Mohon tunggu...
Abdul Fickar Hadjar
Abdul Fickar Hadjar Mohon Tunggu... Dosen - Konsultan, Dosen, pengamat hukum & public speaker

Penggemar sastra & filsafat. Pengamat hukum

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Masih Perlukah Advokat Dilindungi?

7 Maret 2018   11:12 Diperbarui: 7 Maret 2018   11:25 965
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Pengantar

Profesi Advokat sesungguhnya sama dengan profesi-profesi lainnya, seperti Hakim, Dokter dan sebagainya. Hanya saja kita sudah tersugesti dengan sebutan advokat sebagai penyandang predikat profesi terhormat (officium nobile). Benarkah demikian dalam kenyataannya ? Proposal panitya dengan mengutif pertimbangan putusan Mahkamah Konstitusi No.26/PUU-XI/2013 terhadap judicial review pasal 16 UU Advokat, memaparkan beberapa ketentuan pidana yang potensial bisa menjerat advokat dalam melaksanakan kewajibannya antara lain pasal penghinaan (Psl 310, 311, 315 KUHP), perbuatan tidak menyenangkan (Psl 335 KUHP), memasuki halaman orang lain tanpa izin (Psl 167 KUHP) dan tentang batas pekarangan (Psl 389 KUHP) ataupun gugatan PMH (Psl 1365 KUHPerdata) dan yang terakhir Pasal 21 UU Tipikor menghalang-halangi penyidikan perkara korupsi.

Meski kita sebut sebagai profesi terhormat, dalam realitas pergaulan masyarakat ada ambivalensi anggapan terhadap profesi advokat, di satu sisi advokat dianggap sebagai orang yang suka mempermainkan hukum, di sisi lain dibutuhkan sebagai pembela atau penolong bagi mereka yang berurusan dengan persoalan hukum. Seperti juga dengan profesi lainnya, tentu saja ada advokat yang baik dalam menjalankan tugasnya, da nada yang kurang baik bahkan yang buruk, umumnya sering didikhotomikan sebagai advokat hitam dan putih. Yang menarik dan memerlukan perhatian dari profesi advokat ini adalah peranannya sebagai spesialis dalam hubungan antar para pihak, mewakili pihak-pihak ditengah konflik atau di tengah proses kerjasama antar warga masyarakat atau antara masyarakat dengan Negara. Dalam dunia modern, advokat professional disuatu bidang tertentu menjadi kebutuhan, baik litigasi maupun nonlitigasi.

Sebelum lahirnya UU No. 18 tahun 2003 tentang Advokat, meski sudah hadir dan berperan dalam dunia penegakan hukum sejak tahun 1923[3] sebelum kemerdekaan profesi advokat sepertinya hanya menjadi subordinasi dari fungsi-fungsi penegakan hukum lain.[4] Suasana lain terjadi pasca Advokat juga dicanangkan sebagai "penegak hukum", pekerjaan pendampingan dan pembelaan selain menjadi lancer, bahkan sering juga terjadi "kerjasam-kerjasama haram" antar advokat dengan penegak hukum lainnya.

UU Advokat telah meletakan profesi advokat sejatinya dapat mengatur dirinya sendiri (self governance). Undang-undang ini memberikan kekusaan penuh kepada organisasi profesi, mulai dari pendidikan khusus profesi, pemagangan sampai dengan pengangkatan sebagai advokat sepenuhnya menjadi kekuasaan organisasi profesi. Sejumlah hak, kewajiban dan perlindungan profesi diatur didalamnya, antara lain:

Pasal 14 :

Advokat bebas mengeluarkan pendapat atau pernyataan dalam membela perkara yang menjadi tanggung jawabnya di dalam sidang pengadilan dengan tetap berpegang pada kode etik profesi dan peraturan perundang-undangan.

Pasal 15

Advokat bebas dalam menjalankan tugas profesinya untuk membela perkara yang menjadi tanggung jawabnya dengan tetap berpegang pada kode etik profesi dan peraturan perundang-undangan.

Pasal 16

Advokat tidak dapat dituntut baik secara perdata maupun pidana dalam menjalankan tugas profesinya dengan iktikad baik untuk kepentingan pembelaan Klien dalam sidang pengadilan.

Putusan MK Tentang Hak Imunitas Advokat

Mahkamah Konstitusi (MK) mengabulkan permohonan perkara 26/PUU-XI/2013, pengujian Pasal 16 Undang-Undang (UU) Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat yang terkenal sebagai hak imunitas advokat yang diajukan oleh sejumlah advokat.

Pasal 1 angka 1 UU Advokat menyatakan, "Advokat adalah orang yang berprofesi memberi jasa hukum, baik di dalam maupun di luar pengadilan yang memenuhi persyaratan berdasarkan ketentuan Undang-Undang ini ". Menurut Mahkamah Konstitusi (MK), pengertian jasa hukum adalah jasa yang diberikan advokat berupa memberikan konsultasi hukum, bantuan hukum, menjalankan kuasa, mewakili, mendampingi, membela, dan melakukan tindakan hukum lain untuk kepentingan hukum klien. Berdasarkan ketentuan tersebut, peran advokat berupa pemberian konsultasi hukum, bantuan hukum, menjalankan kuasa, mewakili, mendampingi, membela, dan melakukan tindakan hukum lain untuk kepentingan hukum klien dapat dilakukan baik di dalam maupun di luar pengadilan.

Peran advokat di luar pengadilan tersebut telah memberikan sumbangan berarti bagi pemberdayaan masyarakat serta pembaruan hukum nasional, termasuk juga dalam penyelesaian sengketa di luar pengadilan. Para Pemohon juga mendalilkan Pasal 16 UU tersebut hanya memberikan perlindungan kepada advokat untuk tidak dapat dituntut secara perdata maupun pidana dalam menjalankan tugas profesinya dengan iktikad baik untuk kepentingan klien di dalam persidangan padahal pemberian jasa hukum oleh advokat juga dilaksanakan di luar pengadilan. Terhadap dalil tersebut, MK dalam Putusan Nomor 006/PUU-II/2004, tanggal 13 Desember 2004, mempertimbangkan, "UU Nomor 18/2003 Tentang Advokat adalah Undang-Undang yang mengatur syarat-syarat, hak dan kewajiban menjadi anggota organisasi profesi advokat, yang memuat juga pengawasan terhadap pelaksanaan profesi advokat dalam memberikan jasa hukum, baik di dalam maupun di luar pengadilan. Oleh karena itu, tujuan Undang-Undang advokat, di samping melindungi advokat sebagai organisasi profesi, yang paling utama adalah melindungi masyarakat dari jasa advokat yang tidak memenuhi syarat-syarat yang sah atau dari kemungkinan penyalahgunaan jasa profesi advokat".

Berdasarkan hal tersebut menurut MK, antara UU Advokat dengan UU Nomor 16 Tahun 2011 tentang Bantuan Hukum, yang dijadikan salah satu argumentasi pemohon, terdapat perbedaan mengenai perlindungan advokat dan Pemberi Bantuan Hukum dalam menjalankan profesinya. Perbedaan dimaksud telah menimbulkan perlakuan yang berbeda antara advokat dan Pemberi Bantuan Hukum yang bermuara pada timbulnya ketidakpastian hukum yang adil diantara kedua profesi tersebut.

MK melihat keadaan demikian bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 yang menyatakan, "Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum". Keadaan tersebut juga bertentangan dengan prinsip negara hukum sebagaimana diamanatkan oleh Pasal 1 ayat (3) UUD 1945. Dengan demikian menurut MK, untuk menghindari terjadinya ketidakpastian hukum, juga untuk mewujudkan keadilan bagi kedua profesi tersebut, MK perlu menegaskan bahwa ketentuan Pasal 16 UU Advokat harus dimaknai advokat tidak dapat dituntut baik secara perdata maupun pidana dalam menjalankan tugas profesinya dengan iktikad baik untuk kepentingan pembelaan klien di dalam maupun di luar sidang pengadilan.

Dengan pendapat tersebut maka MK menyatakan, Pasal 16 Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai, "Advokat tidak dapat dituntut baik secara perdata maupun pidana dalam menjalankan tugas profesinya dengan iktikad baik untuk kepentingan pembelaan klien di dalam maupun di luar sidang pengadilan".

Dengan Putusan MK aquo sudah begitu luasnya perlindungan terhadap Advokat dalam menjalankan profesinya, pertanyaannya sekarang, masih perlukah profesi Advokat dilindungi ?

Ancaman & pelanggaran hukum

Pertanyaan diatas bisa juga dirubah dalam bentuk: sejauhmana ancaman terhadap imunitas advokat ? jawabannya adalah sejauhmana praktek pembelaan terhadap klien dilaksanakan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Tindakan dalam rangka pembelaan klien sewajarnya dilakukan berdasarkan pelaksanaan UU Advokat, tindakan "menyerang" lawan perkara harus selalu terukur dan diarahkan pada argument dan alasan-alasannya, bukan pada orangnya. Jika serangan pembelaan ditujukan pada pribadi-pribadi orang, maka perbuatan tersebut bukan lagi merupakan bagian dari imunitas advokat, melainkan akan masuk ke ranah tindak pidana.

Penuntutan terhadap tindak pidana yang dilakukan seseorang dapat dilakukan jika memenuhi:

  • Ada tindak pidana yang dilakukan (actus reus) oleh pelaku, tentu saja perbuatan ini adalah perbuatan yang dilarang baik oleh UU (sifat melawan hukum formal) maupun dilarang oleh kesusilaan dan norma-norma yang hidup dalam masyarakat (sifat melawan hukum material);
  • Ada unsur kesalahan, mens rea, sikap bathin yang akan mencerminkan sikap berupa kesengajaan (dolus) atau kealfaan (culva);
  • Pelaku mampu bertanggung jawab terhadap perbuatannya; dan
  • Tidak ada alasan penghapus pidana.

Apakah immunitas profesi, dapat menjadi alasan penghapus pidana ?

Kitab undang-undang hukum pidana mengatur apa saja yang dapat menghapus pidana, antara lain : pelaku cacat mental (pasal 44), pelaku belum dewasa atau anak-anak (pasal 45), adanya daya paksa (overmacht) dan keadaan darurat (Pasal 48), pembelaan terpaksa (pasal 49), melaksanakan perintah undang-undang (Pasal 50) dan melaksanakan perintah jabatan (Pasal 51). Selain itu dalam konteks penghinaan atau pencemaran nama baik (Psl 310) KUHP juga menempatkan "demi kepentingan umum" dan pembelaan diri sebagai alasan penghapus pidana.

Selain yang diatur di KUHP, beberapa hal di luar KUHP yang dapat menjadi penghapus pidana, yaitu:

  • Izin atau persetujuan dapat merupakan alasan penghapus pidana dalam hal ini sebagai alasan pembenar, jika perbuatan yang dilakukan mendapat persetujuan dari orang yang akan dirugikan.
  • Izin atau persetujuan sebagai alasan pembenar didasarkan paling tidak ada empat syarat. Pertama, pemberi izin tidak memberikan persetujuan karena adanya suatu tipu muslihat. Kedua, pemebri izizn tidak berada dalam suatu kekhilafan.Ketiga, pemberi izin tidak dalam suatu tekanan. Keempat, substansi masalah yang diberikan izin tidak bertentangan dengan kesusilaan.[5]
    • Tidak ada sifat Melawan Hukum Materiil. Setiap perbuatan yang dikualifisir sebagai perbuatan pidana (dalam hukum pidana materiil berlaku asas legalitas Vide Psl 1 KUHP) dapat dipastikan bertentangan hukum yang tertulis (sifat melawan hukum formil),akan tetapi belum tentu bertentangan dengan hukum yang tidak tertulis, hukum yang hidup dalam masyarakat, asas kepatutan, nilai nilai keadilan dan kehidupan dalam masyarakat. Dalam konteks ini seringkali masyarakat kecil dianggap sebagai pelaku pencurian kayu meskipun masyarakat mengambil kayu di hutan adatnya sendiri. Biasanya tanpa sepengetahuan masyarakat sebuah kawasan hutan dinyatakan sebagai hutan suaka dan sebagainya. Karena itu meskipun secara formal ada pelanggaran hukum ic UU tentang Perusakan hutan, namun secara material tidak ada sifat melawan hukum materiilnya. Artinya meskipun perbuatan itu memenuhi unsur delik, tetapi tidak bertentangan dengan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat, maka perbuatan tersebut TIDAK DAPAT DIPIDANA.
    • Hak Jabatan, pada awalnya alasan ini lebih tepat diberlakukan terhadap para peneliti yang menggunakan binatang sebagai "objek percobaannya", padahal KHUP kita melarang melakukan pembunuhan terhadap binatang peliharaan. Artinya dengan alasan itu para peneliti karena jabatannya TIDAK DAPAT DIPIDANA. Hak Jabatan ini kemudian berkembang pada jabatan-jabatan atau profesi lain, termasuk advokat, jurnalis dan profesi lainnya, karena itu lahirlah hak immunitas profesi.

Ketentuan-ketentuan tersebut memberikan peluang yang besar bagi immunitas dan perlidungan profesi advokat. KUHPidana misalnya secara tegas menyatakan bahwa orang yang bertindak melaksanakan undang-undang tidak dipidana, ketentuan ini bisa menjadi dasar bagi para advokat sebagai perlindungan profesi advokat sepanjang pekerjaan profesi dilakukan berdasarkan undang-undang dalam hal ini UU No. 8 tahun 2003 tentang Advokat, dengan catatan dilakukan "dengan itikad baik". Demikian juga sebagai jabatan public, Advokat dilindungi dan tidak dapat dipidana karena jabatannya, karena profesinya, tentu saja sepanjang pekerjaan jabatannya dilakukan dengan itikad baik.

Melakukan upaya-upaya yang memfasilitasi klien untuk tidak memenuhi panggilan pemeriksaan baik sebagai saksi maupun sebagai Tersangka bukanlah merupakan pembelaan atau pelaksanaan pekerjaan advokat yang didasarkan pada itikad baik. Adalah menjadi pilihan setiap advokat untuk melaksanakan tugas dan kewajiban profesinya membela seorang klien dengan segala cara yang halal atau justru "menghalalkan" segala cara (machiavellis). Karena itu menjadi tidak mengherankan tindakan-tindakan advokat yang dimaksudkan sebagai pembelaan dapat dikualifisir sebagai tindak pidana yang menghalang-halangi penyidikan, penuntutan atau pemeriksaan di pengadilan, sekali lagi karena itikad baik. Wallahulamu bishawab.



[1] Makalah disampaikan dalam FGD Mengurai Permasalahan Perlindungan Advokat Sebagai Pembela HAM, LBH Jakarta, 2 Maret 2018.

[2] Staf pengajar Fakultas Hukum Universitas Trisakti, praktisi.

[3] Baca Daniel S Lev, Kata Pengantar dalam Buku Advokat Indonesia Mencari Legitimasi : Studi Tentang Tanggung Jawab Profesi Hukum Di Indonesia , ditulis oleh Binzai Kadafi dkk, The Asia Foundation-PSHK, Cetakan ke 3 2002.

[4] Bukan hal yang mudah untuk mendampingi klien di tingkat penyidikan, penuntutan atau di proses pengadilan, seringkali bahkan klien dibujuk untuk mencabut kuasa jika Advokat terlalu agresif membela kliennya.

[5] Jan Remelink dikutif dari Eddy OS Hiariej, Prinsip-Prinsip Hukum Pidana, hal 236, Cahaya Atma Pustaka, 2014

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun