Mohon tunggu...
Fidia Wati
Fidia Wati Mohon Tunggu... wiraswasta -

Cerita khas emak emak http://omahfidia.blogspot.co.id

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Artikel Utama

Cerpen: Balen

11 Maret 2016   09:03 Diperbarui: 11 Maret 2016   16:54 1138
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

 

[caption caption="hdwallpapers360.files.wordpress.com"][/caption]Langkah Sumini cepat menuju rumahnya,nafasnya memburu dan raut mukanya  terlihat kecut. Tadi dipasar dia bertemu Yu Pairah, istri Kang Parto. Pakaian Yu Paerah tampak modis ditambah lagi dengan gemerlap perhiasan yang melekat ditubuhnya, ditambah dengan mobil baru lengkap dengan sopir yang mau mengantarkan dia kemanapun. Dulu mereka berdua akrab, hubungan mereka seperti kakak adik. Namun semenjak ekonomi Yu Paerah naik sifatnya berubah angkuh, membuat Sumini enggan bertemu dengannya.

“Apa kabar Sum” tegur Yu Paerah,bibir tebalnya dipoles gincu berwarna ungu, caranya berbicara sengaja dimonyongkan sedikit supaya kelihatan seksi.

“Baik Yu” Sumini tak bergairah menjawabnya. Tangannya sibuk memilih sayuran.

Bukannya berbelanja sayuran, Yu Paerah malah memperhatikan Sumini dari bawah ke atas, membuat Sumini salah tingkah.

“Sum, *kowe nggak malu ya memakai baju robek kepasar, apa suamimu begitu miskinnya hingga tak bisa belikan kamu baju! Kamu itu jangan goblok jadi perempuan, sana minta uang sama suamimu!"

Deg, mendengar perkataannya mata Sumini berkaca-kaca, hatinya sakit. Bukan kali ini saja Yu Paerah berkata tajam kepadanya. Tapi tiap kali mereka bertemu.

Brak…

Sumini membuka pintu dengan keras, belanjaannya dia lemparkan ke kursi, membuat Parmin, suaminya yang sedang menonton televisi tersentak.

 Parmin membawakan Sumini segelas air. Perempuan itu merenggutnya dengan kasar dan melemparkan gelas tersebut ke pojokan kamar. Anaknya yang sedang tidur terkejut, dia menangis ketakutan.

“Kamu ini kesambet darimana to bu, datang dari pasar langsung marah-marah?” Parmin berusaha menyabarkan istrinya.

“Aku sudah muak hidup melarat kang! mbok ya kamu itu kerja yang bener. Jangan jual gorengan terus” tangisnya pecah, tak dihiraukannya lagi tangis anaknya.

“Harus kerja apa lagi aku bu, sedangkan aku tak tamat SD, dan pengalamanku hanya bertani saja”

“Halah alasan saja, coba lihat Kang Parto, dia juga tak tamat SD tapi dia sekarang kaya raya, punya banyak rumah, sawah dan mobil. Sedangkan kita…apa? Rumah masih numpang mertua, kemana-mana naik sepeda onthel usang, tabungan….ah embuh…bisa makan 3 kali saja sudah untung! Lantas…kapan kamu bisa nyenengin aku dan anakmu?" kata-kata Sumini meluncur deras ke suaminya. Beban yang dihimpitnya bertahun tahun leleh dengan kemarahan.

“Sabar bu, lihat anakmu menangis, apa kamu nggak kasihan padanya”

“Biarkan saja dia menangis, biar dia tahu penderitaannya emaknya ini!”

***

Parmin menghela nafas panjang, Kakinya lemas tak sanggup mendengar kata-kata istrinya lagi. Ia memilih keluar rumah. Dan membiarkan langkahnya berjalan tak tentu arah sambil menyesap*rokok tengwe miliknya. Otaknya terasa buntu. Ia tersenyum kecut tak menyangka, istri yang dikenalnya lemah lembut, hari ini seperti Mak lampir. Nyalinya ciut.

Disisi lain Parmin menyadari, wajar Sumini begitu. Selama 7 tahun pernikahannya tak pernah sekalipun dia membelikan sesuatu untuk istrinya. Parmin menjadi malu. Ia ingin mengubah nasib supaya bisa kaya dan membahagiakan keluarganya. Tapi…..bagaimana caranya? memikirkan semua itu kepalanya mendadak pening.

“Woi… ngelamun saja kowe Min” Parmin terkejut, ketika kang Parto berdiri dihadapannya. Dia mengendarai motor moge bercat merah. Melihatnya duduk gagah diatas motor menyentak hati Parmin… ah..andai aku yang duduk disitu. Ia tersenyum sendiri…

“Lah..ditanya kok malah senyum-senyum sendiri, *piye to ki bocah?” Kang Parto geli melihat mata parmin yang terus menerus menatap motor gedenya dengan takjub.

“Nih kuncinya, kalau kamu mau coba mengendarai” Kang parto melemparkan kunci motornya kearah parmin.

“beneran nih kang?” Tanya parmin antusias. Kang parto tersenyum mengiyakan. Iapun menaiki motor gede itu kearah jalan raya. Sepanjang perjalanan ia tersenyum, bahagia sekali rasanya ketika melewati orang-orang yang terpana dengan kegagahan motornya. Perasaannya melambung tinggi. Ia sudah lupa kata-kata istrinya tadi.

“Aku harus  kaya, tak peduli caranya bagaimana” bathinnya.

***

“Ma…nanti malam aku ke luar kota, uang segepok sudah kutaruh di meja, belilah apa yang kamu mau”

“Oke Pap, setelah arisan nanti aku mau ke spa setelah itu baru shopping”

Lelaki itu bergegas menuju mobilnya. Sopirnya sudah menunggu dari tadi. Tanpa memperdulikan jawaban istrinya.

Melihat suaminya pergi,perempuan itu tersenyum hampa. Diedarkannya matanya kesekeliling rumah. Perasaannya begitu hampa.

Perempuan itu adalah Sumini, dan lelaki yang tadi pergi adalah Parmin suaminya.

Mereka sudah menjadi orang kaya sekarang. Punya banyak sawah, mobil juga rumah besar, tamannya luas, ditengahnya ada kolam renangnya. Meskipun mereka tak pernah menggunakannya. Maklum mereka tak bisa berenang. Atas dasar prestise saja, kolam renang itu dibuat.

Semenjak suaminya diajak bekerja sama dengan Kang Parto. Perekonomian mereka melesat bak meteor. Meskipun ia sendiri tak tahu pekerjaan apa sebenarnya yang dilakoni suaminya,sehingga bisa menghasilkan uang begitu cepat. Pernah dia mendengar desas-desus kalau suaminya punya pesugihan “uang balen”. Ingin rasanya dia bertanya, tapi dia tak kuasa ketika melihat suaminya. Sumini takut suaminya marah. Padahal dia sudah memberikan apa yang Sumini mau.

Rumah besarnya sepi… Sumini kesepian meskipun banyak pembantu dirumahnya. Namun tak bisa menyemarakkan suasana rumah.

Tiap hari Parmin pulang menjelang subuh. Mereka hampir tak pernah bercengkrama dan bersenda gurau seperti dulu sedangkan anaknya murung, dia tergolek lemah karena sakit-sakitan, tubuhnya kurus kering seperti orang kekurangan gizi. Padahal makanan berlimpah di rumahnya.

Ntah sudah berapa rumah sakit dan dokter spesialis yang mereka datangi, tapi tak ada satupun diagnosa yang benar. Mereka selalu bilang, anaknya sehat.

Kadang dia kangen kehidupan masa lalu, meskipun mereka melarat tapi bathinnya tenang. Anaknya sehat, ceria dan suaminya punya banyak waktu untuk dirinya.

Bip..bip…suara bbm masuk. Ternyata dari Yu Paerah, wanita yang dulu sering mengejeknya. Mereka berdua akrab seperti prangko sekarang. Kemana-mana selalu berdua.

“15 menit lagi kita sampai”

Sumini kembali mematut dirinya didepan cermin. Ia menjadi wanita cantik sekarang hasil dari perawatan ekstra disalon kecantikan ternama. Sayangnya hal itu tak membuat suaminya betah dirumah.

Tak berselang lama, orang yang ditunggupun datang. Setelah berpamitan dengan anaknya, iapun masuk ke mobi. Di kursi belakang Yu Paerah diapit dua orang lelaki muda. Mereka tertawa terbahak-bahak. Aroma alkohol menusuk hidung Sumini.

Kemarin mereka berdua menang arisan berondong, dan hari ini mereka akan pergi bersenang senang di Villa pribadi kenalan mereka, melupakan segala kejenuhan dirumah. Mobil mereka berjalan membelah keramaian.

Sumini tak tahu sepasang mata menatap mereka dengan penuh kebencian. Sumpah serapah keluar dari mulutnya. Tangannya berdarah…

“Sudahlah sayang….biarkan saja istrimu begitu, yang penting kamu memberinya duit, beres! kita juga aman bersenang-senang”. Bibirnya mengecup mesra lelaki itu.

“Hhhhh……” Lelaki itu menghembuskan nafas berat, dadanya sesak teringat anaknya dirumah. Jauh dalam lubuk hatinya,dia merasa berdosa.

“Maafkan bapak dan ibumu nak” guman lelaki itu lirih...

Note:

*kowe (bahasa jawa) : kamu

* rokok tengwe (ngelinting dhewe) : rokok yang dibuat dengan cara memelinting sendiri.

* piye to iki (bahasa jawa) : gimana sih

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun