Mohon tunggu...
Fia afifaturrohmah
Fia afifaturrohmah Mohon Tunggu... Pelajar Sekolah - Saya mahasiswi IAIN PONOROGO saya sekarang semester 2 di jurusan PGMI

Memasak

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Pola Asuh dan Pengasuhan Orang Tua untuk Membentuk Kepribadian Anak

30 Mei 2024   23:27 Diperbarui: 30 Mei 2024   23:31 79
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

PENDAHULUAN

Menjadi orang tua merupakan kebahagiaan tersendiri bagi pasangan yang telah menikah. Menerima amanah dari Allah SWT berupa anak yang harus dididik dan dikembangkan dengan baik adalah tanggung jawab yang besar. Kepribadian anak dipengaruhi oleh banyak faktor. Menurut teori Psikoanalisa Sigmund Freud, perkembangan kepribadian anak sangat dipengaruhi oleh pengalaman yang mereka terima selama masa golden age, yaitu usia 0-6 tahun, serta kemampuan untuk melewati setiap fase perkembangan. Jika anak mendapatkan pendidikan dan pengasuhan yang baik, maka mereka cenderung memiliki kepribadian yang positif ketika dewasa nanti.

Keluarga, yang terdiri dari ayah, ibu, dan saudara, adalah lingkungan pertama yang ditemui anak. Dalam proses interaksi, anak akan mengadopsi perilaku dan nilai-nilai yang dilihat dan dipelajari dari keluarganya. Anak yang tumbuh dalam keluarga dengan intensitas emosional yang tinggi akan memiliki pengaruh besar terhadap kecerdasan emosionalnya di masa dewasa.

POLA ASUH ORANG TUA DAN METODE PENGASUHAN

Pengasuhan dan pendidikan yang baik dari keluarga sangat penting dalam membentuk kepribadian seorang anak.Keluarga dapat didefinisikan dalam dua cara: secara sempit, keluarga inti adalah unit sosial terkecil dalam masyarakat yang terbentuk melalui pernikahan, terdiri dari suami (ayah), istri (ibu), dan anak-anak. Sementara itu, keluarga dalam arti yang lebih luas bisa mencakup keluarga RT, keluarga di lingkungan komplek, atau keluarga di tingkat nasional (Munandar, 1985).

Setiap keluarga memiliki pola asuh yang berbeda dalam mendidik anak-anak mereka, yang sering kali diwariskan dari generasi sebelumnya. Pola asuh adalah cara interaksi antara orang tua dan anak yang mencakup pemenuhan kebutuhan fisik (seperti makan dan minum) serta kebutuhan psikologis (seperti rasa aman dan kasih sayang). Pola asuh juga melibatkan sosialisasi norma-norma masyarakat untuk membantu anak beradaptasi dengan lingkungannya (Latifah, 2011). Dengan demikian, pola asuh meliputi cara orang tua mendidik karakter anak mereka, apakah itu melalui pendekatan otoriter, demokratis, atau permisif.

Cara orang tua mengasuh anak mempengaruhi pembentukan kepribadian anak ketika mereka dewasa. Hal ini terjadi karena karakter dan sifat individu dewasa telah ditanam sejak masa kanak-kanak. Perlakuan orang tua terhadap anak-anak mereka dari kecil akan berdampak pada perkembangan sosial dan moral anak tersebut di masa dewasa. Perkembangan sosial dan moral ini membentuk karakter dan sikap anak, meskipun ada faktor lain yang turut berpengaruh.

Menurut Megawangi (2003), anak-anak akan tumbuh menjadi pribadi yang berkarakter apabila mereka tumbuh di lingkungan yang berkarakter. Karena lingkungan anak tidak hanya keluarga, tetapi juga sekolah, media massa, komunitas bisnis, dan sebagainya, maka semua pihak berperan dalam perkembangan karakter anak. Dengan kata lain, tanggung jawab untuk mengembangkan generasi penerus bangsa yang berkarakter baik adalah tanggung jawab semua pihak.

PEMBAHASAN

1. Model-model Pola Asuh Orang Tua

Metode pola asuh yang diterapkan orang tua memainkan peran utama dalam membentuk potensi dan karakter anak. Ada berbagai jenis pola asuh yang bisa dijadikan pedoman untuk membentuk generasi yang berkualitas dan dapat diandalkan untuk kemajuan bangsa di masa depan. Masing-masing jenis pola asuh memiliki karakteristik dan ciri khas tersendiri. Berkaitan dengan ini, Baumrind mengklasifikasikan pola asuh orang tua menjadi tiga kategori utama: pola asuh otoriter (authoritarian), pola asuh demokratis (authoritative), dan pola asuh permisif (permissive).

Klasifikasi pola asuh yang disampaikan oleh Baumrind ini hampir serupa dengan yang diutarakan oleh Hurlock serta Hardy & Heyes, yaitu: (a) pola asuh otoriter, (b) pola asuh demokratis, dan (c) pola asuh permisif. Pola asuh otoriter ditandai dengan orang tua yang membuat semua keputusan, di mana anak harus mematuhi tanpa bertanya. Pola asuh demokratis mendorong anak untuk mengungkapkan keinginan mereka. Sementara itu, pola asuh permisif memberikan kebebasan penuh kepada anak untuk bertindak sesuai keinginan mereka. Melalui pola asuh ini, anak belajar berbagai hal, termasuk pengembangan karakter. 

Dampak pola asuh otoriter (yang menuntut kepatuhan total anak terhadap keputusan orang tua) dan pola asuh permisif (yang memberikan kebebasan penuh kepada anak) sangat berbeda dengan dampak pola asuh demokratis (yang mendorong keterbukaan namun tetap bertanggung jawab dan mandiri) terhadap hasil pendidikan karakter anak. Dengan kata lain, jenis pola asuh yang diterapkan orang tua sangat menentukan keberhasilan pendidikan karakter anak dalam lingkungan keluarga.

a. Pola Asuh Otoriter

Pola asuh otoriter adalah metode mendidik anak yang menerapkan kepemimpinan yang kaku dan tegas. Orang tua dengan pola asuh ini menentukan semua kebijakan, langkah, dan tugas tanpa melibatkan anak dalam pengambilan keputusan. Sikap ini mencerminkan tindakan yang keras dan sering kali diskriminatif, di mana anak dituntut untuk mematuhi semua perintah dan keinginan orang tua. Pengawasan terhadap perilaku anak sangat ketat, anak kurang diberikan kepercayaan, sering dihukum, dan jarang mendapatkan pujian atau penghargaan atas prestasinya.

Menurut Baumrind, pola asuh otoriter ditandai dengan hubungan yang tidak hangat antara orang tua dan anak serta seringnya pemberian hukuman. Pola asuh ini menerapkan aturan yang ketat dan memaksa anak untuk berperilaku sesuai dengan keinginan orang tua, membatasi kebebasan anak untuk bertindak, dan jarang melibatkan anak dalam komunikasi, diskusi, atau pertukaran pikiran.

Orang tua yang otoriter cenderung merasa bahwa semua tindakan mereka sudah benar sehingga tidak membutuhkan masukan dari anak dalam pengambilan keputusan yang menyangkut anak. Pola asuh ini juga ditandai dengan hukuman yang keras dan aturan yang sangat ketat, yang sering kali tetap diberlakukan hingga anak mencapai usia dewasa. Menurut Abdul Aziz Al Qussy, yang dikutip oleh Chabib Thoha, tugas orang tua adalah membantu anak memenuhi kebutuhan hidupnya. Namun, pola asuh otoriter cenderung mengurangi kasih sayang, sentuhan, dan kedekatan emosional antara orang tua dan anak, menciptakan jarak antara "si otoriter" (orang tua) dan "si patuh" (anak).

Penelitian oleh Fagan menunjukkan bahwa faktor keluarga dan tingkat kenakalan anak saling berkaitan, di mana keluarga yang broken home, kurangnya kebersamaan dan interaksi, serta orang tua yang otoriter cenderung menghasilkan remaja yang bermasalah. Pola asuh ini berdampak pada kualitas karakter anak, dengan studi yang menunjukkan bahwa anak yang dibesarkan oleh orang tua otoriter cenderung kurang bertanggung jawab karena semua keputusan dibuat oleh orang tua. McCartney dan Taylor menemukan bahwa ada hubungan signifikan antara gaya pengasuhan dan depresi, di mana anak-anak dari orang tua otoriter mengalami lebih banyak tekanan dibandingkan dengan anak-anak yang diasuh oleh orang tua permisif.

b. pola asuh demokratis

Pola asuh demokratis ditandai dengan pengakuan orang tua terhadap kemampuan anak. Anak diberi kesempatan untuk tidak selalu bergantung pada orang tua dan diberikan sedikit kebebasan untuk memilih apa yang terbaik bagi dirinya. Pendapat anak didengarkan dan mereka dilibatkan dalam diskusi, terutama yang berkaitan dengan kehidupan mereka sendiri. Anak juga diberi kesempatan untuk mengembangkan kontrol internal sehingga mereka dapat belajar bertanggung jawab atas diri sendiri sedikit demi sedikit.

c. pola asuh permisif

Pola asuh permisif adalah metode di mana anak dibiarkan bertindak sesuai dengan keinginannya tanpa hukuman atau pengendalian dari orang tua. Pola asuh ini memberikan kebebasan tanpa batas kepada anak untuk berperilaku sesuai keinginannya, tanpa aturan atau arahan dari orang tua. Akibatnya, anak sering kali bertindak sesuai dengan keinginannya sendiri, meskipun kadang-kadang bertentangan dengan norma sosial.

2.Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Perkembangan Anak

a. Kesehatan dan kesejahteraan 

Kesehatan dan kesejahteraan adalah faktor penting yang harus dimiliki seorang anak untuk dapat berkembang dengan optimal. Perkembangan psikologis anak juga sangat dipengaruhi oleh pertumbuhan fisik dan kesehatan mereka. Kekurangan gizi pada masa bayi dapat mengakibatkan pertumbuhan yang terhambat dan perkembangan yang lambat. Kekurangan gizi yang parah dikenal sebagai marasmus dan kwashiorkor. Marasmus adalah kondisi kekurangan gizi parah yang disebabkan oleh asupan kalori yang sangat rendah, sehingga bayi tampak kecil, kurus, dan lebih tua dari usianya. Kwashiorkor adalah kekurangan gizi serius akibat kekurangan protein, yang menyebabkan perut dan kaki anak membengkak karena retensi air. Penyakit ini biasanya muncul pada anak usia 1 hingga 3 tahun. Marasmus dan kwashiorkor merupakan masalah serius di negara berkembang, dengan tingkat kematian anak di bawah usia 5 tahun mencapai 50% (UNICEF, 2003).

Kekurangan gizi pada anak, seperti kekurangan zat besi, vitamin, atau protein, dapat menurunkan daya tahan tubuh terhadap penyakit. Anak-anak yang mengalami kekurangan gizi pada usia 3 tahun cenderung menunjukkan perilaku lebih agresif dan hiperaktif pada usia 8 tahun, menghadapi lebih banyak masalah eksternal pada usia 11 tahun, dan menunjukkan perilaku motorik yang berlebihan pada usia 17 tahun (Liu dkk, 2003).

Ada banyak faktor yang dapat menghambat kesehatan dan kesejahteraan anak, seperti kemiskinan, layanan kesehatan yang tidak memadai, malnutrisi, serta penyalahgunaan narkoba dan alkohol. Tanggung jawab menjaga kesehatan dan kesejahteraan anak ada pada orang tua, guru, perawat, dan dokter. Orang tua diharapkan mampu menanamkan kebiasaan hidup sehat pada anak-anak mereka untuk memastikan kesehatan dan kecukupan gizi yang baik. Di sekolah, guru diharapkan dapat menerapkan strategi pola hidup sehat untuk mencegah penyakit di kalangan siswa. Sementara itu, dokter dan perawat memiliki peran untuk mengedukasi masyarakat mengenai cara-cara menjalani pola hidup sehat.

b. Keluarga dan Pengasuhan Anak

Setiap keluarga adalah sebuah sistem, yaitu kesatuan yang terdiri dari bagian-bagian yang saling berhubungan dan berinteraksi. Hubungan dalam keluarga tidak pernah bersifat satu arah. Dalam sebuah keluarga, interaksi antara anggota keluarga diharapkan berjalan dua arah. Menurut Santrock (2007: 157), interaksi dua arah dalam keluarga disebut dengan mutual synchrony, yang berarti bahwa perilaku setiap individu bergantung pada perilaku sebelumnya dari pasangannya. Hubungan timbal balik yang positif antara orang tua dan anak mempengaruhi cara anak berperilaku terhadap orang tuanya.

Keluarga terdiri dari beberapa subsistem yang mencakup generasi, gender, dan peran. Setiap anggota keluarga berpartisipasi dalam berbagai subsistem ini. Cox & Paley (2003) menyatakan bahwa subsistem-subsistem dalam keluarga saling mempengaruhi satu sama lain, baik secara langsung maupun tidak langsung. Dua anggota keluarga disebut sebagai dyadic, sedangkan lebih dari dua anggota disebut polyadic. Contohnya, ibu dan ayah membentuk subsistem dyadic, sedangkan ibu, ayah, dan anak membentuk sistem polyadic. Begitu juga dengan ibu dan dua anak yang membentuk sistem polyadic lainnya (Santrock, 2007: 158). Penelitian oleh Cummings dkk. (2002) menunjukkan bahwa meningkatkan kepuasan dalam pernikahan dapat menghasilkan pengasuhan yang lebih baik, di mana hubungan pernikahan, pengasuhan, dan perilaku anak saling mempengaruhi baik secara langsung maupun tidak langsung.Perkembangan kepribadian seorang anak sangat dipengaruhi oleh interaksi yang terjadi dalam keluarganya. Kehangatan, kasih sayang yang tulus, serta pola asuh yang baik dapat membentuk karakter anak hingga dewasa. Anak yang tumbuh dalam lingkungan keluarga yang penuh kasih sayang dan kenyamanan akan cenderung melihat keluarga sebagai tempat untuk berbagi perasaan dan masalah. Sebaliknya, anak yang tidak merasa nyaman di rumah mungkin mencari pelarian di luar, yang bisa membuat mereka bingung dengan identitas diri mereka.

Keluarga memainkan peran yang sangat penting dalam pembentukan kepribadian anak. Perhatian dan kasih sayang dari orang tua, serta pendidikan tentang nilai-nilai kehidupan, baik agama maupun budaya, adalah faktor penting yang membantu anak tumbuh menjadi pribadi yang sehat dan anggota masyarakat yang baik.

Alexander A. Schneiders (1960: 405) menjelaskan bahwa keluarga ideal memiliki ciri-ciri seperti: minimnya konflik antara orang tua atau antara orang tua dengan anak; adanya kesempatan untuk mengekspresikan keinginan; penuh kasih sayang; disiplin yang tidak keras; kesempatan bagi anak untuk mandiri dalam berpikir, merasa, dan berperilaku; adanya saling hormat dan penghargaan antara orang tua dan anak; stabilitas emosional orang tua; kecukupan ekonomi; serta pengamalan nilai moral dan agama. Keluarga yang tidak mampu menjalankan fungsi-fungsi ini disebut sebagai keluarga disfungsional. Menurut Dadang Hawari (1997: 165), anak yang tumbuh dalam keluarga disfungsional berisiko lebih tinggi mengalami masalah dalam perkembangan jiwa.

Erik Erikson mengemukakan delapan tahap perkembangan psikologis yang dialami individu sepanjang hidupnya, yang semuanya bergantung pada pengalaman dalam keluarga. Pada tahun pertama, seorang anak perlu mengembangkan kepercayaan dasar (basic trust). Di tahun kedua, mereka harus mengembangkan kemandirian, dan di tahun-tahun berikutnya mereka harus melalui tahap-tahap perkembangan lainnya yang dipengaruhi oleh interaksi dalam keluarga. Pembelajaran tentang inisiatif yang membantu individu menemukan identitas diri sangat penting. Lingkungan keluarga yang sehat dan kasih sayang penuh dari orang tua adalah faktor krusial yang mendukung perkembangan psikologis anak tersebut.

Kepribadian adalah serangkaian pola perilaku yang menetap dalam merespon berbagai rangsangan. Pembentukan kepribadian dipengaruhi oleh faktor genetik dan lingkungan. Dalam psikologi, faktor genetik dikenal sebagai teori nativisme, sementara faktor lingkungan disebut teori empirisme. Faktor lingkungan yang membentuk kepribadian anak meliputi perilaku yang diterima sejak masa kanak-kanak hingga dewasa. Pengaruh lingkungan sangat signifikan dalam membentuk kepribadian anak, termasuk di dalamnya pola asuh dan kebiasaan yang diterapkan oleh orang tua sejak dini. Terdapat beberapa jenis pola asuh yang dapat diterapkan kepada anak dan dampak perilaku yang ditimbulkannya, yaitu:

c.pendidikan

Pendidikan anak diperoleh dari lingkungan sekolah, yang merupakan lembaga formal yang menjalankan program bimbingan, pengajaran, dan latihan untuk membantu siswa mengembangkan potensinya, baik dari aspek moral-spiritual, intelektual, emosional, maupun sosial. Menurut Havighurst (1961:5), sekolah memiliki peran penting dalam membantu siswa mencapai tugas perkembangannya. Sekolah harus berusaha menciptakan suasana yang kondusif untuk memfasilitasi siswa dalam mencapai tugas perkembangannya. Upaya sekolah dalam mendukung perkembangan siswa akan efektif jika sekolah memiliki iklim atau atmosfer yang sehat, baik dari segi manajemen maupun profesionalitas personelnya. Michael Rutter (Sigelmen & Shaffer, 1995: 426) mendefinisikan sekolah yang efektif sebagai sekolah yang memajukan dan meningkatkan prestasi siswa. Kemampuan akademis, keterampilan sosial, sopan santun, sikap positif terhadap pembelajaran, rendahnya angka ketidakhadiran siswa, serta kemampuan untuk bekerja merupakan indikator sekolah yang efektif.

Sekolah yang efektif tidak hanya ditandai oleh ciri-ciri tersebut tetapi juga didukung oleh kualitas pengajarnya, baik dari segi karakter pribadi maupun kompetensinya. Karakteristik pribadi dan kompetensi guru sangat mempengaruhi kualitas iklim kelas, proses pembelajaran, serta hubungan antara guru dan siswa, yang pada akhirnya akan mempengaruhi keberhasilan belajar siswa.

Allan C. Ornstein (1990: 549) mengemukakan hasil penelitian yang menunjukkan bahwa karakteristik guru yang efektif atau sangat diharapkan dapat diklasifikasikan ke dalam empat kluster dimensi guru: kreatif, dinamis, terorganisir, dan memiliki kontrol diri. Guru yang kreatif menunjukkan perilaku imajinatif, suka bereksperimen, dan orisinal; perilaku dinamis ditandai dengan energi tinggi dan ekstroversi; terorganisir ditunjukkan dengan kesadaran akan tujuan, kemampuan memecahkan masalah, dan kontrol diri yang baik.

Pendidikan yang diberikan kepada anak didapat dari pendidikan formal dan pendidikan dari orang tua. Dalam memberikan pendidikan, terdapat beberapa faktor yang mempengaruhi keberhasilannya. Menurut Albert Schweitzer (dalam Yusuf S, 2012: 47), pendidikan efektif yang dapat diberikan kepada anak meliputi

1. Modeling: Orang tua menjadi contoh bagi anak mereka, baik dalam hal positif maupun negatif. Cara berpikir dan perilaku seorang anak dibentuk oleh cara berpikir dan perilaku orang tua. Melalui modeling, seorang anak belajar tentang sikap proaktif, respek, dan kasih sayang.

2. Mentoring: Orang tua berperan sebagai mentor pertama bagi anak dalam menjalin hubungan dan memberikan kasih sayang yang mendalam. Orang tua menjadi sumber utama bagi perkembangan perasaan anak, seperti rasa aman dan dicintai

Ada lima cara untuk menunjukkan kasih sayang kepada anak, yaitu: mendengarkan dan merasakan apa yang dialami anak; berbagi wawasan, pengetahuan, emosi, dan keyakinan dengan anak; memberikan penguatan, kepercayaan, apresiasi, dan dorongan; mendoakan anak dengan tulus; serta menyediakan waktu dan memenuhi kebutuhan anak.

Pendidikan ketiga yang perlu diberikan oleh orang tua kepada anak adalah teaching, di mana orang tua bertindak sebagai guru bagi anak-anak mereka tentang prinsip-prinsip dasar kehidupan. Orang tua berusaha mengajarkan prinsip-prinsip kehidupan sehingga anak-anak dapat memahami dan melaksanakannya. Peran orang tua sebagai guru adalah menciptakan "kesadaran kompetensi," yaitu membuat anak-anak mengetahui dan mengalami apa yang mereka lakukan serta memahami alasan di balik tindakan mereka.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun