[caption caption="Photo sendiri"][/caption]
DEPONERING & FASTABIQUL KHAYRAT
Abdul Fickar Hadjar
Pasca Jaksa Agung mendeponering perkara yang disangkakan kepada Abraham Samad (AS) dan Bambang Widjojanto (BW) ada beberapa media elektronik mengundang untuk mendiskusikan masalah ini. Tentu saja tidak semua permintaan dapat dipenuhi, tapi yang menarik buat saya, ada diskusi deponering yang mengaitkannya dengan hubungan antara KPK dengan Kepolisian (Cicak vs buaya) yang akan menimbulkan kegaduhan baru antara kepolisian dan kejaksaan (Buaya vs Buaya – kata host acara polemic onTv Latif Siregar). Karena itu menurut pendapat ini Jaksa Agung harus menjelaskan tafsir kepentingan umum yang sejelas-jelasnya agar kepolisian dapat menerimanya. Lebih jauh menurut pendapat ini harus diciptakan hubungan yang harmonis dan sinergis antara ketiga lembaga penegak hukum Kepolisian, Kejaksaan dan KPK. Dalam kontek sinergitas hubungan inilah saya melontarkan konteks “Fastabiqul Khaerot”.
Diskusi yang dipandu Latief Siregar, diikuti oleh Alfon Limahu (Praktisi hukum mantan Polisi), Supratman Andi Atgas (Komisi III DPR/Ketua Baleg), Abdullah Hehamahua (Mantan Penasehat KPK) dan saya didudukan sebagai pengacara BW & AS. Meski secara yuridis deponering itu ada dasar dan landasan hukumnya (Pasal 35 C UU No. 16 tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia), namun karena konsiderasi subtantifnya kepentingan umum dan pengertian kepentingan umum ini tidak secara terang dijelaskan dalam undang-undang, maka sangat mungkin penggunaan lembaga deponering ini bisa disalahgunakan. Dengan alasan itu pula beberapa pihak termasuk lembaganya pa Alfon, mengajukan berbagai “upaya hukum” diantaranya: praperadilan, gugatan PTUN, Laporan penyalahgunaan wewenang ke Polisi, dan gugatan PMH oleh penguasa, yang menurut saya tidak ada pintu masuknya segala upaya hukum keberatan untuk membatalkan keputusan deponering ini.
Dominus Litis
Dalam khasanah hukum acara pidana, kita mengenal institusi khusus yang mempunyai kewenangan untuk melakukan penuntutan pidana ke pengadilan, yaitu penuntut umum. Berdasarkan ketentuan pasal 1 butir 6 a dan b serta pasal 137 KUHAP (UU No. 8 Tahun 1981) penuntut umum adalah Jaksa. Jika institusi “penyidik” itu tidak hanya dimonopoli oleh kepolisian, karena dalam tindak pidana tertentu bisa juga ada penyidik pegawai negeri sipil (PPNS) atau penyidik KPK, maka sebelum lahirnya UU KPK penuntut umum hanya satu yaitu Jaksa, tetapi pasca lahirnya UU No. 30 Tahun 2002, pimpinan KPK juga berstatus sebagai penyidik sekaligus penuntut umum.
Sebagai institusi yang memiliki kewenangan menuntut juga disebut DOMINUS LITIS, Jaksa Agung sebagai penuntut tertinggi di kejaksaan mempunyai kewenangan mengenyampingkan perkara demi kepentingan umum. Dalam konteks kewenagan penuntutan ini dikenal dua asas yang saling berdampingan, yaitu asas legalitas dan asas oportunitas, kewajiban menuntut suatu tindak pidana disatu sisi juga sekaligus ketidak wajiban menuntut seseorang yang melakukan tindak pidana dengan pertimbangan akan merugikan kepentingan umum. Dengan kewenangan ini, maka Jaksa sebagai penuntut umum (terkecuali Jaksa KPK tidak bisa) mempunyai kewenangan untuk menghentikan perkara dengan dua kategori, yaitu demi kepentingan hukum dan demi kepentingan umum. Demi kepentingan hukum bisa didasarkan pada hal-hal antara lain tidak cukup bukti, peristiwa bukan merupakan pidana, atau lewat waktu (daluarsa) dan karenanya perkara tersebut ditutup demi hukum (Psl 140 KUHAP). Sedangkan menghentikan dengan mengenyampinkan perkara demi kepentingan umum ditafsirkan sebagai kepentingan bangsa dan Negara dan/atau kepentingan masyarakat luas.
Jika kita menelusuri sejarah penegakan hukum khususnya yang berkaitan dengan penerapan asas oportunitas ini, maka pada zaman Jaksa Agung Suprapto, Gunawan dan Sugiharto sering diterapkan transaksi terhadap tindak pidana ekonomi (penyeludupan) yaitu dikenal dengan istilah sickking. Dasar hukum dari pengesampingan ini adalah asas oportunitas meskipun asas ini belum secara tegas diatur dalam undang-undang. Sebagian dari denda dan penjualan barang sitaan diberikan kepada mereka yang menangkap pelaku kejahatan ekonomi itu (Andi Hamzah 2014 : 42). Di Belanda pengesampingan perkara karena kepentingan umum dengan kebijakan (policy) bisa berupa perkara ringan, usia terdakwa yang sudah tua, dan kerusakan telah diperbaiki, alasan yang terakhir ini nampaknya yang diterapkan beberapa Jaksa Agung pada masa lalu dalam penanganan perkara tindak pidana ekonomi.
Dalam konteks deponering BW dan AS, tafsir atas kepentingan umum oleh Jaksa Agung inlah yang dianggap tidak jelas oleh beberapa pihak. Secara resmi Jaksa Agung mengeluarkan keputusan deponering didasarkan pada alasan bahwa pemberantasan korupsi adalah kepentingan umum, dan dua mantan Pimpinan KPK (AS & BW) merupakan aktivis anti-korupsi yang memiliki jaringan luas dalam upaya pemberantasan korupsi yang merugikan keuangan Negara, sehingga perkara dua pegiat anti-korupsi harus segera diselesaikan agar tidak meluas dampaknya pada semangat pemberantasan korupsi dan turunnya kepercayaan masyarakat. Demikian juga dikhawatirkan hilangnya kepercayaan masyarakat luar untuk berinvestasi di Republik Indonesi.
Setiap orang mempunyai hak untuk mempertanyakan bahkan mempersoalkan setiap keputusan pejabat public, namun menurut saya (pasti subjektif) adalah hak Jaksa Agung juga sebagai representasi dari Negara ic kekuasaan penuntutan Negara berhak menafsirkan bahwa ada kepentingan umum yang akan terganggu jika perkara AS dan BW ini tidak dikesampingkan.
Deponering vs kriminalisasi
Preseden deponering terhadap komisioner KPK terjadi bukan tanpa alasan, realitas penuntutan perkara yang menimpa para komisioner didahului oleh aktivitas institusi KPK yang bersinggungan dengan institusi kepolisian. Penuntutan terhadap komisioner KPK Bibit Samad Ryanto dan Chandra Hamzah yang terkenal dengan kasus Cicak Vs Buaya misalnya, didahului dengan tersadapnya suara Jendral Susno Duaji (Kabareskrim pada waktu itu) dalam konteks penuntutan kasus Anggodo dan Anggoro. Demikian halnya rencana penangkapan dan penuntutan Novel Baswedan (Penyidik KPK) terjadi pasca penanganan kasus korupsi di Korlantas oleh KPK, dan yang terakhir penangkapan BW dan penetapan AS sebagai tewrsangka terjadi pasca KPK menetapkan Jendral BG sebagai tersangka.
Akal sehat kita pasti akan mengatakan bahwa mustahil penuntutan yang dilakukan tidak berkaitan dengan aktivitas yang dilakukan oleh institusi KPK. Artinya upaya yang disebut sebagai penegakan hukum, penegakan “teks” undang-undang terhadap AS dan BW tidak dapat dipisahkan dari “konteksnya”, inilah yang kemudian kami sebut sebagai kriminalisasi. Kriminalisasi tidak dalam artian dan maknanya yang biasa yaitu menjadikan suatu tindakan menjadi kejahatan dengan menjadikannya ilegal (melalui suatu undang-undang). Kriminalisasi yang didasarkan pada fenomena yang ditemui dalam berbagai pengalaman korban, kriminalisasi diartikan sebagai penegakan hukum yang bukan untuk tujuan penegakan hukum sehingga justu merupakan penyelewengan hukum. Untuk melihat apakah penegakan hukum itu merupakan proses penegakan hukum atau proses penyelewengan hukum (‘kriminalisasi’) dapat dilihat dari motif, proses dan akibatnya.
Dari kasus-kasus kriminalisasi didapatkan ciri-ciri yang umumnya terdapat didalam proses penyidikannya yaitu: 1). Waktu penentuan tersangka yang cepat dari waktu pelaporan (Dalam kasus BW umpamanya kecepatan itu terlihat jelas :12 Januari BG ditetapkan sebagai tersangka korupsi oleh KPK, 19 Januari Laporan Polisi, 20 Januari Surat Perintah Penyidikan, 22 Januari Surat Perintah Penangkapan, 23 Januari BW ditangkap). 2). Tersangka (orang) lebih dulu, pasal belakangan, 3) Pelanggaran hukum acara (a. Surat pemberitahuan dimulainya penyidikan, b Prosedur penangkapan, c. Prosedur penahanan), 4) Pelanggaran aturan internal kepolisian atau kejaksaan, dan 5) Perkara bolak-balik antara penyidik dengan penuntut.
Dalam kasus kasus kriminalisasi pada umumnya terdapat pelanggaran terhadap hukum acara dan/atau aturan internal seperti Peraturan Kapolri maupun Peraturan Jaksa Agung. Pasal 36 Perkap 14/2012 tentang Manajemen Penyidikan Tindak Pidana yang mengatur “tindakan penangkapan terhadap tersangka baru bisa dilakukan dengan pertimbangan adanya bukti permulaan yang cukup dan tersangka telah dipanggil 2 kali berturut-turut tidak hadir tanpa alasan yang patut dan wajar. Demikian juga jika mengacu pada KUHAP, upaya penangkapan dilakukan untuk kepentingan pemeriksaan, dan didahului dengan melakukan pemanggilan terhadap si tersangka. Namun dalam kasus BW, surat panggilan baru dikeluarkan justru setelah dilakukan penangkapan. Dengan demikian, patut diduga bahwa upaya penangkapan terhadap BW hanya semata-mata untuk menjatuhkan martabat, integritas dan kredibilitas BW sebagai wakil ketua KPK.
Tercatat tiga lembaga telah resmi mengeluarkan sikapnya terkait penanganan kasus BW. Lembaga tersebut masing-masing adalah Ombudsman Republik Indonesia, Komisi Nasional Hak Asasi Manusia, dan PERADI. Melalui Rekomendasi Nomor 003/REK/0105.2015/PD-21/II/2015 tanggal 18 Februari 2015 Ombudsman RI telah menyimpulkan adanya maladministrasi dalam proses penangkapan dan pemeriksaan BW oleh Bareskrim Polri dan merekomendasikan kepada Kapolri a) Memerintahkan kepada Kabareskrim dan jajarannya agar dalam proses penyelidikan dan penyidikan tindak pidana mematuhi dan melaksanakan peraturan perundang-undangan secara konsisten dan bertanggungjawab. b) Memberikan pembinaan, pelatihan dan pengawasan kepada penyidik maupun atasan penyidik untuk meningkatkan profesionalisme dan kompetensi, c) Melakukan pemeriksaan dan memberikan sanksi sehubungan dengan adanya maladministrasi yang dilakukan oleh dua orang perwira polri.
Demikian juga Komnas HAM telah mengeluarkan hasil penyelidikan yang menyatakan bahwa terdapat bukti permulaan yang cukup untuk menduga terjadinya pelanggaran hak asasi manusia dalam peristiwa penangkapan BW, penyalah gunaan kekuasaan, penggunaan kekuasaan yang eksesif, dan pelanggaran terhadap Due Process of Law, yang kesemuanya itu menyebabkan terjadinya pelanggaran hak asasi manusia dimana seluruh prosedur formil dan materiil yang digunakan tidak didasari itikad baik dalam rangka upaya penegakan hukum, yang kemudian Komnas HAM merekomendasikan agar kepolisian melakukan penyelidikan internal atas dugaan adanya abuse of power dalam penetapan tersangka BW yang diduga kuat terkait dengan proses hukum beberapa anggota kepolisian serta melakukan perbaikan peraturan internal di kepolisian untuk memastikan due process of law.
Dalam konteks perbuatan yang disangkakan kepada BW dalam menjalankan profesinyan sebagai advokat, ada dua dokumen dikeluarkan PERADI. yang secara garis besar menyatakan: pertama, Putusan Sidang Pleno Komisi Pengawas yang didasarkan atas pemeriksaan panel setelah memeriksa pelapor, saksi dan terlapor. Menyimpulkan “… tidak ditemukan fakta dan bukti adanya pelanggaran kode etik advokat yang dilakukan oleh Bambang Widjojanto…”( Pelapor adalah pihak yang sama sebagai pelapor BW pada Bareskrim). Kedua, melalui surat PERADI tanggal 15 Maret 2015 meminta peninjauan kembali status Tersangka Rekan Advokat Bambang Widjojanto dengan alasan bahwa setelah dilakukan pemeriksaan dan kajian atas kasus Bambang Widjonato adalah “…perbuatan yang dilakukan advokat Bambang Widjojanto adalah semata-mata mengimplementasikan keahlian ilmu hukum yang diperolehnya sesuai fakta yang benar dan bertanggungjawab …”.
Demikian halnya Presiden membentuk Tim 9 yang terdiri dari tokoh-tokoh masyarakat (meskipun tidak di SKkan) yang diketuai oleh Buya Ahmad Syafii Maarif dan Prof. Jimly Assidiqi, untuk memberikan rekomendasi dan usulan kepada Presiden dalam kasus kriminalisasi terhadap komisioner dan penyidik KPK. Namun demikian upaya-upaya yang dilakukan tidak membuat kepolisian bergeming dan terus melanjutkan penuntutan kasus terhadap AS, BW dan NB padahal Presiden sudah beberapa kali meminta untuk tidak melakukan kriminalisasi terhadap personil KPK dan tidak membuat kegaduhan. Sehingga pasca penyerahan ketiga berkas kepada kejaksaan menimbulkan respon dari masyarakat sipil (kalangan kampus akademisi dan mahasiswa, tokoh-tokoh agama serta masyarakat gerakan anti korupsi) meminta kepada Presiden untuk menghentikan dan tidak menyidangkan kasus kasus kriminalisasi ke pengadilan.
Sampai kemudian akhirnya, kasus NB dihentikan penuntutannya (SKP2) dengan alasan tidak cukup bukti dan kasus sudah daluarsa, kasus AS dan BW dikesampingkan penuntutannya (deponering) karena ada kepentingan umum dalam hal ini pemberantasan korupsi dikhawatirkan akan tergangu, harus ada kepastian hukum dalam kasus AS dan BW yang notabene sebagai bagian gerakan anti korupsi. Deponering sejalan dengan rekomendasi Ombudsman Republik Indonesia, dengan rekomendasi Komnas HAM, Usulan Tim 9 serta gerakan masyarakat sipil dan sejalan dengan Instruksi Presiden untuk menghentikan kriminalisasi. Preseden deponering terhadap kasus-kasus kriminalisasi seharusnya juga bisa ditangkap dan didudukan sebagai pesan korektif terhadap kinerja kepolisian khususnya kasus BW dan AS. Demikian juga deponering mestinya berpengaruh terhadap seluruh kasus-kasus yang bernuansa kriminalisasi untuk diikuti kemudian dengan penghentian perkaranya. Karna itu saya juga kerap mengatakan dalam berbagai kesempatan deponering terhadap AS dan BW merupakan bentuk kemenangan akal sehat.
Hubungan antar penegak hukum
Jika kita mengurutkan struktur berpikir dalam konteks diterbitkannya deponering AS dan BW, maka kita akan sampai pada urut-urutan berpikir bahwa deponering itu lahir sebagai respon dari kasus-kasus kriminalisasi terhadap komisioner dan penyidik KPK, kasus-kasus kriminalisasi ini lahir sebagai respon dari kasus-kasus yang ditangani KPK yang bersentuhan dengan kepolisian, karena itu kemudian Anggota Komisi III DPR menyimpulkan bahwa ada persoalan komunikasi diantara penegak hukum khusunya KPK dengan Kepolisian dan Kejaksaan, sehingga dibutuhkan sinergitas diantara ketiganya dalam melakukan fungsinya pemberantasan korupsi. Cicak versus Buaya atau Buaya Vs Buaya (begitu kata Bung Latif) dapat dihindarkan sedini mungkin.
Soal komunikasi dan sinergitas dalam penegakan hukum (khususnya korupsi) pada waktu-waktu lalu ada lembaga kerjasama diantara penegak hukum yang disebut MAHKEJAPOL (Mahkamah Agung, Kekjaksaan damn Kepolisian). Saya kemudian mengatakan pola hubungan kerjasama seperti ini tidak menguntungkan masyarakat, karena yang terjadi justru banyak kasus yang dikompromikan diantara petingginya saja dan ini melukai rasa keadilan dalam masyarakat. Karena itu yang harus dibangun adalah pola hubungan yang konstruktif, yaitu kerjasama yang saling mengingatkan dan dapat dirum,uskan dalam satu tagline “partner yang kritis”. Masing-masing fihak dapat merumuskan dan melaksanakan program dan kegiatan kerjanya dalam kerangka “fastabiqul khaerot” berlomba-lomba dalam melaksanakan kebaikan. Jika system politik tidak lagi berbiaya mahal, system ekonomi tidak berbiaya tinggi, dan jagad penegakan hukum khususnya pemberantasan korupsi sudah menjadi pasti dan adil, maka Indonesia akan muncul sebagai Negara yang makmur, bersih dan demokratis. Mungkinkah ? Wallahu alamu bishawab (Jatibening12032016).
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H