Mohon tunggu...
Fidia Wati
Fidia Wati Mohon Tunggu... wiraswasta -

Cerita khas emak emak http://omahfidia.blogspot.co.id

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

(LombaPK) Catatan Perempuan, Toleransi dalam Perkawinan Beda Agama

17 Januari 2017   09:42 Diperbarui: 17 Januari 2017   09:50 949
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kita tak pernah tahu, dengan siapa kita berjodoh. Begitupun aku. Ketika pada akhirnya cinta ini, berlabuh pada seorang lelaki non muslim. Aku menerimanya.

 Benar adanya, bila saat jatuh cinta, semua sesuatu terasa indah. Kami telah dibutakan oleh cinta yang menggebu, perbedaan agama dianggap persoalan sepele. Berbeda dengan kami yang bersuka cita. Orangtua kami tidak! Saatmereka , mengetahuinya mereka langsung mengambil ancang-ancang. Penolakan keras langsung kami terima. Dan meminta kami segera mengakhirinya,sebelum terlambat.

 “Nduk…tolong, carilah lelaki yang seiman.” Aku menolak, kekasihku juga sama. Kami merasa pede dan sombong. Hello…kita masih pacaran? Kenapa semua pada rempong,sih?

Aku bersikap cuek, dan menulikan telinga. Positif thingking bahwa hubungan kami akan berjalan mulus sesuai harapan. Kenyataannya, cinta kami kami malah berkembang subur dan hubungan itu kian waktu kian menegangkan. Ibarat menaiki roller coaster, semakin lama semakin menguras perasaan.

Perbedaan agama tak sesederhana yang kami pikirkan. Benturan-benturan kecil, seringkali  berujung perdebatan yang tak ada penyelesaiannya. Kedua keluarga semakin menekan. Airmata sering  terkuras sia-sia. Hingga membuat kami patah arang. Dan memutuskan berpisah. Lebih baik, kami sakit hati sekarang, daripada nanti. Tenyata sendiri, membuatku banyak berpikir tentang nasehat orangtua. Mereka sudah banyak menelan asam garam perkawinan. Mereka pasti tahu dan mengerti betul alasan mereka melarang kami berhubungan.

Menikah bukan hanya urusan dunia, tetapi menyangkut urusan akhirat. Bagaimana mungkin perkawinan akan langgeng, bila ada dua nahkoda dalam satu kapal. Bagaimana bila ada anak? Haruskah kita ribut hanya untuk memutuskan agama apa yang akan mereka anut? Ataukah kita membiarkan mereka berjalan sendiri menemukan TUHANNYA tanpa pernah kita didik sedari kecil? Tidak!! Kami tak menyukainya.

Agama adalah hubungan private antara manusia dan Tuhannya. Tidaklah elok bila kita memaksakan kehendak pribadi pada orang lain, supaya mereka mengikuti agama yang kita anut.  Bagiku, itu sama saja, menjejali mulut seseorang dengan makanan yang tidak mereka sukai. Pertamanya, mereka pura-pura menyukainya, supaya kita senang. Lama-lama eneg, dan memuntahkannya. Aku mulai berpikir realitis. Dan pasrah atas semua RENCANANYA. Bila memang jodoh, semua pasti di mudahkan. Bila memang tidak jodoh, ya sudah mencari lagi. Gitu aja kok repot. Hehheheheheheh.

Patah hati, sempat membuatku oleng. Dia memang lelaki yang sangat perhatian. Aku bangkit. Life must go on. Lalu aku menenggalamkan diriku dengan pekerjaan.

***

“Aku mau masuk islam” dia menelponku suatu hari, dan mengajakku menjalin hubungan kembali. Setelah berpisah berbulan-bulan lamanya. Aku terperangah! Bibirku monyong, mencibir. Aku termasuk sulit untuk mempercayai seseorang. Ku lihat rambut keritingnya masih tetap kruel.

“Kamu tadi nggak kejedot kursi kan?” godaku padanya. Dia mememberitahuku sekali lagi. “Please..aku serius.” Setengah frustasi dia meyakinkanku akan keputusannya.

“Aku juga serius….” Jawabku lembut tapi tegas. Soal agama, aku tidak mau main-main. Ini menyangkut keyakinan. Semua harus dengan kesadaran sendiri, bukan karena paksaan. “Agama bukan untuk di permainkan. Jangan hanya karena kita mencintai seseorang, lantas agama di gadaikan. Bagaimana bila kamu tak mencintaiku lagi? Tolong..berpikirlah dengan logika bukan dengan nafsu…..”. Tiba tiba pengalaman tetangga mengingatkanku. Dimana setelah mereka menikah, diam-diam suaminya balik lagi ke agamanya.

***

Lalu……Kami duduk bahagia diatas pelaminan sebagai raja dan ratu sehari, setelah melewati tiga puluh ribu enam ratus enam puluh purnama. Waktu yang sangat panjang menurutku untuk mengenal satu sama lain. Perjalanan real di mulai.

Setelah perkawinan, keadaan bukannya membaik. Justru menjadi tantangan baru. Teman-teman yang dulunya kalem malah menatap sinis, bahkan ada yang terang-terangan menuduhku menggunakan black magic, untuk menggaet suami. Boro-boro menggunakan black magic, black pepper aja aku kurang suka. Emangnya aku apaan.Wong jelek-jelek gini, masih banyak yang antre. Hahahahhaha. Daripada pusing, aku tak melayani, ocehan mereka. Percuma juga!

Tetapi…eng ing eng…aku bukam malaikat, aku manusia biasa yang punya rasa bête, apalagi menjelang PMS. Emosiku seperti orang kebelet ke belakang, nggak nemu toilet. Beuh maunya makan orang. Sayangnya aku tak bisa. Sehingga sebagai pelampiasan aku makan krupuk dengan cabe. Bunyinya krauk..krauk…krauk…di teliganku terdengar seperti sebuah sonata indah di padang pasir. Ku lumat mereka dengan kasar dan penuh emosi, sampai lembut di mulut. Gurihnya krupuk dan pedasnya cabe, mengalihkan perhatianku. Fussss……aku mulai tenang…Wkkkwkkwkwkwk….

Ternyata, menyatukan dua keluarga dengan latar belakang agama yang berbeda, tak semudah membalikkan telapak tangan. Pipiku malah sering basah oleh tetesan airmata. Perbedaan dan benturan malah semakin nyata dan keras menghantam.

Tapi..bukan diriku bila tak bisa berdiri tegak.

Semua kesulitan, secara tak langsung mengubah cara pandangku. Aku tak bisa begini terus, menangis tanpa ada solusi. Aku sudah menjatuhkan pilihan. Sehingga kudu siap menanggung resiko dengan syukur dan senyum.

 Toleransi, tak akan bisa berjalan bila diriku tetap keukeuh dengan benteng yang ku buat sendiri. Sikapku perlahan mulai luwes dan memberikan empati pada tiap orang yang kutemui. Terutama keluarga besar. Aku mulai menempatkan diriku menjadi mertua dan menjadi orang tuaku sendiri. Mereka pasti kecewa dengan pilihan anaknya. Terutama mertuaku, sebab anak kesayangan, memilih keyakinan berbeda dengan agama yang mereka anut, demi bisa bersanding dengan gadis pilihannya. Begitupun dengan orangtuaku sendiri. Sebab, mereka ingin aku menikahi seorang lelaki dari keluarga yang seiman. Tapi kenyataannya, berbeda.

Ya Rabb, kuatkan iman dan mudahkan langkahku. Doaku dalam tiap sujud.

Aku mulai membuka diri, bergaul akrab dengan keluarga besar. Semua ego dan ketakutan tak di terima telah ku lepas. Langkah yang awalnya berat, mulai terasa ringan. Pelan-pelan aku belajar serius adat budaya mereka. Misalnya cara membuat canang, atau menyusun gebogan atau membuat masakan Bali. Meskipun sampai sekarang bisanya hanya membuat ayam sisit. Aku tak segan bertanya, meskipun toh ujung-ujungnya aku hanya sebagai penggembira saja.

Dengan diriku membuka diri, semua terasa lebih mudah. Hubungan yang dulunya kaku, mulai melunak, yang mulanya takut untuk ketawa, sekarang bisa ketawa lepas. Aku mulai aktif di kegiatan keluarga. Sebagai emak-emak rempong. Tugas utama di bagian dapur dan menjaga kebersihan rumah.

Kami tak pernah menyinggung soal perbedaan agama kami. Bagiku agamaku dan bagimu agamamu. Saat hari-hari besar, ku sempatkan membuat hantaran, bukan hanya di keluarga suami, tetapi juga tetangga sekitar. Mereka adalah keluarga baru. Cinta kasih ku sebar.

Pada akhirnya semua berakhir indah. Rasa lelah dan putus asa yang pernah menghampiriku sirna. Mereka mulai menerimaku.

Aku terharu saat mertua membuatkanku masakan special, sebab mereka tahu kami tak memakan babi. Mereka juga menghormati kami saat menjalankan ibadah, bahkan mengijinkan kami sholat, ketika kami datang berkunjung dan pas waktu sholat. Subhanallah, adem hati.

Perbedaan tak seharusnya membuat pertikaian. Karena dengan perbedaan, mengajari kita indahnya saling menghargai, membuat dunia ini semakin indah dan berwarna.

Jember 16 Januari 2017

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun