Mohon tunggu...
Fhira Hidayat
Fhira Hidayat Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

Membaca

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Artikel 1: Bimbingan dan Konseling Sekolah

15 Juni 2024   07:50 Diperbarui: 15 Juni 2024   07:54 139
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pendidikan. Sumber ilustrasi: PEXELS/McElspeth

PENDAHULUAN

Pelayanan bimbingan dan konseling di sekolah merupakan usaha membantu peserta didik dalam pengembangan kehidupan pribadi, kehidupan sosial, kegiatan belajar, serta perencanaan dan pengembangan karir. Pelayanan bimbingan dan konseling memfasilitasi pengembangan peserta didik secara individual, kelompok, dan atau klasikal, sesuai dengan kebutuhan, potensi, bakat, minat, perkembangan, kondisi, serta peluang-peluang yang dimiliki. Pelayanan ini juga membantu mengatasi kelemahan dan hambatan serta masalah yang dihadapi peserta didik.

Dasar pemikiran penyelenggaraan bimbingan dan konseling di sekolah bukan semata-mata terletak pada ada atau tidak adanya landasan hukum (perundang-undangan) atau ketentuan dari atas, namun yang lebih penting adalah menyangkut upaya memfasilitasi peserta didik yang selanjutnya disebut konseli, agar mampu mengembangkan petensi dirinya atau mencapai tugas-tugas perkembangannya (menyangkut aspek fisik, emosi, intelektual, sosial dan moralspiritual).

Konseling sebagai seorang individu yang sedang berada dalam proses berkembang atau menjadi (on becoming), yaitu berkembang ke arah kematangan atau kemandirian. Untuk mencapai kematangan tersebut, konseli memerlukan bimbingan karena mereka masih kurang memiliki pemahaman atau wawasan tentang dirinya dan lingkungannya, juga pengalaman yang menentukan arah kehidupannya. Di samping itu, terdapat suatu keniscayaan bahwa proses perkembangan konseli tidak selalu berlangsung secara mulus, atau bebas dari masalah. Dengan kata lain, proses perkembangan itu tidak selalu berjalan dalam alur linier, lurus, atau searah dengan potensi, harapan, dan nilai-nilai yang dianut.

Permasalahan layanan bimbingan dan konseling di sekolah antara lain 1) Bagaimanakah peran bimbingan dan konseling di sekolah? dan 2) Bagaimana cara meningkatkan mutu layanan bimbingan dan konseling di sekolah?

Berdasarkan rumusan masalah yang sudah dikemukakan di atas, maka tujuan kajian ini yaitu mendapatkan data dan informasi tentang: 1) bagaimana peranan bimbingan dan konseling di sekolah; dan 2) bagaimana cara Tujuan penulisan ini yaitu mensosialisasikan penyuluhan bimbingan dan konseling sekolah.

Kajian Literatur

Pengertian Bimbingan dan Konseling Menurut Prayitno (2004), bimbingan dan konseling adalah pelayanan bantuan untuk peserta didik, baik secara perorangan maupun kelompok agar mandiri dan bisa berkembang secara optimal, dalam bimbingan pribadi, sosial, belajar maupun karier melalui berbagai jenis layanan dan kegiatan pendukung berdaarkan norma-norma yang berlaku.

Bimbingan dan konseling merupakan upaya proaktif dan sistematik dalam memfasilitasi individu mencapai tingkat perkembangan yang optimal, pengembangan perilaku yang efektif, pengembangan lingkungan, dan peningkatan fungsi atau manfaat individu dalam lingkungannya. Semua perubahan perilaku tersebut merupakan proses perkembangan individu, yakni proses interaksi antara individu dengan lingkungan melalui interaksi yang sehat dan produktif. Bimbingan dan konseling memegang tugas dan tanggung jawab yang penting untuk mengembangkan lingkungan, membangun interaksi dinamis antara individu dengan lingkungan, membelajarkan individu untuk mengembangkan, merubah dan memperbaiki perilaku.

Bimbingan dan konseling bukanlah kegiatan pembelajaran dalam konteks adegan mengajar yang layaknya dilakukan guru sebagai pembelajaran bidang studi, melainkan layanan ahli dalam konteks memandirikan peserta didik. (ABKIN, 2007).

Oleh karena itu, bimbingan dan konseling merupakan layanan ahli oleh konselor (guru bimbingan dan konseling). Konselor adalah salah satu kualifikasi pendidikan, yaitu tenaga kependidikan, yaitu tenaga kependidikan yang memiliki kekhususan pada bidang bimbingan dan konseling, yang berpartisipasi dalam menyelenggarakan pendidikan.

Fungsi, Prinsip dan Asas Bimbingan dan Konseling

Layanan bimbingan dan konseling di sekolah memiliki peran yang sangat penting. Oleh karena itu, sebelum kita membahas lebih jauh alangkah baiknya kita mengetahui fungsi, prinsip, dan asas bimbingan dan konseling.Fungsi Bimbingan dan Konseling

Uman Suherman yang dikutip oleh Sudrajat (2008) mengemukakan sepuluh fungsi bimbingan dan konseling, yaitu: 1) Fungsi Pemahaman, yaitu fungsi bimbingan dan konseling membantu konseli agar memiliki pemahaman terhadap dirinya (potensinya) dan lingkungannya (pendidikan, pekerjaan, dan norma agama). Berdasarkan pemahaman ini, konseli diharapkan mampu mengembangkan potensi dirinya secara optimal, dan menyesuaikan dirinya dengan lingkungan secara dinamis dan konstruktif; 2) Fungsi Preventif, yaitu fungsi yang berkaitan dengan upaya konselor untuk senantiasa mengantisipasi berbagai masalah yang mungkin terjadi dan berupaya untuk mencegahnya, supaya tidak dialami oleh konseli. Melalui fungsi ini, konselor memberikan bimbingan kepada konseli tentang cara menghindarkan diri dari perbuatan atau kegiatan yang membahayakan dirinya. Adapun teknik yang dapat digunakan adalah pelayanan orientasi, informasi, dan bimbingan kelompok. Beberapa masalah yang perlu diinformasikan kepada para konseli dalam rangka mencegah terjadinya tingkah laku yang tidak diharapkan, diantaranya: bahayanya minuman keras, merokok, penyalahgunaan obat-obatan, drop out, dan pergaulan bebas (free sex); 3) Fungsi Pengembangan, yaitu fungsi bimbingan dan konseling yang sifatnya lebih proaktif dari fungsifungsi lainnya. Konselor senantiasa berupaya untuk menciptakan lingkungan belajar yang kondusif, yang memfasilitasi perkembangan konseli. Konselor dan personel Sekolah/Madrasah lainnya secara sinergi sebagai teamwork berkolaborasi atau bekerjasama merencanakan dan melaksanakan program bimbingan secara sistematis dan berkesinambungan dalam upaya membantu konseli mencapai tugas-tugas perkembangannya. Teknik bimbingan yang dapat digunakan disini adalah pelayanan informasi, tutorial, diskusi kelompok atau curah pendapat (brain storming), home room, dan karyawisata; 4) Fungsi Penyembuhan, yaitu fungsi bimbingan dan konseling yang bersifat kuratif. Fungsi ini berkaitan erat dengan upaya pemberian bantuan kepada konseli yang telah mengalami masalah, baik menyangkut aspek pribadi, sosial, belajar, maupun karir. Teknik yang dapat digunakan adalah konseling, dan remedial teaching; 5) Fungsi Penyaluran, yaitu fungsi bimbingan dan konseling  dalam membantu konseli memilih kegiatan ekstrakurikuler, jurusan atau program studi, dan memantapkan penguasaan karir atau jabatan yang sesuai dengan minat, bakat, keahlian dan ciri-ciri kepribadian lainnya. Dalam melaksanakan fungsi ini, konselor perlu bekerja sama dengan pendidik lainnya di dalam maupun di luar lembaga pendidikan; 6) Fungsi Adaptasi, yaitu fungsi membantu para pelaksana pendidikan, kepala Sekolah/Madrasah dan staf, konselor, dan guru untuk menyesuaikan program pendidikan terhadap latar belakang pendidikan, minat, kemampuan, dan kebutuhan konseli. Dengan menggunakan informasi yang memadai mengenai konseli, pembimbing/konselor dapat membantu para guru dalam memperlakukan konseli secara tepat, baik dalam memilih dan menyusun materi Sekolah/Madrasah, memilih metode dan proses pembelajaran, maupun menyusun bahan pelajaran sesuai dengan kemampuan dan kecepatan konseling; 7) Fungsi Penyesuaian, yaitu fungsi bimbingan dan konseling dalam membantu konseli agar dapat menyesuaikan diri dengan diri dan lingkungannya secara dinamis dan konstruktif; 8) Fungsi Perbaikan, yaitu fungsi bimbingan dan konseling untuk membantu konseli sehingga dapat memperbaiki kekeliruan dalam berfikir, berperasaan dan bertindak (berkehendak). Konselor melakukan intervensi (memberikan perlakuan) terhadap konseli supaya memiliki pola berfikir yang sehat, rasional dan memiliki perasaan yang tepat sehingga dapat mengantarkan mereka kepada tindakan atau kehendak yang produktif dan normatif; 9) Fungsi Fasilitasi, memberikan kemudahan kepada konseli dalam mencapai pertumbuhan dan perkembangan yang optimal, serasi, selaras dan seimbang seluruh aspek dalam diri konseli; dan 10) Fungsi Pemeliharaan, yaitu fungsi bimbingan dan konseling untuk membantu konseli supaya dapat menjaga diri dan mempertahankan situasi kondusif yang telah tercipta dalam dirinya. Fungsi ini memfasilitasi konseli agar terhindar dari kondisi-kondisi yang akan menyebabkan penurunan produktivitas diri. Pelaksanaan fungsi ini diwujudkan melalui program-program yang menarik, rekreatif dan fakultatif (pilihan) sesuai dengan minat konseli.

