8. Terlalu melindungi anak. Naluri orang tua adalah melindungi anak, tetapi bukan berarti anak harus dilindungi dari semua kesulitan. Pola asuh seperti ini dapat membuat anak kurang bersyukur dan menghargai sesuatu. Anak perlu belajar menghadapi kehilangan atau masalah.
PEMBAHASAN
1.Pola Asuh Otoriter
Pola asuh otoriter adalah gaya pengasuhan di mana orang tua bersikap memaksa, mengatur dengan ketat, dan keras. Dalam pola ini, orang tua mengharuskan anak untuk mematuhi semua kehendak dan perintah mereka, dan jika tidak, anak akan menerima hukuman atau sanksi.
Pola asuh ini memiliki dampak negatif pada perkembangan psikologis anak. Anak cenderung kesulitan dalam mengendalikan diri dan emosi saat berinteraksi dengan orang lain, menjadi kurang kreatif, tidak percaya diri, dan tidak mandiri (Syamsudin, 2017).Pola pengasuhan semacam ini dapat membuat anak menjadi stres, depresi, dan trauma. Oleh karena itu, pola asuh otoriter tidak disarankan.
Ketidakmampuan mengungkapkan emosi dapat membuat anak merasa tertekan. Ada bukti bahwa pola asuh otoritatif, yang berbeda dari otoriter, berhubungan positif dengan perkembangan mental dan emosional anak prasekolah, dengan p value 0,003. Penelitian lain juga menunjukkan hubungan signifikan antara pola asuh orang tua dengan perkembangan anak usia prasekolah (Dwinita Viandari & Pande Ary Susilawati, 2019).
Ketika emosi tertahan, anak bisa merasa sangat tertekan dan terbebani, yang dapat memanifestasikan dirinya dalam keluhan fisik seperti sakit perut, sariawan, flu sebelum ujian, keinginan untuk buang air kecil karena ketakutan, atau gagap saat gugup.
Sikap orang tua yang terlalu memperhatikan atau terlalu membiarkan anak juga bisa menghambat anak dalam mengekspresikan emosi mereka. Hal ini terlihat dalam kuesioner pola asuh otoritatif, di mana anak cenderung dibiarkan ketika ingin menyendiri di kamar. Selain itu, dalam kuesioner perkembangan mental emosional, ada pertanyaan tentang perilaku anak yang menghindar dari teman atau anggota keluarga. Beberapa responden mengindikasikan bahwa anak tampak menghindar dari interaksi sosial, yang sebenarnya merupakan tanda gangguan emosional.
Terdapat 11 responden (29,7%) yang menerapkan pola asuh otoriter. Menurut Baumrind (dalam Sunarti, 2014), anak yang dibesarkan dengan pola asuh otoriter cenderung menjadi pengekor, tergantung pada orang lain dalam mengambil keputusan, dan tidak memiliki pendirian. Anak-anak ini biasanya kurang percaya diri, takut membuat kesalahan, dan sulit mempercayai orang lain.
Dari asumsi peneliti, pola asuh otoriter sering kali diterapkan oleh orang tua yang selalu menginginkan yang terbaik untuk anaknya. Ini terlihat dari pertanyaan dalam penelitian, di mana orang tua selalu mengharapkan anak mematuhi perintah mereka. Orang tua juga sering membuat aturan ketat yang harus dipatuhi tanpa mempertimbangkan perasaan anak. Mereka akan marah jika anak tidak memenuhi harapan, seperti saat anak disuruh menggambar dan hasilnya tidak sesuai keinginan, orang tua akan marah dan menyuruh anak mengulangi. Hukuman fisik dan mental juga sering diberikan untuk menjaga anak tetap patuh dan disiplin.
2.Pola Asuh Permisif