Kemudian…aku pergi ke kamar Laras. Gadis pintar berkerudung itu sedang curhat dengan Allah. Duduk diatas sajadah. Dipangkuannya ada Alquran yang masih terbuka. Tanggannya sesekali menghapus bulir bulir air mata dipipinya.
Melihat Laras, memberiku kekuatan. Aku harus bisa menjaga dan membahagiakan kedua orangtuaku serta adikku.
***
Laras
Aku menggendong Lirih. Ia tertidur pulas.
Mas Lucky dan Bik Sulis disampingku membaca surah yasin. Kami bertiga menangis di depan pusara Ayah dan Ibu yang mati di depan regu tembak.
Alam ikut menangisi kesedihan kami.
Hidupku hancur. Apalagi Paman dan Bibi kami tak ada yang mau menampung kami bertiga.
Kami seperti pesakitan. Untungnya ada Bik Sulis. Pembantu setia kami,mengajak kami pindah ke pondoknya, di pinggir kota. Rumah sederhana, berdinding bambu dan berlantai tanah. Di situ tak ada listrik,komputer,kulkas apalagi internet.
Aku ingat..sorot mata Mas Lucky terlihat tegar menggandeng tangan kami berdua memasuki rumah Bik Sulis.
“Sabar ya dik, kita bertiga harus kuat dengan ujian ini” katanya terbata-bata.