Mohon tunggu...
Fia afifaturrohmah
Fia afifaturrohmah Mohon Tunggu... Pelajar Sekolah - Saya mahasiswi IAIN PONOROGO saya sekarang semester 2 di jurusan PGMI

Memasak

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Pola Asuh dan Kesehatan Mental Anak

31 Mei 2024   11:08 Diperbarui: 31 Mei 2024   11:16 49
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

POLA ASUH DAN KESEHATAN MENTAL ANAK

PENDAHULUAN

Orang tua berfungsi sebagai panutan yang bisa dilihat dan ditiru oleh anak-anak dalam keluarga. Oleh karena itu, setiap pola asuh harus menciptakan rasa nyaman serta diperkuat dengan batasan norma yang mencegah perilaku menyimpang pada anak (Salimar, Hastuti, & Latifah, 2011). Ketika pola asuh tidak diterapkan dengan baik dan benar, sering kali muncul masalah dan konflik, baik di dalam diri anak maupun antara anak dengan orang tua, serta dengan lingkungannya.

Saat ini, meskipun orang tua secara dasar menginginkan yang terbaik bagi anak-anak mereka, tanpa disadari mereka juga sering melakukan kesalahan dalam pola asuh. Beberapa kesalahan tersebut antara lain:

1. Memberikan terlalu banyak pilihan. Memberikan terlalu banyak pilihan dapat membuat anak merasa kewalahan. 

2. Memanjakan anak secara berlebihan. Memenuhi setiap permintaan anak dapat membuat mereka sulit merasa puas dan cenderung memaksa.

3. Membuat anak terlalu sibuk. Anak yang terlalu sibuk tidak hanya berisiko kelelahan, tetapi juga bisa menjadi korban bullying.

4. Menganggap kepintaran sebagai yang paling penting. Membanggakan prestasi akademik anak secara berlebihan dapat membuat mereka menjadi sombong dan meremehkan orang lain, sehingga dijauhi oleh teman-temannya.

5. Menghindari topik sensitif seperti seks. Banyak orang tua yang takut membahas soal seks dan berpikir bahwa menghindari topik ini dapat melindungi anak dari perilaku seksual yang tidak pantas. Padahal, pendidikan seks sebaiknya dimulai sejak dini sesuai dengan tingkat pemahaman anak.

6. Terlalu sering mengkritik. Anak yang sering dikritik oleh orang tuanya akan tumbuh menjadi anak yang kurang percaya diri atau menuntut kesempurnaan dalam segala hal. Ketika melakukan kesalahan, mereka merasa tidak berguna dan marah.

7. Membiarkan anak terlalu banyak menonton TV atau bermain gadget. Batasi waktu penggunaan perangkat elektronik seperti televisi, ponsel, atau gadget lainnya. Sebaiknya anak tidak diperkenalkan dengan gadget sebelum usia dua tahun.

8. Terlalu melindungi anak. Naluri orang tua adalah melindungi anak, tetapi bukan berarti anak harus dilindungi dari semua kesulitan. Pola asuh seperti ini dapat membuat anak kurang bersyukur dan menghargai sesuatu. Anak perlu belajar menghadapi kehilangan atau masalah.

PEMBAHASAN

1.Pola Asuh Otoriter

Pola asuh otoriter adalah gaya pengasuhan di mana orang tua bersikap memaksa, mengatur dengan ketat, dan keras. Dalam pola ini, orang tua mengharuskan anak untuk mematuhi semua kehendak dan perintah mereka, dan jika tidak, anak akan menerima hukuman atau sanksi.

Pola asuh ini memiliki dampak negatif pada perkembangan psikologis anak. Anak cenderung kesulitan dalam mengendalikan diri dan emosi saat berinteraksi dengan orang lain, menjadi kurang kreatif, tidak percaya diri, dan tidak mandiri (Syamsudin, 2017).Pola pengasuhan semacam ini dapat membuat anak menjadi stres, depresi, dan trauma. Oleh karena itu, pola asuh otoriter tidak disarankan.

Ketidakmampuan mengungkapkan emosi dapat membuat anak merasa tertekan. Ada bukti bahwa pola asuh otoritatif, yang berbeda dari otoriter, berhubungan positif dengan perkembangan mental dan emosional anak prasekolah, dengan p value 0,003. Penelitian lain juga menunjukkan hubungan signifikan antara pola asuh orang tua dengan perkembangan anak usia prasekolah (Dwinita Viandari & Pande Ary Susilawati, 2019).

Ketika emosi tertahan, anak bisa merasa sangat tertekan dan terbebani, yang dapat memanifestasikan dirinya dalam keluhan fisik seperti sakit perut, sariawan, flu sebelum ujian, keinginan untuk buang air kecil karena ketakutan, atau gagap saat gugup.

Sikap orang tua yang terlalu memperhatikan atau terlalu membiarkan anak juga bisa menghambat anak dalam mengekspresikan emosi mereka. Hal ini terlihat dalam kuesioner pola asuh otoritatif, di mana anak cenderung dibiarkan ketika ingin menyendiri di kamar. Selain itu, dalam kuesioner perkembangan mental emosional, ada pertanyaan tentang perilaku anak yang menghindar dari teman atau anggota keluarga. Beberapa responden mengindikasikan bahwa anak tampak menghindar dari interaksi sosial, yang sebenarnya merupakan tanda gangguan emosional.

Terdapat 11 responden (29,7%) yang menerapkan pola asuh otoriter. Menurut Baumrind (dalam Sunarti, 2014), anak yang dibesarkan dengan pola asuh otoriter cenderung menjadi pengekor, tergantung pada orang lain dalam mengambil keputusan, dan tidak memiliki pendirian. Anak-anak ini biasanya kurang percaya diri, takut membuat kesalahan, dan sulit mempercayai orang lain.

Dari asumsi peneliti, pola asuh otoriter sering kali diterapkan oleh orang tua yang selalu menginginkan yang terbaik untuk anaknya. Ini terlihat dari pertanyaan dalam penelitian, di mana orang tua selalu mengharapkan anak mematuhi perintah mereka. Orang tua juga sering membuat aturan ketat yang harus dipatuhi tanpa mempertimbangkan perasaan anak. Mereka akan marah jika anak tidak memenuhi harapan, seperti saat anak disuruh menggambar dan hasilnya tidak sesuai keinginan, orang tua akan marah dan menyuruh anak mengulangi. Hukuman fisik dan mental juga sering diberikan untuk menjaga anak tetap patuh dan disiplin.

2.Pola Asuh Permisif

Pola asuh permisif adalah gaya pengasuhan di mana orang tua memberikan kebebasan penuh kepada anak untuk melakukan apa saja yang mereka inginkan. Dalam pola ini, orang tua kurang peduli terhadap perkembangan anak, sehingga sebagian besar pengasuhan anak diperoleh dari lembaga formal seperti sekolah.

Gaya pengasuhan ini dapat membuat anak menjadi egois karena orang tua cenderung memanjakan mereka dengan materi. Sikap egois tersebut dapat menghambat hubungan anak dengan orang lain (Astuti, 2011). Pola asuh permisif juga menghasilkan anak-anak yang kurang memiliki kompetensi sosial karena rendahnya kontrol diri.

Dalam penelitian, ditemukan bahwa ada 3 responden (8,1%) yang menerapkan pola asuh permisif. Pola asuh ini ditandai dengan penerimaan yang tinggi dari orang tua, namun kontrol terhadap anak sangat rendah. Orang tua membiarkan anak melakukan apa saja, menunjukkan kehangatan dan penerimaan tanpa syarat.

Kehangatan ini sering kali berujung pada sikap memanjakan. Penerimaan tanpa syarat juga berarti memberikan kebebasan penuh kepada anak untuk berbuat apa saja (Wulan et al., 2018). Peneliti berasumsi bahwa orang tua yang permisif cenderung mengizinkan anak melakukan apapun tanpa pengawasan dan kontrol yang memadai, serta menuruti semua keinginan anak. Akibatnya, anak cenderung suka memberontak, kurang percaya diri, prestasi akademik rendah, dan kurang bertanggung jawab. Anak-anak yang dibesarkan dengan pola asuh seperti ini sering kali tidak mampu bersaing di luar, terutama dalam meraih prestasi.

Selain itu, latar belakang pekerjaan dan pendidikan orang tua juga mempengaruhi cara pengasuhan mereka. Misalnya, orang tua yang bekerja sebagai petani atau pedagang mungkin tidak cukup memberikan perhatian kepada anak. Hal ini terlihat dari jawaban para responden, di mana orang tua cenderung memberikan apa pun yang diminta anak tanpa mempertimbangkan dampaknya.

3.Verval Abuse

Kekerasan verbal, atau yang sering disebut sebagai kekerasan emosional pada anak, adalah tindakan lisan atau perilaku yang menyebabkan dampak emosional negatif. Kata-kata yang menyakitkan biasanya merendahkan kemampuan anak, menganggap anak sebagai sumber masalah, mengecilkan arti diri anak, memberikan julukan negatif, dan memberikan kesan bahwa anak tidak diinginkan. Dampak jangka panjang dari kekerasan verbal ini dapat memengaruhi perasaan anak dan citra diri mereka (Lestari & Andrian, 2019).

Berbagai bentuk ucapan yang bertujuan untuk menyakiti anak akan berpengaruh pada mereka, baik dalam kehidupan saat ini maupun di masa depan. Kekerasan verbal terhadap anak dapat menyebabkan rasa sakit hati yang mendalam hingga membuat mereka percaya dengan apa yang sering diucapkan oleh orang tua. Misalnya, jika orang tua sering mengatakan anak bodoh atau jelek, anak akan mulai menganggap dirinya demikian. Dampaknya mungkin tidak langsung terlihat, tetapi akan berkembang seiring waktu.

Ucapan yang menghina dan merendahkan akan terekam dalam ingatan anak. Seiring waktu, hal ini akan memperberat beban emosional dan membuat anak memiliki citra diri yang negatif.Anak yang sering mengalami kekerasan verbal akan kehilangan rasa percaya diri. Hal ini bahkan dapat memicu kemarahan, keinginan untuk membalas dendam, dan mempengaruhi cara mereka bergaul (Syarif, 2018).

Kekerasan verbal terhadap anak bisa berdampak pada kondisi fisik dan psikologis mereka. Meskipun kekerasan verbal biasanya tidak meninggalkan bekas fisik, dampaknya bisa sangat merusak di masa depan. Kekerasan verbal yang dilakukan oleh orang tua dapat menimbulkan luka emosional yang lebih dalam dibandingkan kekerasan fisik (Susumaningrum, Juliningrum, & Rahmadiar, 2019). Berikut adalah dampak psikologis dari kekerasan verbal pada anak: anak menjadi tidak peka terhadap perasaan orang lain, gangguan dalam perkembangan, anak menjadi agresif, gangguan emosional, terganggunya hubungan sosial, perkembangan kepribadian sosiopat atau gangguan kepribadian antisosial, menciptakan lingkaran kekerasan dalam keluarga, dan risiko bunuh diri (Rahmawati & Latifah, 2019).

4. Pola Asuh Demokratis

Hasil penelitian menunjukkan bahwa dua responden mengalami penyimpangan mental emosional dalam pola asuh demokratis, yang ditandai dengan gejala sering menangis. Wawancara dengan orang tua mengungkapkan bahwa kondisi emosional anak yang sering menangis ini terjadi setelah kelahiran adik mereka. Teori menyatakan bahwa pola asuh demokratis biasanya menghasilkan anak-anak yang mandiri, dapat mengendalikan diri, memiliki hubungan baik dengan teman-temannya, mampu menghadapi stres, tertarik pada hal-hal baru, dan kooperatif dengan orang lain.

Namun, ada kemungkinan munculnya sifat-sifat tidak taat dan sulit menyesuaikan diri akibat rivalitas antar saudara. Hal ini menunjukkan keterbatasan pemahaman emosi anak yang sering kali membuat orang dewasa salah dalam merespons emosi anak. Kondisi ini bisa memunculkan masalah baru dalam aspek emosi. Oleh karena itu, diasumsikan bahwa penyimpangan mental dan emosional pada anak tersebut dipengaruhi oleh rivalitas antar saudara.

5.Pola Asuh Liberal

Pola asuh liberal adalah gaya pengasuhan di mana orang tua menerima sikap dan perilaku anak tanpa memberikan pengarahan atau perintah. Dalam pola asuh ini, anak kurang mendapatkan kasih sayang dari orang tua, serta kebutuhan fisik dan psikis anak tidak terpenuhi. Pola asuh liberal cenderung menghasilkan anak-anak yang impulsif, agresif, tidak patuh, manja, kurang mandiri, egois, kurang matang secara sosial, dan kurang percaya diri.

PENUTUP

Artikel ini menjelaskan konsep pola asuh dan kondisi mental anak serta menguraikan beberapa jenis pola asuh orang tua yang bisa berdampak negatif pada kesehatan mental anak. Namun, artikel ini belum memberikan penjelasan yang komprehensif tentang dampak buruk pola asuh terhadap mental anak, sehingga belum dapat dikategorikan sebagai meta-analisis atau tinjauan sistematis.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun