keluarga telah melakukan banyak usaha dan berkorban demi mengangkat martabat kami. Sudah bosan kami hidup begini-begini saja. Biarkan kami naik kelas Mbak. Tolong jangan ganggu cita-cita kami Mbak. Tolonggg..” Katanya sambil terisak.

Aku yang masih lemas dan terlalu kaget tak kuasa untuk menanggapinya.

“Mbak, bukankah tidak sulit bagimu buat mencari lelaki kaya dan terhormat seperti Mas Ronny? Sedangkan aku harus mengorbankan banyak hal demi mendapatkan lelaki semacam itu.Tolonglah, mengalahlah padaku!!!!”

                                                                                                             

Tulangan, Bulan Valentine 2020

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun