Mohon tunggu...
Abdul Fickar Hadjar
Abdul Fickar Hadjar Mohon Tunggu... Dosen - Konsultan, Dosen, pengamat hukum & public speaker

Penggemar sastra & filsafat. Pengamat hukum

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Deponering dan Fastabiqul Khayrat

13 Maret 2016   14:18 Diperbarui: 13 Maret 2016   14:42 88
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Preseden deponering terhadap komisioner KPK terjadi bukan tanpa alasan, realitas penuntutan perkara yang menimpa para komisioner didahului oleh aktivitas institusi KPK yang bersinggungan dengan institusi kepolisian. Penuntutan terhadap komisioner KPK Bibit Samad Ryanto dan Chandra Hamzah yang terkenal dengan kasus Cicak Vs Buaya misalnya, didahului dengan tersadapnya suara Jendral Susno Duaji (Kabareskrim pada waktu itu) dalam konteks penuntutan kasus Anggodo dan Anggoro. Demikian halnya rencana penangkapan dan penuntutan Novel Baswedan (Penyidik KPK) terjadi pasca penanganan kasus korupsi di Korlantas oleh KPK, dan yang terakhir penangkapan BW dan penetapan AS sebagai tewrsangka terjadi pasca KPK menetapkan Jendral BG sebagai tersangka.

Akal sehat kita pasti akan mengatakan bahwa mustahil penuntutan yang dilakukan tidak berkaitan dengan aktivitas yang dilakukan oleh institusi KPK. Artinya upaya yang disebut sebagai penegakan hukum, penegakan “teks” undang-undang terhadap AS dan BW tidak dapat dipisahkan dari “konteksnya”, inilah yang kemudian kami sebut sebagai kriminalisasi. Kriminalisasi tidak dalam artian dan maknanya yang biasa yaitu menjadikan suatu tindakan menjadi kejahatan dengan menjadikannya ilegal (melalui suatu undang-undang). Kriminalisasi yang didasarkan pada fenomena yang ditemui dalam berbagai pengalaman korban, kriminalisasi diartikan sebagai penegakan hukum yang bukan untuk tujuan penegakan hukum sehingga justu merupakan penyelewengan hukum. Untuk melihat apakah penegakan hukum itu merupakan proses penegakan hukum atau proses penyelewengan hukum (‘kriminalisasi’) dapat dilihat dari motif, proses dan akibatnya.

Dari kasus-kasus kriminalisasi didapatkan ciri-ciri yang umumnya terdapat didalam proses penyidikannya yaitu: 1). Waktu penentuan tersangka yang cepat dari waktu pelaporan (Dalam kasus BW umpamanya kecepatan itu terlihat jelas :12 Januari BG ditetapkan sebagai tersangka korupsi oleh KPK, 19 Januari Laporan Polisi, 20 Januari Surat Perintah Penyidikan, 22 Januari Surat Perintah Penangkapan, 23 Januari BW ditangkap). 2). Tersangka (orang) lebih dulu, pasal belakangan, 3) Pelanggaran hukum acara (a. Surat pemberitahuan dimulainya penyidikan, b Prosedur penangkapan, c. Prosedur penahanan), 4) Pelanggaran aturan internal kepolisian atau kejaksaan, dan 5) Perkara bolak-balik antara penyidik dengan penuntut.

Dalam kasus kasus kriminalisasi pada umumnya terdapat pelanggaran terhadap hukum acara dan/atau aturan internal seperti Peraturan Kapolri maupun Peraturan Jaksa Agung. Pasal 36 Perkap 14/2012 tentang Manajemen Penyidikan Tindak Pidana yang mengatur “tindakan penangkapan terhadap tersangka baru bisa dilakukan dengan pertimbangan adanya bukti permulaan yang cukup dan tersangka telah dipanggil 2 kali berturut-turut tidak hadir tanpa alasan yang patut dan wajar. Demikian juga jika mengacu pada KUHAP, upaya penangkapan dilakukan untuk kepentingan pemeriksaan, dan didahului dengan melakukan pemanggilan terhadap si tersangka. Namun dalam kasus BW, surat panggilan baru dikeluarkan justru setelah dilakukan penangkapan. Dengan demikian, patut diduga bahwa upaya penangkapan terhadap BW hanya semata-mata untuk menjatuhkan martabat, integritas dan kredibilitas BW sebagai wakil ketua KPK.

Tercatat tiga lembaga telah resmi mengeluarkan sikapnya terkait penanganan kasus BW. Lembaga tersebut masing-masing adalah Ombudsman Republik Indonesia, Komisi Nasional Hak Asasi Manusia, dan PERADI. Melalui Rekomendasi Nomor 003/REK/0105.2015/PD-21/II/2015 tanggal 18 Februari 2015 Ombudsman RI telah menyimpulkan adanya maladministrasi dalam proses penangkapan dan pemeriksaan BW oleh Bareskrim Polri dan merekomendasikan kepada Kapolri a) Memerintahkan kepada Kabareskrim dan jajarannya agar dalam proses penyelidikan dan penyidikan tindak pidana mematuhi dan melaksanakan peraturan perundang-undangan secara konsisten dan bertanggungjawab. b) Memberikan pembinaan, pelatihan dan pengawasan kepada penyidik maupun atasan penyidik untuk meningkatkan profesionalisme dan kompetensi, c) Melakukan pemeriksaan dan memberikan sanksi sehubungan dengan adanya maladministrasi yang dilakukan oleh dua orang perwira polri.


Demikian juga Komnas HAM telah mengeluarkan hasil penyelidikan yang menyatakan bahwa terdapat bukti permulaan yang cukup untuk menduga terjadinya pelanggaran hak asasi manusia dalam peristiwa penangkapan BW, penyalah gunaan kekuasaan, penggunaan kekuasaan yang eksesif, dan pelanggaran terhadap Due Process of Law, yang kesemuanya itu menyebabkan terjadinya pelanggaran hak asasi manusia dimana seluruh prosedur formil dan materiil yang digunakan tidak didasari itikad baik dalam rangka upaya penegakan hukum, yang kemudian Komnas HAM merekomendasikan agar kepolisian melakukan penyelidikan internal atas dugaan adanya abuse of power dalam penetapan tersangka BW yang diduga kuat terkait dengan proses hukum beberapa anggota kepolisian serta melakukan perbaikan peraturan internal di kepolisian untuk memastikan due process of law.

Dalam konteks perbuatan yang disangkakan kepada BW dalam menjalankan profesinyan sebagai advokat, ada dua dokumen dikeluarkan PERADI. yang secara garis besar menyatakan: pertama, Putusan Sidang Pleno Komisi Pengawas yang didasarkan atas pemeriksaan panel setelah memeriksa pelapor, saksi dan terlapor. Menyimpulkan “… tidak ditemukan fakta dan bukti adanya pelanggaran kode etik advokat yang dilakukan oleh Bambang Widjojanto…”( Pelapor adalah pihak yang sama sebagai pelapor BW pada Bareskrim). Kedua, melalui surat PERADI tanggal 15 Maret 2015 meminta peninjauan kembali status Tersangka Rekan Advokat Bambang Widjojanto dengan alasan bahwa setelah dilakukan pemeriksaan dan kajian atas kasus Bambang Widjonato adalah “…perbuatan yang dilakukan advokat Bambang Widjojanto adalah semata-mata mengimplementasikan keahlian ilmu hukum yang diperolehnya sesuai fakta yang benar dan bertanggungjawab …”.

Demikian halnya Presiden membentuk Tim 9 yang terdiri dari tokoh-tokoh masyarakat (meskipun tidak di SKkan) yang diketuai oleh Buya Ahmad Syafii Maarif dan Prof. Jimly Assidiqi, untuk memberikan rekomendasi dan usulan kepada Presiden dalam kasus kriminalisasi terhadap komisioner dan penyidik KPK. Namun demikian upaya-upaya yang dilakukan tidak membuat kepolisian bergeming dan terus melanjutkan penuntutan kasus terhadap AS, BW dan NB padahal Presiden sudah beberapa kali meminta untuk tidak melakukan kriminalisasi terhadap personil KPK dan tidak membuat kegaduhan. Sehingga pasca penyerahan ketiga berkas kepada kejaksaan menimbulkan respon dari masyarakat sipil (kalangan kampus akademisi dan mahasiswa, tokoh-tokoh agama serta masyarakat gerakan anti korupsi) meminta kepada Presiden untuk menghentikan dan tidak menyidangkan kasus kasus kriminalisasi ke pengadilan.

Sampai kemudian akhirnya, kasus NB dihentikan penuntutannya (SKP2) dengan alasan tidak cukup bukti dan kasus sudah daluarsa, kasus AS dan BW dikesampingkan penuntutannya (deponering) karena ada kepentingan umum dalam hal ini pemberantasan korupsi dikhawatirkan akan tergangu, harus ada kepastian hukum dalam kasus AS dan BW yang notabene sebagai bagian gerakan anti korupsi. Deponering sejalan dengan rekomendasi Ombudsman Republik Indonesia, dengan rekomendasi Komnas HAM, Usulan Tim 9 serta gerakan masyarakat sipil dan sejalan dengan Instruksi Presiden untuk menghentikan kriminalisasi. Preseden deponering terhadap kasus-kasus kriminalisasi seharusnya juga bisa ditangkap dan didudukan sebagai pesan korektif terhadap kinerja kepolisian khususnya kasus BW dan AS. Demikian juga deponering mestinya berpengaruh terhadap seluruh kasus-kasus yang bernuansa kriminalisasi untuk diikuti kemudian dengan penghentian perkaranya. Karna itu saya juga kerap mengatakan dalam berbagai kesempatan deponering terhadap AS dan BW merupakan bentuk kemenangan akal sehat.

Hubungan antar penegak hukum

Jika kita mengurutkan struktur berpikir dalam konteks diterbitkannya deponering AS dan BW, maka kita akan sampai pada urut-urutan berpikir bahwa deponering itu lahir sebagai respon dari kasus-kasus kriminalisasi terhadap komisioner dan penyidik KPK, kasus-kasus kriminalisasi ini lahir sebagai respon dari kasus-kasus yang ditangani KPK yang bersentuhan dengan kepolisian, karena itu kemudian Anggota Komisi III DPR menyimpulkan bahwa ada persoalan komunikasi diantara penegak hukum khusunya KPK dengan Kepolisian dan Kejaksaan, sehingga dibutuhkan sinergitas diantara ketiganya dalam melakukan fungsinya pemberantasan korupsi. Cicak versus Buaya atau Buaya Vs Buaya (begitu kata Bung Latif) dapat dihindarkan sedini mungkin.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun