Suara pedihnya nasib perempuan bergema di panggung teater. Ketidakadilan yang melibatkan konsep kecantikan, hadir ibarat pukulan telak yang menggugat esensi peran perempuan dalam masyarakat kita. Demi mereka yang masih terperangkap dalam stereotip dan diskriminasi, apakah pesona dan keindahan akan terus-menerus hanya menjadi berkah bagi orang tertentu?
Festival Kelas Titimangsa telah menggelar sepuluh pertunjukan di Gedung Pertunjukan Bulungan pada 2 dan 3 Desember 2023. Acara tersebut merupakan puncak dari serangkaian kegiatan kelas seputar seni pertunjukan yang telah diadakan Titimangsa selama satu tahun terakhir.
Salah satu yang menjadi sorotan ialah monolog berjudul "Nala, Tak Ada Tempat Untuknya", dimainkan oleh Cres Centia Kunti Dewanggani. Naskah ini karya Iswadi Pratama, yang juga berperan sebagai sutradara dan pengajar di kelas akting Titimangsa.
Konstruksi Sosial yang Tak Kelar-Kelar
Panggung dibuka dengan kehadiran seorang perempuan menggunakan gaun bernuansa putih, dengan rambut tergerai. Dialah Nala, yang tengah berada di ruang tamu cukup luas, bersama kanvas dan meja kecil tempat peralatan melukis.
Awalnya, penampilannya memancarkan keanggunan yang lembut, tapi ternyata itu hanyalah ilusi. Perempuan itu bukanlah Nala sejati, melainkan penampilan Sabana, saudara perempuannya yang dianggap memiliki pesona lebih tinggi. Gaun yang dikenakan adalah hadiah dari Tebing, lelaki yang dicintainya namun justru mencintai Sabana.
Monolog ini menggambarkan konflik batin perempuan yang terluka akibat konstruksi sosial. Ketidaksetaraan gender yang dialaminya membuatnya sangat menginginkan diakui dan dicintai.
Nala ialah korban yang terkekang oleh standar kulit putih, kelembutan, keharuman tubuh, dan aspek lain, yang seakan menjadi kewajiban perempuan. Ironisnya, konstruksi ini ditanamkan oleh orang tuanya. Ia tak hanya mengalami stereotipe, bahkan juga kekerasan. Ayahnya pernah memukulnya hanya karena sendawa di depan tamu.
Nala pun berjuang keras agar mampu sesuai dengan harapan sosial, mengejar standar kecantikan yang merugikannya. Ia terperangkap dalam perbandingan dengan Sabana, sampai mempertaruhkan keasliannya. Nala menyadari ia tak ingin kehilangan diri, namun konflik memuncak saat ia semakin sadar bahwa Tebing tak akan pernah merasakan hal yang sama terhadapnya. Ia semakin terpuruk, merasa bahwa dirinya tidak memiliki tempat yang mau menerimanya di dunia ini.
“Setiap perempuan itu cantik. Seorang perempuan dia juga harus merasa istimewa dengan dirinya sebagaimana dia adanya. Konstruk sosial sering membuat perempuan yang dianggap tidak dalam kriteria, merasa tidak berhak. Cantik itu sesuatu yang esensial, yang hakiki. Namun sayangnya nilai cantik dari dalam diri yang dibawa secara primordial, kalah oleh konstruk sosial, seperti harus tinggi, mancung, dan sebagainya,” ujar Iswadi selaku penulis naskah dan sutradara saat ditemui.
Lalu, mengapa monolog Nala saat ini perlu dihadirkan? Bukankah telah banyak gerakan serupa yang memperjuangkan kesetaraan gender? Faktanya, tren kejahatan dan kekerasan terhadap anak, terutama perempuan, masih mengkhawatirkan di Indonesia. Data dari Pusat Informasi Kriminal Nasional (Pusiknas) Bareskrim Polri menunjukkan angka yang masih berfluktuasi. Tercatat, lebih dari 800 kasus per bulan selama Januari-Juli 2023.
Meskipun sekarang secara de jure, diskriminasi gender dianggap hanya sebagai sebuah kenangan karena telah ada gerakan feminisme, tetapi secara de facto diskriminasi gender tetap ada (Tong, 1998: 49). Pada beberapa aspek, upaya meretas ketimpangan di Indonesia memang mengalami kemajuan, tapi kenyataannya tantangan masih besar. Perjuangan ini perlu terus digelorakan, termasuk melalui media teater.
Beban Sebuah Nama
Ada satu hal yang sangat menarik dari naskah ini, yaitu arti nama yang menambah dimensi perjuangan karakter. Arti nama menyoroti pengaruhnya pada identitas dan persepsi diri. Ini memicu refleksi tentang bagaimana sebuah nama dapat membentuk pandangan orang lain, bahkan hingga dampak psikologis yang dialami individu.
“Ayah memberiku nama Nala. Nala Peturuh; hati yang selalu memberi. Hati yang selalu memberi dan tak mengharapkan apa-apa..” begitu salah satu dialognya. Nala dihadapkan pada kemelekatan harapan yang seolah-olah telah mendasar dalam dirinya. Nala merasa bahwa arti namanya membuatnya harus terus memberi, melayani, tanpa harus merasakan hal yang sepadan.
Terhitung tiga kali Nala mempertegas makna nama dalam monolog ini. Pertama, saat mengungkap asal usul pemberian nama dari ayahnya. Kedua, saat menyadari pahitnya cinta tak berbalas pada Tebing, yang kemudian membuatnya mengaitkan dengan arti nama. Ketiga, saat teringat akan almarhum ibu yang sering membanding-bandingkannya dengan Sabana.
Nama Nala ini sebetulnya bisa dimaknai sebagai simbol ketulusan, sebuah harapan yang positif. Namun bagi Nala, nama itu terasa sebagai beban, hambatan, bahkan kutukan. Arti nama yang diketahui orang-orang di sekitarnya ini, selalu dihubungkan pada ekspektasi tentang bagaimana semestinya Nala bersikap.
Pengulangan dialog arti nama Nala menjadi repetisi yang ingin menegaskan bahwa sebuah nama bukanlah hal remeh. Menentang frasa "apalah arti sebuah nama” yang seolah melebar menuju kesan menyepelekan. Ketika orang tua memberi nama pada anaknya, biasanya mereka akan membayangkan anak tumbuh sesuai dengan karakter positif, yang disimbolkan oleh nama tersebut. Namun, yang sering terlupakan adalah betapa dalamnya pengaruh nama dalam kehidupan sehari-hari. Nama bisa menjadi identitas seumur hidup atau simbol diri, hingga potensi determinisme nominatif. Selain itu dapat membentuk persepsi orang lain, perlakuan terhadap individu, termasuk bagaimana anak merasakan dirinya sendiri.
Lebih dari itu, latar belakang keluarga dan kekecewaan dalam hidup dapat pula membentuk pandangan anak terhadap nama. Mereka yang merasa tidak cocok dengan nama, ternyata seringkali memiliki kondisi psikologis yang lebih buruk. Penelitian yang dilakukan psikolog AS, Jean Twenge pada 2000-an menunjukkan, bahwa hal ini bisa disebabkan oleh kurangnya rasa percaya diri dan harga diri, yang kemudian mempengaruhi hubungan emosional terhadap nama mereka. Tingkat kepercayaan diri secara keseluruhan juga dapat terpengaruh.
Ketelitian Aktor dalam Analisis Teks
Sepanjang pertunjukan, aktor yang biasa disapa Kunti, memperlihatkan dengan tajam bagaimana ia menghadirkan kompleksitas emosional karakter. Loncatan tiba-tiba dari pengorbanan tanpa pamrih ke arah tindakan-tindakan ekstrem, seperti memberi dan meminum racun, mencitrakan keguncangan emosi yang rumit dan menegangkan.
Perubahan-perubahan perilaku, emosi, dan pikiran-pikiran karakter, menjadi tantangan bagi aktor agar penonton dapat benar-benar merasakannya. Semua rasa kecewa, cemburu, kesedihan, sulitnya penerimaan diri, ialah gangguan emosi yang harus terlukis dengan keaslian dan porsi yang tepat.
Transisi antar ekspresi emosional yang bertentangan juga membutuhkan keterampilan aktor untuk beralih secara mulus. Aktor perlu memahami perjalanan emosi karakter di keseluruhan naskah. Bagaimana proses Kunti dapat melakukannya?
“Materi keaktoran yang paling berguna untukku mendalami proses monolog ini adalah mengenai subteks. Karena mendalami subteks dari setiap kata, setiap paragraf, sangat membantuku untuk menelaah apa yang si karakter rasakan. Walaupun dari naskah sebenarnya sudah cukup lugas apa yang dirasakan, tapi aku juga perlu memastikan apakah ada layer-layer lain yang tak terkatakan,” kata Kunti.
Kunti juga mengungkapkan bahwa dengan menggali subteks, ia dapat menciptakan landasan yang lebih dalam terkait dengan si karakter. Interpretasinya tak terbatas pada yang terbaca dalam naskah, melainkan mengurai peristiwa yang membentuk fondasi dari setiap gelombang emosi dalam monolog.
Subteks membantu Kunti memeluk esensi keseluruhan pesan naskah, hingga memberi gambaran mendalam tentang karakter Nala. Maka tak heran, jika kemudian ia mampu menyajikan intonasi, gesture, isyarat mimik wajah, dan jeda-jeda yang mengesankan.
Pertunjukan ini merupakan debut panggung bagi Kunti dalam dunia teater. Dedikasinya yang berbulan-bulan mengikuti kelas akting layak mendapat apresiasi tinggi. Dalam peran Nala, Kunti tak hanya menjadi penafsir, namun menjadi cermin perjuangan, kekuatan, dan keindahan perempuan—baik dalam dirinya maupun dalam karakter yang disuarakannya.
Terima kasih untuk seluruh tim yang terlibat di baliknya.
Sumber Referensi Bacaan:
https://www.google.com/amp/s/www.bbc.com/indonesia/vert-fut-57313098.amp
https://id.sainte-anastasie.org/articles/psicologia/realidad-vs-expectativas.html
Tong, R. P. Feminist Thought: Pengantar Paling Komprehensif kepada Aliran Utama Pemik
iran Feminis. Yogyakarta: Jalasutra, 2008.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H