Mohon tunggu...
Abdul Fickar Hadjar
Abdul Fickar Hadjar Mohon Tunggu... Dosen - Konsultan, Dosen, pengamat hukum & public speaker

Penggemar sastra & filsafat. Pengamat hukum

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Revisi UU KPK : Dendam yang Terus Membara

14 Februari 2016   16:59 Diperbarui: 15 Februari 2016   13:09 387
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Tantangan pemberantasan korupsi ke depan semakin kompleks. Bukan hanya karena modus operandi korupsi yang semakin canggih dan tak mudah dideteksi, melainkan upaya-upaya melemahkan lembaga tersebut. Upaya-upaya tersebut di antaranya dengan mengurangi kewenangan KPK melalui revisi UU KPK.
Tentu saja isu pelemahan KPK melalui revisi UU senantiasa dibantah oleh para pemegang kekuasaan pembentuk UU alias DPR, bahkan sebaliknya mereka menyatakan revisi UU KPK ini adalah untuk memperkuat KPK, ini juga yang dikemukakan oleh Presiden yaitu revisi dimaksudkan untuk memperkuat KPK, benarkah demikian ?

Jika dilacak banyak realitas dan fenomen yang muncul yang dapat dikaitkan dengan keinginan kuat merevisi UU KPK, antara lain :
- Stigma bahwa KPK dilahirkan sebagai respon dari lemahnya / kurang optimalnya lembaga penegakan hukum penegakan korupsi (Polisi, Kejaksaan dan Pengadilan), sehingga dibuatlah KPK dan Pengadilan Khusus Tipikor;
- KPK diharapkan menjadi trigger mechanism bagi lembaga-lembaga penegak hukum lain (ic Kepolisia dan Kejaksaan) untuk menjadi kuat, kenyataannya KPK yang menjadi kuuat;
- Telah banyak politisi seperti Mentri, anggota DPR, Pimpinan Partai, serta penyelenggara Negara sperti Kepala daerah (gubernur, Bupati/Walikota) dan kalangan birokrasi yang menjadi sasaran atau korban KPK dalam melaksanakan tugasnya memberantas korupsi;
- Berulangnya kasus Cicak Vs Buaya, ketika oknum kepolisian tersentuh KPK;
- Pernyataan politisi yang menyatakan bahwa KPK lebih menakutkan dari terorisme;
- Pernyataan bahwa KPK seharusnya diawasi, karena Vatikan saja ada pengawasnya;
- Ada orang yang meninggal dalam status tersangka KPK;

Realitas-realitas inilah sedikit banyak telah menjadi motif bagi pihak-pihak yang bernafsu ingin merevisi UU KPK, meski selalu dengan alas an untuk menguatkan, tetapi seluruh rangkaian realitas itu menggambarkan konteks revisi adalah pelemahan KPK, bahkan pembubaran KPK.

III. Revisi UU KPK upaya melemahkah KPK melalui teks

Langkah DPR untuk mematikan KPK saat ini justru merupakan anti klimaks. "KPK itu dilahirkan selain sebagai anak kandung reformasi, KPK juga merupakan amanat dari konvensi PBB (Perserikatan Bangsa-Bangsa) tentang pemberantasan korupsi. Jadi, jika sekarang ada upaya-upaya untuk membatasi, melemahkan bahkan membubarkan KPK, maka selain akan menghianati reformasi juga Indonesia akan dituduh melanggar konvensi PBB.

Dari empat poin revisi yang diusulkan DPR RI jelas terungkap upaya pelemahan KPK. DPR hanya ingin mengelabui saja dengan mengatakan bahwa revisi UU KPK akan memperkuat keberadaan KPK, Keempat poin yang dimaksud Abdul adalah pembentukan dewan pengawas KPK, pemberian wewenang SP3, penyadapan yang dibatasi dan KPK tak berwewenang merekrut penyelidik dan penyidik sendiri.

Pertama, Dewan Pengawas yang akan diangkat Presiden dan diantaranya bertugas mengawasi kerja KPK dalam melaksanakan kewenangannya berdasarkan UU merupakan kesesatan berfikir. Karena keberadaan Dewan Pengawas selain bukan merupakan bagian dari “unsur penegak hukum” yang diberi wewenang yudisial, keberadaannya juga berpotensi mengintervensi kerja-kerja KPK. Padahal, mekanisme hukum untuk mengawasi dan mengontrol kerja-kerja KPK sudah tersedia. Disamping itu sebagai sebuah lembaga Negara DPR kerapkali mengawasi aktivitas KPK dengan cara memanggil untuk didengar juga keterangan dan laporan kinerjanya.

Secara yuridis, ada mekanisme hukum untuk kontrol dan awasi KPK, misalnya melalui praperadilan, melalui judicial review MK sebagaimana dikemukakan diatas, bahkan jika komisioner KPK melakukan tindak pidana penyalahgunaan wewenang, bisa diproses secara pidana. Karena itu, juka Dewan Pengawas dipaksakan kehaduirannya, dapat dipastikan ditujukan untuk melemahkan KPK.

Kedua, pemberian wewenang SP3 kepada KPK terlalu berlebihan, tidak diperlukan bahkan berpotensi penyalahgunaannya oleh komisioner KPK baik karena kepentingannya sendiri maupun akibat intervensi oleh kekuasaan lain (Politik & Uang), karena itu pemberian wewenang SP3 kepada KPK dapat melemahkan KPK sendiri.

Pasal 44 UU KPK menyatakan, jika dalam tingkat penyelidikan telah didapat 2 (dua) alat bukti yang cukup, penyelidik dapat menyerahkannya kepada Komisioner. Karena itu kemudian KPK dapat langsung menetapkan tersangka bersamaan dengan menaikannya ke tingkat penyidikan. Sebaliknya, jika dalam tahap penyelidikan tidak ditemukan bukti, maka penyelidikan dihentikan. Pada tahap penyelidikan inilah KPK menerapkan “SP3” (penghentian pnyeldikan) untuk tidak meneruskan ketingkat penyidikan.

Jadi perkara-perkara yang sampai ke tingkat penyidikan bahkan ke Pengadilan Tipikor adalah perkara-perkara yang telah cukup alat buktinya. Jika KPK diberikan kewenangsn SP3 dapat pasti akan banyak pihak mengintervensi dan menekan komisioner KPK untuk meng-SP3-kan kasus-kasus yang ditangani. SP3 membuat KPK mudah diintervensi dan berpotensi besar disalahgunakan oleh komisioner KPK.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun