Meskipun sekarang secara de jure, diskriminasi gender dianggap hanya sebagai sebuah kenangan karena telah ada gerakan feminisme, tetapi secara de facto diskriminasi gender tetap ada (Tong, 1998: 49). Pada beberapa aspek, upaya meretas ketimpangan di Indonesia memang mengalami kemajuan, tapi kenyataannya tantangan masih besar. Perjuangan ini perlu terus digelorakan, termasuk melalui media teater.
Beban Sebuah Nama
Ada satu hal yang sangat menarik dari naskah ini, yaitu arti nama yang menambah dimensi perjuangan karakter. Arti nama menyoroti pengaruhnya pada identitas dan persepsi diri. Ini memicu refleksi tentang bagaimana sebuah nama dapat membentuk pandangan orang lain, bahkan hingga dampak psikologis yang dialami individu.
“Ayah memberiku nama Nala. Nala Peturuh; hati yang selalu memberi. Hati yang selalu memberi dan tak mengharapkan apa-apa..” begitu salah satu dialognya. Nala dihadapkan pada kemelekatan harapan yang seolah-olah telah mendasar dalam dirinya. Nala merasa bahwa arti namanya membuatnya harus terus memberi, melayani, tanpa harus merasakan hal yang sepadan.
Terhitung tiga kali Nala mempertegas makna nama dalam monolog ini. Pertama, saat mengungkap asal usul pemberian nama dari ayahnya. Kedua, saat menyadari pahitnya cinta tak berbalas pada Tebing, yang kemudian membuatnya mengaitkan dengan arti nama. Ketiga, saat teringat akan almarhum ibu yang sering membanding-bandingkannya dengan Sabana.
Nama Nala ini sebetulnya bisa dimaknai sebagai simbol ketulusan, sebuah harapan yang positif. Namun bagi Nala, nama itu terasa sebagai beban, hambatan, bahkan kutukan. Arti nama yang diketahui orang-orang di sekitarnya ini, selalu dihubungkan pada ekspektasi tentang bagaimana semestinya Nala bersikap.
Pengulangan dialog arti nama Nala menjadi repetisi yang ingin menegaskan bahwa sebuah nama bukanlah hal remeh. Menentang frasa "apalah arti sebuah nama” yang seolah melebar menuju kesan menyepelekan. Ketika orang tua memberi nama pada anaknya, biasanya mereka akan membayangkan anak tumbuh sesuai dengan karakter positif, yang disimbolkan oleh nama tersebut. Namun, yang sering terlupakan adalah betapa dalamnya pengaruh nama dalam kehidupan sehari-hari. Nama bisa menjadi identitas seumur hidup atau simbol diri, hingga potensi determinisme nominatif. Selain itu dapat membentuk persepsi orang lain, perlakuan terhadap individu, termasuk bagaimana anak merasakan dirinya sendiri.
Lebih dari itu, latar belakang keluarga dan kekecewaan dalam hidup dapat pula membentuk pandangan anak terhadap nama. Mereka yang merasa tidak cocok dengan nama, ternyata seringkali memiliki kondisi psikologis yang lebih buruk. Penelitian yang dilakukan psikolog AS, Jean Twenge pada 2000-an menunjukkan, bahwa hal ini bisa disebabkan oleh kurangnya rasa percaya diri dan harga diri, yang kemudian mempengaruhi hubungan emosional terhadap nama mereka. Tingkat kepercayaan diri secara keseluruhan juga dapat terpengaruh.
Ketelitian Aktor dalam Analisis Teks
Sepanjang pertunjukan, aktor yang biasa disapa Kunti, memperlihatkan dengan tajam bagaimana ia menghadirkan kompleksitas emosional karakter. Loncatan tiba-tiba dari pengorbanan tanpa pamrih ke arah tindakan-tindakan ekstrem, seperti memberi dan meminum racun, mencitrakan keguncangan emosi yang rumit dan menegangkan.
Perubahan-perubahan perilaku, emosi, dan pikiran-pikiran karakter, menjadi tantangan bagi aktor agar penonton dapat benar-benar merasakannya. Semua rasa kecewa, cemburu, kesedihan, sulitnya penerimaan diri, ialah gangguan emosi yang harus terlukis dengan keaslian dan porsi yang tepat.
Transisi antar ekspresi emosional yang bertentangan juga membutuhkan keterampilan aktor untuk beralih secara mulus. Aktor perlu memahami perjalanan emosi karakter di keseluruhan naskah. Bagaimana proses Kunti dapat melakukannya?