Mohon tunggu...
Fia Ailza R.
Fia Ailza R. Mohon Tunggu... Pelajar dan Guru Les -

Memiliki nama pena Fia Ailza R. Berusia 12 tahun. Lahir di Kota Malang, 10 Agustus 2003.

Selanjutnya

Tutup

Lyfe

[LOMBAPK] Langit

1 Juni 2016   22:16 Diperbarui: 1 Juni 2016   22:40 126
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

 Langit biasanya berwarna biru cerah dihiasi awan, atau hitam pekat dihiasi bintang. Namun, tidak dengan Langit yang satu ini. Dia kelam dan bagaikan ruang hampa tak berpenghuni. Hatinya kosong, dan, dia membutuhkan sebuah bintang untuk mengisi kekosongan itu. Bukan sebuah bintang yang bersinar redup di angkasa. Tapi, bintang yang berupa sebuah kebahagiaan. Kebahagiaan yang mungkin tak bisa didapatkannya lagi.    

 Dia seorang gadis pendiam. Namanya Langit, dan usianya 13 tahun.

-

-

-

Suara itu terdengar beberapa kali disertai bentakan dari kedua orang tuanya. Beberapa hari ini, mereka memang sering bertengkar. Gadis kecil itu meringkuk di pojok kamar sambil menutup kedua telinganya. Air mata pun sudah mulai membasahi pipinya. Matanya terpejam dan tubuhnya bergetar. Gadis kecil itu sangat ketakutan.

Beberapa hari kemudian, hal buruk yang tak diinginkan pun terjadi. Orang tuanya bercerai dan meninggalkan Gadis kecil itu pada Neneknya. Gadis kecil itu masih berusia 9 tahun, dan pada usia itu pula, dia kehilangan kasih sayang dari kedua orang tuanya. Tak lagi mendapat pelukan dan kecupan. Bukan hanya tak akan mendapatkannya lagi, tapi tidak akan pernah mendapatkannya lagi. Sekali pun itu hanya sebuah pelukan singkat.

-

-

-

Duduk termanggu di dekat jendela adalah hobinya. Kini usianya sudah 13 tahun, dan, hatinya kosong. Tak ada kebahagiaan, tak ada rasa marah, tak ada rasa sedih. Hanya, kekosongan yang mengharapkan sebuah cahaya kecil yang mungkin akan membuatnya kembali ceria dan bahagia. Tapi sayangnya, cahaya kecil itu tak akan pernah didapatkannya lagi.

"Langit!" Gadis itu menoleh ke asal suara. Wajahnya datar tanpa ekspresi.

"Apa?"

"Kamu di panggil Nenek. Disuruh makan."

"Aku turun lima menit lagi." Ucap Langit lalu kembali memandang keluar jendela.

"Hm. Baiklah." Lelaki itu pergi meninggalkan Langit dan turun ke bawah. Namanya Arlo, dan dia adalah saudara sepupu Langit, Arlo sangat senang mengganggu Langit. Bukan untuk membuatnya marah, hanya saja, dia ingin melihat senyum manisnya yang hilang sejak 4 tahun yang lalu.

Langit menatap tetangga seberang rumahnya. Dia seorang gadis berusia 10 tahun bernama Bintang. Dia terlihat sangat ceria dan. Sedang tertawa riang bersama kedua orang tuanya. Ayahnya memeluknya dan menggendongnya sambil tertawa riang. Sebuah boneka kelinci besar pun di peluknya erat. Mereka, terlihat sangat bahagia.

Langit menatap Bintang dan keluarganya dengan wajah datar namun menyembunyikan rasa sedih mendalam dalam raut wajahnya itu. Jika mengingat-ingat kejadian beberapa tahun silam, sakit rasanya, mengingat bahwa kenyataannya berbeda jauh dengan yang dulu. Tak ada pelukan sayang, kecupan di pipi, dan, sebuah omelan yang sungguh membuat rindu akan suasana harmonis yang dulu.

Langit mengehembuskan napas panjang. Menatap keluarga bahagia itu sejenak, lalu menutup tirai jendela dan turun menuju ruang makan. Nenek, Kakek, dan Arlo sudah berada di meja makan. Yah, sekarang, hanya mereka yang Langit miliki. Tak ada Ayah maupun Ibu. Karena mereka sekarang hanya sebatas kenangan pahit, dan jika mengingatnya malah akan membuat sakit yang lebih mendalam.

-

-

-

 "Aku mau keluar sebentar." Ucap Langit sambil beranjak dari tempat duduknya. Nenek dan Arlo hanya memandangnya pergi. Wajah khawatir jelas terpampang jelas di wajah mereka. Sikap langit yang dingin dan tak adanya senyum yang mengembang di wajahnya sudah cukup membuat Nenek dan Kakek terus menerus khawatir dengannya. Karena, Langit dulu adalah anak yang periang. Pelangi indah selalu menghiasi wajahnya. Tidak seperti sekarang.

***

Langit berjalan pelan menuju sebuah pohon rindang dekat sungai kecil yang berarus tenang. Pohon itu memang tempat favoritnya. Tenang, sejuk, dan, hening. Tak ada suara lain selain hembusan angin dan suara gemericik air yang menenangkan. Langit duduk tepat di bawah pohon rindang itu dan memejamkan mata. Menikmati hembusan semilir angin dan suara gemericik air.

"Hai!" Langit membuka matanya sedikit. Seorang bocah lelaki seusianya berdiri tepat di depannya. Setelah membuka mata sempurna, Langit hanya memandangnya beberapa saat, lalu kembali memejamkan mata. Tak peduli seperti biasanya.

"Namaku Kai, kamu?"

"Bisakah kau pergi dan tidak menggangguku?" ucap Langit dengan mata yang tetap terpejam.

"Kau hanya tinggal menyebutkan namamu."

"Langit. Namaku Langit."

"Nama yang bagus. Apa kedua orang tuamu yang memberikan nama itu?" Langit hening sejenak, lalu membuka matanya.

"Aku tak punya orang tua."

"Kenapa?"

"Apa kau memang suka mencampuri urusan orang lain?" ucap Langit datar.

"Aku hanya bertanya. Siapa tahu, aku dapat membantumu." Kai menyampingkan kepalanya.

"Mereka. Mereka meninggalkanku. Tidak. Bukan meninggalkanku, tapi, membuangku lbih tepatnya."

"Ouh." Kai sedikit menundukkan kepala. Seolah menyesal karena sudah bertanya.

"Bagiku, mereka seperti angin."

"Angin?"

"Ya, angin. Datang menyejukkan dan membuatku nyaman, lalu pergi menghilang dan hanya menyisakan sebuah kenangan. Kenangan pahit yang memilukan."

[Fia Ailza R. {22.14} 1 Juni 2016]


HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun