Prihatin tumbuh menjadi seorang gadis cantik,tangguh dan mandiri. Dulu dia menolak ajakan Pak Ustad untuk tinggal dirumahnya. Dengan alasan dia menunggu ibunya pulang. Sebagai gantinya Pak Ustad mengajak Prihatin membantunya bekerja dirumah makannya setelah pulang sekolah.
Ditempa kehidupan yang keras, Prihatin bekerja dengan ulet selain otaknyapun cemerlang. Ada saja ide yang dicetusnya, sehingga rumah makan Pak Ustad bertambah ramai. Semua orang senang. Disisi lain Prihatin memiliki keinginan.
Dia ingin mandiri, selama ini dia giat menabung supaya bisa membangun warung miliknya sendiri. Pak Ustad tahu,keinginan dia, dengan berat hati ia melepas Prihatin.
Kini, Prihatin memiliki warung sendiri, namanya “Warung Simbok” sebagai wujud cintanya kepada sang nenek. Bangunannya sederhana tapi memiliki design dan taman yang unik, hingga banyak orang tertarik untuk datang.
Semakin hari pelanggannya bertambah banyak, karena makanan disana enak berikut pelayanan bak restorant bintang lima. Prihatin pintar mengolah rasa masakan, apalagi dia suka membaca. Makanan sederhanapun ditangannya bisa jadi amat menarik. Hari-harinya semakin sibuk.Prihatin keteteran dan belakangan Bu Wakidi dan anaknya ikut membantu Prihatin.
Tiap hari Jum’at Warungnya tutup, sebab dia menyediakan makanan gratis buat kaum lansia,anak-anak jalanan dan yatim piatu. Ternyata pengalaman pahit dulu teramat membekas di hatinya.
*“Tak lelo lelo lelo ledung,Cep meneng ojo pijer nangis,Anakku sing ayu rupane,Yen nangis ndak ilang ayune.Tak gadang biso urip mulyo,Dadiyo wanito utomo,Ngluhurake asmane wong tuwo,Dadiyo pandekare bongso” nyanyian itu menghentak ingatan Prihatin yang sedang asyik memasak. Lantaran penasaran dicarinya suara merdu itu.
“Ciluk ba..kekok, hihihi prihatin sudah bangun ya nduk? Ayo sini ibu gendong” perempuan setengah baya itu mengambil boneka bayi,lalu dia menciumnya dengan sayang.
Seperti ada ikatan bathin, Ia mendekati perempuan itu. Sayang dia acuh tak acuh dengan kehadiran Prihatin karena sibuk bermain dengan bonekanya. Kadang ia tertawa, lalu menangis. Tiba-tiba perempuan itu memegang tubuh Prihatin kuat-kuat. Ia berteriak teriak.
“Simbok….aku pulang, mana Prihatin mbok” hue hue hue…ia menangis keras-keras. Prihatin masih tegang. Dia hanya diam membisu. Orang orang yang sedang makan diwarung membantunya melepaskan diri dari cengkraman perempuan itu.
*“Oalah Surti..kok jadi ngene kamu nduk,”