Fungsi yang dikemukakan di atas dapat di singkat sebagai berikut: 1) Fungsi pemahaman, yaitu fungsi  membantu peserta memahami diri dan lingkungan; 2) Fungsi Pencegahan, yaitu fungsi untuk membantu peserta didik mampu mencegah atau menghindari diri dari berbagai permasalahan yang dapat menghambat perkembangan dirinya; 3) Fungsi Pengentasan, yaitu fungsi untuk membantu peserta didik mengatasi masalah yang didalamnya; 4) Fungsi Pemeliharaan dan Pengembangan, yaitu fungsi untuk membantu peserta didik memlihara dan menumbuhkembangkan berbagai potensi dan kondisi positif yang dimilikinya; 5) Fungsi Advokasi, yaitu fungsi untuk membantu peserta didik memperoleh pembelaan atas hak dan atau kepentingannya yang kurang mendapat perhatian.

Prinsip Bimbingan dan Konseling Terdapat beberapa prinsip dasar yang dipandang sebagai pondasi atau landasan bagi pelayanan bimbingan dan konseling. Prinsip-prinsip ini berasal dari konsep-konsep filosofis tentang kemanusiaan yang menjadi dasar bagi pemberian pelayanan bantuan atau bimbingan, baik di Sekolah/Madrasah maupun di luar Sekolah/ Madrasah.

Prinsip-prinsip tersebut yaitu bimbingan dan konseling: 1) diperuntukkan bagi semua konseling. Prinsip ini berarti bahwa bimbingan diberikan kepada semua konseli atau konseli, baik yang tidak bermasalah maupun yang bermasalah; baik pria maupun wanita; baik anak-anak, remaja, maupun dewasa. Dalam hal ini pendekatan yang digunakan dalam bimbingan lebih bersifat preventif dan pengembangan dari pada penyembuhan (kuratif); dan lebih diutamakan teknik kelompok dari pada perseorangan (individual); 2)  sebagai proses individuasi. Setiap konseli bersifat unik (berbeda satu sama lainnya), dan melalui bimbingan konseli dibantu untuk memaksimalkan perkembangan keunikannya tersebut. Prinsip ini juga berarti bahwa yang menjadi fokus sasaran bantuan adalah konseli, meskipun pelayanan bimbingannya menggunakan teknik kelompok; 3)  menekankan hal yang positif. Dalam kenyataan masih ada konseli yang memiliki persepsi yang negatif terhadap bimbingan, karena bimbingan dipandang sebagai satu cara yang menekan aspirasi. Sangat berbeda dengan pandangan tersebut, bimbingan sebenarnya merupakan proses bantuan yang menekankan kekuatan dan kesuksesan, karena bimbingan merupakan cara untuk membangun pandangan yang positif terhadap diri sendiri, memberikan dorongan, dan peluang untuk berkembang; 4) merupakan Usaha Bersama. Bimbingan bukan hanya tugas atau tanggung jawab konselor, tetapi juga tugas guru-guru dan kepala Sekolah/ Madrasah sesuai dengan tugas dan peran masingmasing. Mereka bekerja sebagai teamwork; 5) pengambilan keputusan merupakan hal yang esensial dalam bimbingan dan konseling. bimbingan diarahkan untuk membantu konseli agar dapat melakukan pilihan dan mengambil keputusan. Bimbingan mempunyai peranan untuk memberikan informasi dan nasihat kepada konseli, yang itu semua sangat penting baginya dalam mengambil keputusan. Kehidupan konseli diarahkan oleh tujuannya, dan bimbingan memfasilitasi konseli untuk mempertimbangkan, menyesuaikan diri, dan menyempurnakan tujuan melalui pengambilan keputusan yang tepat. Kemampuan untuk membuat pilihan secara tepat bukan kemampuan bawaan, tetapi kemampuan yang harus dikembangkan. Tujuan utama bimbingan adalah mengembangkan kemampuan konseli untuk memecahkan masalahnya dan mengambil keputusan; 5) berlangsung dalam Berbagai Setting (adegan) Kehidupan. Pemberian pelayanan bimbingan tidak hanya berlangsung di Sekolah/ Madrasah, tetapi juga di lingkungan keluarga, perusahaan/industri, lembaga-lembaga pemerintah/swasta, dan masyarakat pada umumnya. Bidang pelayanan bimbingan pun bersifat multi aspek, yaitu meliputi aspek pribadi, sosial, pendidikan, dan pekerjaan.

Asas Bimbingan dan Konseling Keterlaksanaan dan keberhasilan pelayanan bimbingan dan konseling sangat ditentukan oleh diwujudkannya asas-asas berikut, yaitu:

Pertama, Asas kerahasiaan, yaitu asas bimbingan dan konseling yang menuntut dirahasiakanya segenap data dan keterangan tentang konseli (konseli) yang menjadi sasaran pelayanan, yaitu data atau keterangan yang tidak boleh dan tidak layak diketahui oleh orang lain. Dalam hal ini guru pembimbing berkewajiban penuh memelihara dan menjaga semua data dan keterangan itu sehingga kerahasiaanya benarbenar terjamin. Kedua, Asas kesukarelaan, yaitu asas bimbingan dan konseling yang menghendaki adanya kesukaan dan kerelaan konseli (konseli) mengikuti/menjalani pelayanan/kegiatan yang diperlukan baginya. Dalam hal ini guru pembimbing berkewajiban membina dan mengembangkan kesukarelaan tersebut. Ketiga, Asas keterbukaan, yaitu asas bimbingan dan konseling yang menghendaki agar konseli (konseli) yang menjadi sasaran pelayanan/kegiatan bersifat terbuka dan tidak berpura-pura, baik di dalam memberikan keterangan tentang dirinya sendiri maupun dalam menerima  berbagai informasi dan materi dari luar yang berguna bagi pengembangan dirinya. Dalam hal ini guru pembimbing berkewajiban mengembangkan keterbukaan konseli (konseli). Keterbukaan ini amat terkait pada terselenggaranya asas kerahasiaan dan adanya kesukarelaan pada diri konseli yang menjadi sasaran pelayanan/ kegiatan. Agar konseli dapat terbuka, guru pembimbing terlebih dahulu harus bersikap terbuka dan tidak berpura-pura. Keempat, Asas kegiatan, yaitu asas bimbingan dan konseling yang menghendaki agar konseli (konseli) yang menjadi sasaran pelayanan berpartisipasi secara aktif di dalam penyelenggaraan pelayanan/ kegiatan bimbingan. Dalam hal ini guru pembimbing perlu mendorong konseli untuk aktif dalam setiap pelayanan/kegiatan bimbingan dan konseling yang diperuntukan baginya. Kelima, Asas kemandirian, yaitu asas bimbingan dan konseling yang menunjuk pada tujuan umum bimbingan dan konseling, yakni: konseli (konseli) sebagai sasaran pelayanan bimbingan dan konseling diharapkan menjadi konseli-konseli yang mandiri dengan ciri ciri mengenal dan menerima diri sendiri dan lingkungannya, mampu mengambil keputusan, mengarahkan serta mewujudkan diri sendiri. Guru pembimbing hendaknya mampu mengarahkan segenap pelayanan bimbingan dan konseling yang diselenggarakannya bagi berkembangnya kemandirian konseli. Keenam, Asas Kekinian yaitu asas bimbingan dan konseling yang menghendaki agar objek sasaran pelayanan bimbingan dan konseling ialah permasalahan konseli (konseli) dalam kondisinya sekarang. Pelayanan yang berkenaan dengan "masa depan atau kondisi masa lampau pun" dilihat dampak dan/atau kaitannya dengan kondisi yang ada dan apa yang diperbuat sekarang. Ketujuh, Asas Kedinamisan yaitu asas bimbingan dan konseling yang menghendaki agar isi pelayanan terhadap sasaran pelayanan (konseli) yang sama kehendaknya selalu bergerak maju, tidak monoton, dan terus berkembang serta berkelanjutan sesuai dengan kebutuhan dan tahap perkembangannya dari waktu ke waktu. Kedelapan, Asas Keterpaduan, yaitu asas bimbingan dan konseling yang menghendaki agar berbagai pelayanan dan kegiatan bimbingan dan konseling, baik yang dilakukan oleh guru pembimbing maupun pihak lain, saling menunjang, harmonis, dan terpadu. Untuk ini kerja sama antara guru pembimbing dan pihak-pihak yang berperan dalam penyelenggaraan pelayanan bimbingan dan konseling perlu terus dikembangkan. Koordinasi segenap pelayanan/kegiatan bimbingan dan konseling itu harus dilaksanakan dengan sebaik-baiknya. Kesembilan, Asas Keharmonisan, yaitu asas bimbingan dan konseling yang menghendaki agar segenap pelayanan dan kegiatan bimbingan dan konseling didasarkan pada dan tidak boleh bertentangan dengan nilai dan norma yang ada, yaitu nilai dan norma agama, hukum dan peraturan, adat istiadat, ilmu pengetahuan, dan kebiasaan yang berlaku. Bukanlah pelayanan atau kegiatan bimbingan dan konseling yang dapat dipertanggungjawabkan apabila isi dan pelaksanaannya tidak berdasarkan nilai dan norma yang dimaksudkan itu. Lebih jauh, pelayanan dan kegiatan bimbingan dan konseling justru harus dapat meningkatkan kemampuan konseli (konseli) memahami, menghayati, dan mengamalkan nilai dan norma tersebut. Kesepuluh, Asas Keahlian yaitu asas bimbingan dan konseling yang menghendaki agar pelayanan dan kegiatan bimbingan dan konseling diselenggarakan atas dasar kaidah-kaidah profesional. Dalam hal ini, para pelaksana pelayanan dan kegiatan bimbingan dan konseling hendaklah tenaga yang benar-benar ahli dalam bidang bimbingan dan konseling. Keprofesionalan guru pembimbing harus terwujud baik dalam penyelenggaraan jenis-jenis pelayanan dan kegiatan dan konseling maupun dalam penegakan kode etik bimbingan dan konseling. Kesebelas, Asas Alih Tangan Kasus yaitu asas bimbingan dan konseling yang menghendaki agar pihak-pihak yang tidak mampu menyelenggarakan pelayanan bimbingan dan konseling secara tepat dan tuntas atas suatu permasalahan konseli (konseli) menginginkan permasalahan itu kepada pihak yang lebih ahli. Guru pembimbing dapat menerima alih tangan kasus dari orang tua, guru-guru lain, atau ahli lain; dan demikian pula guru pembimbing dapat mengalahkannya kasus kepada guru mata pelajaran/praktik dan lain-lain.

Aspek Yuridis Eksistensi Konselor Keberadaan konselor dalam sistem pendidikan nasional dinyatakan sebagai salah satu kualifikasi pendidikan yang sejajar dengan kualifikasi Guru, Dosen, Pamong dan Tutor berdasarkan Undang Undang Nomor 20 tahun 2003, Pasal 1 ayat (6). Pengakuan secara eksplisit dan kesejajaran posisi antara kualifikasi tenaga pendidikan satu dengan yang lainnya mengandung arti bahwa setiap tenaga pendidik, termasuk Konselor, memiliki keunikan konteks dalam tugas, ekspektasi kinerja, dan setting layanan.

Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor

22 tahun 2006, tidak secara eksplisit memposisikan bimbingan dan konseling dalam struktur program pendidikan. Ketidakjelasan konteks dalam tugas dan ekspektasi kinerja konselor bimbingan dan konseling melalui proses pembelajaran yang berpayung pada standar isi. Muncul gejala "Intervensi" profesi sejenis (sebut psikologi sekolah) ke dalam konteks tugas dan kinerja konselor Penegasan Eksistensi Profesi.

Secara Yuridis berbagai peraturan yang ada menguatkan kenyataan bahwa konteks tugas dan Ekspektasi kinerja yang telah dispesifikasikan secara tegas dan eksplisit adalah konteks tugas dan ekspektasi kinerja guru sebagai agen pembelajaran, yang menggunakan bidang studi sebagai konteks layanan, dan tidak mengandung konteks tugas dan Ekspektasi kinerja konselor.

Selanjutnya, ABKIN (2007) mengemukakan praktik bimbingan dan konseling dalam merencanakan, melaksanakan, menilai, dan menindaklanjuti kegiatan pelayanan konseling, sebagai berikut.

Praktik BK oleh Konselor

Merencanakan, Melaksanakan, Menilai dan Menindaklanjuti Kegiatan Pelayan Konseling terdiri atas: 1) 4 bidang layanan (pribadi, sosial, belajar karier), 2) fungsi layanan (pencegahan, pemahaman, pemeliharaan dan advokasi), 3) 9 jenis layanan (orientasi, informasi, penguasaan konten, penempatan dan penyaluran konseling perorangan, bimbingan kelompok konseling, kelompok mediasi dan konsultasi), 4) 6 kegiatan pendukung (aplikasi instrumentasi data, himpunan data, konferensi kasus, tampilan kepustakaan kunjungan rumah dan alih tangan kasus), 5) Dilaksanakan melalui format klasifikasi kelompok dan individual, 6) Layanan Responsif, 7) Perencanaan Individual, 8) Dukungan Sistem.

(Naskah Akademik ABKIN 2007) Bidang Layanan Bimbingan Konseling Pengembangan kehidupan pribadi, yaitu bidang pelayanan yang membantu peserta didik dalam memahami, menilai dan mengembangkan potensi dan kecakapan, bakat dan minat, serta kondisi sesuai dengan karakteristik kepribadian dan kebutuhan dirinya secara realistik. Bidang tersebut adalah bidang pelayanan yang membantu peserta didik dalam memahami dan menilai serta mengembangkan kemampuan hubungan sosial yang sehat dan efektif dengan teman sebaya, anggota keluarga, dan warga lingkungan sosial yang lebih luas. Pengembangan kemampuan belajar dalam rangka mengikuti pendidikan sekolah/madrasah dan belajar secara mandiri.

Pengembangan karir, yaitu bidang pelayanan yang membantu peserta didik dalam memahami dan menilai informasi, serta memilih dan mengambil keputusan karir.

Berdasarkan kajian literatur, layanan bimbingan dan konseling di sekolah harus dapat dilaksanakan. Penyuluh atau konselor bimbingan dan konseling haruslah memahami fungsi, prinsip, dan asas bimbingan dan konseling, serta ruang lingkup atau layanan apa saja yang harus diberikan oleh seorang konselor terhadap anak didiknya.  Jika seorang konselor sudah memahami yang tersebut di atas, mereka juga harus memahami setting di mana layanan dan bimbingan itu diberikan. 

Selanjutnya, seorang konselor harus dapat melaksanakan fungsinya dengan baik di sekolah. Di DKI Jakarta, Jumlah guru bimbingan dan konseling khususnya di SMP Negeri rata-rata memiliki 3 orang guru bimbingan dan konseling, sehingga jumlah keseluruhan guru bimbingan dan konseling di SMP  kurang lebih 864 orang. Jumlah tersebut tentu saja belum memadai karena jumlah rata-rata siswa di setiap sekolah kurang lebih 700 sampai dengan 1200 siswa persekolah. Hal ini tidak sesuai dengan Peraturan Pemerintah nomor 74 tahun 2008 bahwa beban kerja guru bimbingan dan konseling atau konselor, yang memperoleh tunjangan profesi dan masalah tambahan adalah, pengampu bimbingan dan konseling paling sedikit 150 peserta didik/tahun pada satu atau lebih satuan pendidikan.

Yang dimaksud pengampu layanan bimbingan & konseling adalah, pemberi perhatian, pengarahan, pengendalian dan pengawasan kepada sekurang-kurangnya 150 peserta didik yang dapat dilaksanakan dalam bentuk pelayanan tatap muka terjadwal di kelas dan layanan perseorangan atau kelompok bagi yang dianggap perlu dan memerlukan.

Di samping itu, kebanyakan dari guru bimbingan dan konseling memiliki pengalaman kerja rata-rata lebih dari 20 tahun. Sehingga guru guru bimbingan dan konseling tersebut sulit untuk menguasai bidang (TIK) teknologi informasi komputer. Kurangnya pengetahuan guru bimbingan dan konseling tersebut akan mempengaruhi kualitas bimbingan dan layanan yang mereka berikan. Hal itu ditegaskan dalam Undang Undang Nomor 20 Tahun 2003 Pasal 1 ayat 6 tentang adanya jabatan konselor. Maka untuk menjadi layanan professional Bimbingan dan Konseling, seorang konselor harus memiliki pengetahuan tentang filosofi, psikologi, sosial dan budaya, ilmu pengetahuan dan teknologi, pedagogis, religi dan teknologi.

Selanjutnya, faktor lain yang dapat mempengaruhi rendahnya mutu layanan bimbingan dan konseling di sekolah adalah banyaknya guru bimbingan dan konseling yang masih bertugas perangkat. Padahal, tugas dan fungsi guru bimbingan dan konseling sudah sangat banyak karena masih kurangnya jumlah guru yang seyogyanya berbanding 1:150 siswa.

Tidak kalah penting lagi, latar belakang pendidikan guru bimbingan dan konseling belum semuanya S1, hal ini menjadi salah satu penyebab rendahnya mutu layanan bimbingan seiring dengan rendahnya pengetahuan konselor tersebut tentang bidangnya.

Dinas Pendidikan memberikan fasilitas dan ruang gerak lebih luas dan memberikan otonomi kepada guru Bimbingan dan Konseling yang merupakan persekolahan. satu layanan sistem penambahan dan pemberdayaan guru

Simpulan dan Saran Simpulan masing-masing. Dari uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa rendahnya mutu layanan bimbingan dan konseling di sekolah disebabkan oleh beberapa faktor yaitu: 1) Jumlah guru bimbingan dan konseling di masing-masing sekolah SMP di DKI belum sesuai dengan rasio 1:150 siswa; 2) Guru bimbingan dan konseling belum. sepenuhnya menguasai dan memiliki kompetensi sebagai konselor; 3) Guru bimbingan dan konseling umumnya belum menguasai pengetahuan yang harus dimiliki oleh seorang konselor yang sesuai dengan Undang-Undang Nomor 20 tahun 2003 Pasal 1 ayat (6); dan 4) Guru bimbingan dan konseling masih bertugas rangkap

bimbingan dan konseling akan selalu dilakukan secara bertahap: 2) merealisasikan PP Nomor 74 tahun 2008 tentang rasio guru bimbingan dan konseling. Selanjutnya bagi guru bimbingan dan konseling agar lebih kreatif dan inovatif dalam mencari dan menggali pengetahuan baru yang berhubungan dengan bidangnya. Kemudian bagi peserta didik, harus dapat memanfaatkan fasilitas bimbingan dan konseling yang ada di sekolah

Saran

Untuk mengatasi permasalahan di atas, disarankan agar dinas pendidikan: 1) memberikan fasilitas dan ruang gerak lebih luas dan memberikan otonomi kepada guru bimbingan dan konseling. Di samping itu, pelatihan dan pembinaan. terhadap guru bimbingan dan konseling. akan diberikan secara maksimal sehingga dapat meningkatkan pengetahuan guru tersebut.

Artikel 2 : PERAN BIMBINGAN DAN KONSELING UNTUK MENGHADAPI GENERASI Z DALAM PERSPEKTIF BIMBINGAN DAN KONSELING PERKEMBANGAN 

PENDAHULUAN 

Saat ini, era perkembangan tekonologi tidak dapat dibendung lagi. Anak-anak dan remaja yang notabene masih berstatus sebagai siswa telah terampil dalam menggunakan teknologi. Anak-anak dan remaja yang demikian disebut dengan generasi Z. Generasi Z sendiri adalah anakanak yang lahir pada sekitar tahun 1995 sampai dengan tahun 2010. Dalam Saragih (2012) dijelaskan bahwa generasi Z yaitu anak yang sangat melek teknologi atau net generation. Mereka lebih menyenangi berinteraksi dengan komputer dan berkomunikasi dengan sistem online sehingga mereka punya kecenderungan untuk tidak bertemu dengan temantemannya. 

Generazi ini memiliki ciri khas dimana internet telah berkembang pesat seiring dengan perkembangan media elektronik dan digital. Anak-anak dapat dengan mengakses informasi dengan cepat dan mudah. Hal tersebut menyebabkan anak-anak tidak sabar untuk menunggu proses. Anak-anak selalu mengandalkan jawaban dari setiap pertanyaan dan tantangan hidup dari informasi-informasi yang ada di internet. Mereka tidak mengetahui bahwa tidak semua persoalan hidup bisa diatasi dengan teknologi. Beberapa persoalan hidup yang harus dipecahkan melalui proses yang panjang oleh dirinya sendiri, melalui perenungan, usaha fisik, usaha psikis, dan juga memerlukan bantuan orang lain secara nyata, bukan maya.   

Anak-anak yang termasuk generasi Z sudah terbiasa berkomunikasi menggunakan internet, BB, facebook, dan twitter. Mereka hidup dalam budaya yang serba cepat, sehingga tidak tahan dengan hal-hal yang lambat. Mereka adalah anak-anak dari budaya instan yang serba ingin berhasil dalam waktu cepat dan kalau bisa tanpa usaha keras. Anak-anak ini sering mengerjakan berbagai persoalan dalam satu waktu. Kalau mereka mengerjakan PR, mereka sekaligus juga membuka web lain, sambil masih bicara dengan teman lewat HP, dan ceting dengan teman lain lagi lewat facebook. Perhatiannya biasa terpecah dalam berbagai hal. Dalam mempelajari suatu bahan mereka tidak mau urut, kadang dari belakang, kadang dari tengah, kadang dari muka, dll. Ini berarti bahwa model pendekatan linear dapat kurang tepat bagi mereka. Kemajuan teknologi internet dan media, menjadikan anak sekarang dipenuhi dengan berbagai informasi dari seluruh penjuru dunia. Mereka dipenuhi dengan berbagai informasi baik yang sesuai dengan moral kita atau tidak. Jelas di tengah kekacauan infomasi dan nilai ini mereka dituntut mempunyai ketrampilan menganalisis secara kritis, memilih secara bijak, serta mengambil keputusan bagi hidupnya. 

Sebenarnya anak-anak Indonesia zaman ini menghadapi norma budaya ganda. Di satu sisi realitas hidup menuntut mereka untuk mandiri, mampu berkompetisi, mampu membuat pilihan atas aneka hal yang ditawarkan, tetapi di sisi lain masyarakat masih belum memberikan bekal yang memadai bagi anak-anak untuk mampu hidup secara mandiri. Proses pendidikan anak masih menekankan pentingnya kontrol eksternal, bersifat dogmatis, dan indoktrinasi. Baik orangtua maupun sekolah pada umumnya belum sepenuhnya mengajarkan anak untuk mampu berpikir secara mandiri, menguji, dan mengevaluasi diri, serta mengembangkan pribadi yang otonom 

(Susana, 2012). 

Selain itu, adanya globasisasi, modernisasi, MEA dan perkembangan ipteks menuntut generasi Z agar dapat menjalani kehidupan yang lebih kompleks, lebih rumit dan lebih cepat. Di era MEA, situasi kehidupan semakin kompleks, penuh peluang dan tantangan. Masyarakat dunia dituntut untuk memiliki kompetensi agar dapat berkembang secara dinamis, produktif dan mandiri (Irvan & Nindiya, 2016: 157). Oleh karena, baik keluarga maupun sekolah harus dilakukan upaya untuk penyiapan SDM generasi Z yang bermutu, yaitu yang mampu hidup secara mandiri pada era digital.  

Pemenuhan tuntutan ini tidak terlepas dari peran pendidikan. SDM yang bermutu dapat tercapai melalui pendidikan yang bermutu (Caraka & Nindiya, 2015: 55). Hal ini sejalan dengan pernyataan Juntika (2011) bahwa pendidikan yang bermutu adalah pendidikan yang mampu mengantarkan peserta didik memenuhi kebutuhannya, baik saat ini maupun di masa yang akan datang. 

Menurut Tilaar dalam Juntika (2011), untuk mencapai hasil pendidikan yang bermutu, diperlukan proses pendidikan yang bermutu. Kemampuan yang diberikan melalui proses pendidikan bermutu tidak hanya menyangkut aspek akademis saja, tetapi juga menyangkut berbagai aspek kehidupan yang komprehensif yakni perkembangan pribadi, sosial, kematangan individu, dan sistem nilai.  

Pendidikan merupan sebuah sistem dengan beberapa bagian yang saling terintegrasi. Bimbingan dan konseling sebagai bagian integral proses pendidikan memiliki kontribusi dalam penyiapan SDM generasi Z yang bermutu. Dalam perspektif bimbingan dan konseling, peserta didik merupakan individu sedang berada dalam proses berkembang atau menjadi (becoming), yaitu berkembang ke arah kematangan atau kemandirian. Menurut Caraka & Nindiya (2015: 55), untuk mencapai kematangan, individu memerlukan bimbingan, karena masih kurang memahami kemampuan dirinya, lingkungannya dan pengalaman untuk mencapai kehidupan yang baik (menjadi SDM bermutu).  

Untuk mencapai kematangan, peserta didik sebagai generasi Z tidak terlepas dari pengaruh lingkungan fisik, psikis maupun sosial (Caraka, 2015: 93). Lingkungan yang sarat dengan teknologi dapat dengan mudah mempengaruhi gaya hidup, sifat, perilaku bahkan mindset seseorang. Iklim perkembangan teknologi sering berlangsung kurang sehat. Iklim lingkungan yang kurang sehat ternyata mempengaruhi perkembangan pola perilaku atau gaya peserta didik (remaja) yang cenderung menyimpang dari kaidah-kaidah moral, seperti pelanggaran tata tertib sekolah, tawuran, meminum minuman keras, penyalangunaan obat-obat terlarang, kriminalitas, dan pergaulan bebas. 

Perkembangan generasi Z sangat kompleks. Sementara para pendidiknya yang lahir pada era sebelumnya masih belum terbiasa dengan hal itu sehingga seringkali pendidik mengaku "gaptek" (gagap teknologi). Untuk menyikapi hal tersebut perlu ada inovasi baru dalam proses belajar mengajar sehingga sesuai dengan karakter tersebut (Purnomo, 2016). Proses ini tidak semata-mata melalui kegiatan pembelajaran tetapi juga memerlukan layanan psikoedukatif berupa layanan bimbingan dan konseling.  

Bimbingan dan konseling sendiri seharusnya juga tidak hanya berfokus pada perkembangan siswa tetapi juga memperhatikan keadaan lingkungan sekitar siswa. Dengan demikian, bimbingan dan konseling perkembangan nampaknya menjadi strategi alternatif dalam menyelesaikan masalah ini. Fajar Santoadi (2010) mengungkapkan bahwa secara implisit bimbingan dan konseling saat ini sudah berorientasi perkembangan. Semenjak tahun 1970-an, terutama di negara-negara maju (misalnya negara-negara bagian Amerika) mulai berkembang model program bimbingan dan konseling komprehensif.  

Dede Rahmat Hidayat (2013: 128) mengungkapkan bahwa model bimbingan dan konseling komprehensif dirancang untuk merespons berbagai persoalan yang dihadapi oleh konselor sekolah. Model ini dikembangkan berdasarkan berbagai hasil kajian teori, dan hasil penelitian yang telah dilaksanankan oleh ASCA tentang program bimbingan dan konseling dan profesi konselor sekolah. Model ini merupakan alternatif model bimbingan dan konseling yang memberikan kesempatan bagi akademisi dan praktisi konseling untuk meningkatkan layanan bimbingan dan konseling di sekolah.  

Kaitannya dengan bimbingan dan konseling komprehensif, permerintah Indoensia mengeluarkan Permendikbud Nomor 111 Tahun 2014 tentang Bimbingan dan Konseling Pada Pendidikan Dasar dan Pendidikan Menengah. Substansi dari permendikbud ini meliputi komponen program, bidang layanan, struktur program layanan, serta kegiatan dan alokasi waktu. Permendikbud tidak secara eksplisit membahas tentang bimbingan dan konseling komprehensif, tetapi dilihat dari substansinya ini menunjukkan versi model bimbingan dan konseling komprehensif. 

Dari sini, dapat dilihat bahwa bimbingan dan kosneling perkembangan akan sangat berperan dalam menghadapi dan mempersiapkan generasi Z yang bermutu. Oleh karena itu, perlu adanya kajian tentang bagaimana peran bimbingan dan konseling untuk menghadapi generasi Z dalam perspektif bimbingan dan konseling komprehensif.  

 

PEMBAHASAN A. Hakikat Generasi Z 

1. Pengertian Generasi Z 

Generasi Z Generasi ini merupakan orang-orang yang lahir pada kurun waktu sejak tahun 1995 sampai dengan tahun 2010. Generasi Z disebut juga dengan iGeneration, Generasi Net atau Generasi Internet adalah mereka yang hidup pada masa digital. Elizabeth T. Santosa dalam bukunya yang berjudul Raising Children in Digital Era menyebutkan bahwa: Generasi Net adalah generasi yang lahir setelah tahun 1995, atau lebih tepatnya setelah tahun 2000. Generasi ini lahir saat internet mulai masuk dan berkembang pesat dalam kehidupan manusia. Generasi ini tidak mengenal masa saat telepon genggam belum diproduksi, saat mayoritas mainan sehari-hari masih tradisional.  

Selain itu, Hellen Chou P. (2012: 35) memberikan pengertian terhadap istilah generasi Z: Generasi Z atau yang kemudian banyak dikenal dengan generasi digital merupakan generasi muda yang tumbuh dan berkembang dengan sebuah ketergantungan yang besar pada teknologi digital. Berdasarkan apa yang dikemukakan oleh Hellen Chou P. tersebut maka tidak mengherankan apabila pada usia muda, orangorang yang notabene masih berstatus sebagai siswa telah terampil dalam penguasaan teknologi.  

Generasi Z ini memiliki karakter yang unik dan sangat berbeda dengan karakter yang dimiliki oleh generasigenerasi sebelumnya. Pengaruh teknologi yang sangat kuat ini tercermin pada, misalnya, ketergantungan generasi Z dengan gadget dan durasi konsentrasi yang singkat (Ozkan & Solmaz, 2015). 

Generasi Z memiliki karakteristik yang khas dimana internet mulai berkembang dan tumbuh sejalan dengan perkembangan media digital. Adanya Generasi Z tersebut lahir dari perpaduan dua generasi sebelumnya yaitu Generasi X dan Generasi Y. Orang-orang pada masa generasi ini adalah mereka yang dilahirkan dan dibesarkan pada era digital, dimana beranekamacam teknologi telah berkembang semakin banyak dan canggih, seperti telah adanya perangkat keras elektronik berupa: komputer atau laptop, hand phone, iPad, MP3, MP4, dan lain sebagainya. 

Indikator Generasi Z 

Elizabeth T. Santosa ( 2015: 20) menyebutkan beberapa indikator anak-anak yang termasuk dalam 

Generasi Z atau Generasi Net:  

Memiliki ambisi besar untuk sukses  

Anak zaman sekarang cenderung memiliki karakter yang positif dan optimis dalam menggapai mimpi mereka. 

Cenderung praktis dan berperilaku instan (speed) Anak-anak di era generasi Z menyukai pemecahan masalah yang praktis. Mereka tidak menyukai berlama-lama meluangkan proses panjang mencermati suatu masalah. Hal ini disebabkan anak-anak ini lahir dalam dunia yang serba instan. 

Cinta kebebasan dan memiliki percaya diri tinggi  

Generasi ini sangat menyukai kebebasan. Kebebasan berpendapat, kebebasan berkreasi, kebebasan berekspresi, dan lain sebagainya. Mereka lahir di dunia yang modern, dimana sebagian besar dari mereka tidak menyukai pelajaran yang bersifat menghafal. Mereka lebih menyukai pelajaran yang bersifat eksplorasi. Anakanak pada generasi ini mayoritas memiliki kepercayaan diri yang tinggi. Mereka memiliki sikap optimis dalam banyak hal. 

Cenderung menyukai hal yang detail  Generasi ini termasuk dalam generasi yang kritis dalam berpikir, dan detail dalam mencermati suatu permasalahan atau fenomena. Hal ini disebabkan karena mudahnya mencari informasi semudah mengklik tombol search engine. 

Berkeinginan besar untuk mendapatkan pengakuan Setiap orang pada dasarnya memiliki keinginan agar diakui atas kerja keras, usaha, kompetensi yang telah didedikasikannya. Terlebih generasi ini cenderung ingin diberikan pengakuan dalam bentuk reward (pujian, hadiah, sertifikat, atau penghargaan), karena kemampuan dan eksistensinya sebagai individu yang unik. 

Digital dan teknologi informasi 

Sesuai dengan namanya, generasi Z atau generasi Net lahir saat dunia digital mulai merambah dan berkembang pesat di dunia. Generasi ini sangat mahir dalam menggunakan segala macam gadget yang ada, dan menggunakan teknologi dalam keseluruhan aspek serta fungsi sehari-hari. Anak-anak pada generasi ini lebih memilih berkomunikasi melalui dunia maya, media sosial daripada menghabiskan waktu bertatap muka dengan orang lain. 

Nilai Plus dan Minus Generasi Z 

Dalam AF Magazine (2015), diterangkan bahwa generazi Z memiliki nilai Plus dan nilai Minus sebagai berikut: 

Nilai Plus Gen-Z 

Sikap ingin tahu generasi Z sangat tinggi, ketika dihadapkan dengan teknologi, mereka tidak perlu diajari. Generasi Z dengan sendirinya akan berusaha menguasai apa yang dibutuhkan atau apa yang harus dilakukan untuk tahu dan mampu mengaplikasikan suatu teknologi. Sifat khas mereka lainnya adalah multitasking; terbiasa dengan berbagai aktivitas dalam satu waktu yang bersamaan, bisa membaca, berbicara, menonton, atau mendengarkan musik dalam waktu yang bersamaan. 

Generasi ini memiliki kepedulian yang tinggi soal lingkungan dan politik, sehingga apabila generasi ini mendapatkan pendidikan yang baik dan cocok maka mereka akan sangat bermanfaat bagi diri dan lingkungannya. 

Nilai Minus Gen-Z Anak Generasi Z cenderung tidak sabaran, ingin menyelesaikan masalah menggunakan cara-cara instan karena terbiasa berkomunikasi dan menyelesaikan masalah melalui dunia maya yang serba cepat dan praktis. Sebagian dari generasi ini kurang terampil berkomunikasi verbal yang bisa menjurus menjadi tidak peduli dengan lingkungan sekitar. Apabila nilai minus ini dapat diakamodir dengan baik oleh lingkungannya, baik di lingkungan pendidikannya maupun pekerjaannya, maka besar kemungkinan nilai minus ini akan tergerus. 

 

B. Konsep Dasar Bimbingan dan Konseling Perkembangan 

Asumsi dasar pendekatan bimbingan dan konseling perkembangan adalah pemikiran bahwa perkembangan individu yang sehat akan terjadi dalam interaksi yang sehat individu dengan lingkungannya. Dengan kata lain, lingkungan tersebut bagi individu menjadi lingkungan belajar. "Being Educare for its proportional emphasis is on prevention and improvement, not corective and therapeutic, Being developmental for its main goal of counseling is to develop human cape city by provide developmental environment" (Myrick, 2011). Kata sehat dalam hal ini bukan hanya merujuk pada interaksi antara individu dan lingkungan, tetapi lingkungan itu sendiri juga harus sehat.  

Bimbingan dan konseling perkembangan dengan demikian dapat dartikan sebagai perspektif, pendekatan dalam bimbingan dan konseling yang berlandaskan pada teori-teori perkembangan dan bertujuan mengembangkan individu ke arah perkembangan optimal dalam lingkungan perkembangan yang mendukung.  

Bimbingan dan konseling perkembangan dirancang dalam pencapaian tujuan. Keberhasilan implementasi bimbingan dan konseling perkembangan perlu memperhatikan prinsip-prinsip dibawah ini:  

Bimbingan perkembangan bagi semua siswa. 

Bimbingan perkembangan memiliki suatu kurikulum yang terorganisasi dan terencana. 

Bimbingan perkembangan adalah bentuk yang berurutan dan fleksibel. 

Bimbingan perkembangan merupakan bagian terintegrasi dari proses pendidikan secara keseluruhan. 

Bimbingan perkembangan melibatkan semua personil sekolah 

Bimbingan perkembangan membantu para siswa belajar lebih efektif dan efisen. 

Bimbingan perkembangan melibatkan para konselor yang menyediakan layanan konseling khusus dan intervensi (Myrick, 2011: 

44). 

 

Bimbingan dan konseling komprehensif merupakan model bimbingan dan konseling yang berprinsip pada konsep bimbingan dan konseling perkembangan. Menurut Gysbers dan Henderson (2012: 62), "A comprehensive guidance and counseling program is a program as having a common language organizational framework with a spesific configuration of planned, sequenced, and coordinated guidance and counseling activities and services based on student, school, and community needs and resources, designed to serve all students and their parents or guardians in a local school district." 

Dalam penyusunan program bimbingan dan konseling komprehensif, harus memahami desain dan cara implemantasinya. Dollarhide (2011:51) menegaskan untuk menjadi komprehensif, program bimbingan dan konseling harus memiliki ciri sebagai berikut : 

Holistik 

Program bimbingan dan konseling komprehensif berorientasi pada upaya pengembangan seluruh aspek perkembangan siswa, tanpa terkecuali. Bidang yang dikembangkan adalah bidang akademik, karir, dan pribadi-sosial. 

Sistematik 

Untuk memfasilitasi perkembangan siswa yang optimal dipengaruhi oleh sistem lingkungan. Sistematik yang dimaksud adalah seluruh aktivitas layanan bimbingan tersusun secara sistematik, dimana dalam prosesnya melibatkan semua elemen atau pihak terkait, yang signifikan dalam kehidupan siswa. 

Seimbang 

Seimbang dalam perspektif kompehensif adalah aktivitas konselor harus seimbang pada layanan dasar, perencanaan individual, dan layanan responsif, dan dukungan sistem. Keseimbangan juga terdapat antara waktu dan tugas utama konselor, seperti konseling, edukasi, konsultasi dan kolaborasi, kepemimpinan, koordinasi dan advokasi. 

Proaktif 

Proaktf dalam program bimbingan dan konseling komprehensif yaitu konselor proaktif terahadap masalah kemungkinan timbul yang dapat menghambat kesuksesan siswa melalui tindakan preventif. 

Terintegrasi dalam kurukulum sekolah 

Program bimbingan dan konseling komprehensif bukan bagian terpisah dari kurikulum sekolah, namun bagian dari kurikulum sekolah untuk mencapai visi dan misi sekolah. Program BK harus masuk dalam program sekolah, selaras dengan tujuan sekolah. 

  Refleksi 

Refleksi merupakan kegiatan untuk menganalisa efektivitas kerja konselor dan efektifitas program bimbingan dan konseling komprehensif. Kegiatan ini untuk mengetahui sejauhmana pengaruh layanan bimbingan dan konseling dalam kehidupan dan perkembangan siswa. 

 

Program bimbingan dan konseling sekolah tidak hanya bersifat komprehensif dalam ruang lingkup, namun juga harus bersifat preventif dalam desain, dan bersifat pengembangan dalam tujuan (comprehensive in scope, preventive in design and developmental in nature) (ASCA, 2012: 85). Pertama, bersifat komprehensif berarti program bimbingan dan konseling harus mampu memfasilitasi capaian-capaian perkembangan psikologis peserta didik dalam totalitas aspek bimbingan (pribadisosial, akademik, dan karir). Layanan bimbingan dan konseling ditujukan untuk seluruh pesera didik tanpa terkecuali. Kedua, bersifat preventif dalam desain mengandung arti bahwa pada dasarnya tujuan pengembangan program bimbingan dan konseling di sekolah bersifat preventif. Melalui cara yang preventif tersebut diharapkan pesera didik mampu memilah tindakan dan sikap yang tepat dan mendukung pencapaian perkembangan psikologis ke arah ideal dan positif. Dan ketiga, bersifat pengembangan dalam tujuan bahwa program yang didesain konselor sekolah bertujuan untuk memenuhi kebutuhan para peserta didik sesuai dengan tahap perkembangan.  

 

Peran Bimbingan dan Konseling Perkembangan dalam Menghadapi Generasi Z 

Secara umum, generasi Z memiliki karakteristik yang unik dibandingkan dengan karakteristik generasi sebelumnya. Membelajarkan anak generasi Z akan menjadi hal sulit jika pendidik masih menerapkan gaya masa lalu, seperti menggunakan metode Duduk Dengar Catat Hapal (DDCH). Kini bukan zamannya lagi anak duduk menghabiskan waktu dengan mendengarkan, merangkum dan menuliskan PR di buku tulis. Seiring perkembangan zaman, pendidik harus meninggalkan cara lama agar sukses membimbing generasi Z menghadapi masa depan. Sangat diperlukan inovasi dalam mengajar anak generasi Z, karena mereka mempunyai konsep berpikir yang berbeda. Lingkungan generasi Z bukan hanya alam nyata, tetapi juga alam maya (Purnomo, 2016).  

Seiring dengan berjalannya waktu, kebutuhan manusia semakin berkembang dan bertambah. Penemuan teknologiteknologi baru menjadi salah satu faktor penunjang bertambahnya kebutuhan baru dalam segala bidang, termasuk pada bidang pendidikan. Inovasiinovasi baru lahir seiring dengan berkembangnya teknologi dan kebutuhan pendidik dan terutama peserta didik. Hidup di zaman yang katanya zamannya generasi Z di mana generasi ini terbiasa mendapatkan informasi beragam dalam waktu yang sangat singkat, hanya dengan "pencet tombol ini, maka lihat apa yang akan terjadi" (Musyarofah, 2014).  

Djiwandono (2011) menyatakan bahwa generasi muda saat ini, yang disebut juga generasi Z atau Net Generation, mempunyai karakteristik yang membuat mereka berbeda dengan generasi terdahulu. Anak-anak muda saat ini mempunyai kecenderungan gaya belajar aktif, global, sensing, dan visual. Maka, proses pembelajaran yang bersifat satu arah yang berpusat pada pengajar (teacher-centered) tidak akan cocok dengan mereka. Sebaliknya, pembelajaran yang membuat mereka menerapkan teori dan melakukan sendiri apa yang sedang dipelajari akan dengan mudah menarik minat dan pada gilirannya kemampuan belajar mereka (Susana, 2012). Dengan demikian,strategi pelaksanaan layanan BK di sekolah untuk generasi Z harus bersifat actibe learning, yaitu melibatkan siswa dalam kegiatan secara langsung. 

Oleh karena itu, layanan bimbingan dan konseling hendaknya diarahkan pada bagaimana membekali generasi Z dengan karakter-karakter unggul dengan memanfaatkan teknologi informasi dan komunikasi, sehingga dapat mengantarkan mereka menuju masa depan yang cemerlang.  

Adapun beberapa peran yang dapat dilakukan oleh bimbingan dan konseling adalah sebagai berikut: Layanan bimbingan dan konseling diselenggarakan untuk memberikan motivasi sukses kepada anak-anak generasi Z sehingga memiliki masa depan studi dan karir yang cemerlang. Adapun layanan yang dapat diberikan berupa layanan peminatan tentang studi lanjut untuk setiap anak, layanan pengembangan bakat dan minat, kemudian juga kolaborasi sekolah dengan instansi kerja (perusahaan/lembaga) untuk memberikan wawasan kerja sesuai dengan potensi dan keahlian siswa.  

Bimbingan dan konseling memanfaatkan teknologi informasi dan komunikasi serta media interaktif yang mudah diakses oleh siswa, seperti video, film, macromedia flash, educative games, dan sebagainya.  

Layanan bimbingan dan konseling difokuskan pada pengembangan kepercayaan diri, ketrampilan pemecahan pemecahan masalah, ketrampilan berpikir kritis dan inovatif. Layanan yang dapat diselenggarakan berupa layanan bimbingan kelompok teknik diskusi, FGD, problem solving atau simulation games. Untuk layanan yang bersifat kuratif, guru BK bisa melakukan dengan sistem e-counseling, sehingga siswa dapat memanfaatkan layanan BK dengan sebaik-baiknya, tanpa harus bertatap muka dengan guru BK. Misalnya dengan menggunakan aplikasi Facebook, Twitter, WhatsApp, Instagram, dan sebagainya.  

Dalam memberikan layanan BK, guru BK menggunakan media/sarana yang mendukung dsn disukai oleh siswa, seperti LCD proyektor, laptop yang terkoneksi internet, MP3/MP4 player, dan sebagainya. 

 

Dalam melakukan berbagai strategi layanan BK di atas, tentunya guru BK tidak dapat bekerja sendirian. Guru BK memerlukan partner kerja agar dapat melakukan pendampingan terhadap siswa generasi Z. Dalam kontek bimbingan dan konseling komprehensif, sangat ditekankan adanya kolaborasi, yaitu kerjasama guru BK dengan stakeholder sekolah dan luar sekolah untk menyelenggarakan layanan BK. Adapun bentuk kolaborasi yang bisa dilakukan oleh guru BK dalam menyiapkan generasi Z ini adalah sebagai berikut: 

Kolaborasi dengan orang tua untuk kegiatan edukasi dan pengawasan. Ketika di sekolah, maka guru yang mengedukasi dan mengontrol penggunaan media yang berlebihan (negatif) oleh siswa. Sedangkan ketika di rumah maka itu menjadi tanggungjawab orang tua.  

Kolaborasi dengan penyedia jasa layanan internet (provider) untuk kegiatan pelaksanaan layanan bimbingan dan konseling secara online, yaitu penyediaan jaringan yang stabil serta tahan virus dan telah memiliki filter untuk situs-situs yang negatif bagi siswa.  

Kolaborasi dengan guru mata pelajaran dalam hal pengembangan ketrampilan pemecahan masalah, berpikir kritis dan inovatif. Dimana guru mata pelajaran diminta untuk melakukan kegiatan mengajar dengan menggunakan teknik/metode berbasis teknologi informasi dan komunikasi yang dapat merangsang perkembangan ketrampilan siswa.  

Kolaborasi dengan wali kelas dalam memberikan motivasi sekaligus nasehat pada siswa tentang rambu-rambu penggunaan alat komunikasi dan internet.  

Kolaborasi dengan Wakil Kepala Sekolah Bidang Sarana dan Prasarana untuk pengadaan media/alat pendukung pelaksanaan layanan seperti LCD proyektor, screen, speaker, MP3/MP4 player, laptop yang terkoneksi internet, dan lain-lain.  

 

PENUTUP 

Generasi Z merupakan orang-orang yang lahir pada kurun waktu sejak tahun 1995 sampai dengan tahun 2010. Generasi ini memiliki ambisi besar untuk sukses, cenderung berprilaku praktis,dan  ingin bebas. Generasi ini memiliki kepercayaan diri yang tinggi, menyukai hal yang detail, ingin diakui dan selalu bertentangan dengan teknologi. Generasi ini memerlukan bimbingan untuk mencapai kesuksesan,  sehingga peran bimbingan dan konseling dalam konteks pendidikan generasi Z sangat dibutuhkan. Layanan bimbingan dan konseling hendaknya menggunakan teknik dan media berbasis teknologi informasi dan komunikasi untuk menyampaikan sejumlah pesan. Teknik yang bisa diterapkan yaitu diskusi, FGD, problem solving, dan simulation games. Adapun media yang bisa diimplementasikan yaitu media jejaring sosial (Facebook, Instagram, Twitter, What's App, Telegram, dan sebagainya), video, film atau macromedia flash, yang didukung dengan sarana seperti laptop, LCD proyektor, screen, speaker, dan MP3/MP4 Players. Sekolah sebagai penyelenggara pendidikan tentunya harus mendukung bimbingan dan konseling berbasis teknologi informasi dan komunikasi dengan cara menyediakan fasilitas yang mendukung penyelenggaraan layanan.  

Artikel 3 : STRATEGI LAYANAN BIMBINGAN DAN KONSELING DI SEKOLAH DASAR UNTUK MENGATASI PERILAKU BULLYING  

PENDAHULUAN 

Bullyingatau perundungan adalah masalah serius yang mempengaruhi siswa pada berbagai level usia di seluruh dunia dan membutuhkan perhatian dari orang tua dan pendidik. Bullying merupakan perilaku agresif yang melibatkan ketidak seimbangan kekuatan, perilaku diulangulang, atau memiliki potensi diulang (Olweus, 2019). Ketidakseimbangan kekuatan dimunculkan dari aspek fisik,akses mendapat informasi yang memalukan, popularitas yang dimiliki, dan keinginan untuk menyakiti orang 

lain.Terjadi lebih dari sekali atau memiliki kecenderungan perilaku untuk diulangi lebih dari sekali. 

Data hasil riset Programme for International Students Assessment (Visa) 2018 menunjukkan murid yang pernah mengalami perundungan (bullying) di Indonesia sebanyak 41,1%.Angka murid korban bullying ini jauh di atas rata-rata negara anggota Organisation for Economic Celebration and Development (OECD) yang hanya sebesar 22,7%. 

Indonesia berada di posisi kelima tertinggi dari 78 negara sebagai negara yang paling banyak murid mengalami perundungan. Selain mengalami perundungan, murid di Indonesia mengaku sebanyak 15% mengalami intimidasi, 19% dikucilkan, 22% dihina dan barangnya dicuri. 

Selanjutnya sebanyak 14% murid di Indonesia mengaku diancam, 18% Di dorong oleh temannya, dan 20% terdapat murid yang kabar buruknya disebarkan oleh pelaku bullying. 

 Komisi Perlindungan Anak 

Indonesia KPAI mengidentifikasi bahwa dalam kurun waktu 9 tahun semenjak tahun 2011 hingga 2019 terdapat 37.381 data pengaduan kekerasan terhadap anak. Kasus bullying baik yang terjadi dalam pendidikan maupun melalui media sosial angkanya terus meningkat (KPAI, 2019). Data pengaduan anak kepada KPAI bagai fenomena gunung es, yakni data yang terlapor sangat sedkit dibandingkan data perilaku bullying yang masih terjadi pada anak. Melihat skala dampak yang disebabkan dari tiga peristiwa tersebut, hal ini memperlihatkan gangguan perilaku yang dialami anak. Gangguan perilaku tersebut perlu diantisipasi sejak awal termasuk dalam lingkup pendidikan tingkat dasar agar tidak menjadi tali rantai yang semakin panjang. Anak- anak membutuhkan figur orang dewasa disekelilingnya untuk memberikan perlindungan dan keselamatan dari bahaya bullying. 

Sekolah idealnya menjadi tempat belajar yang menyenangkan bagi semua siswa, namun faktanya banyak pula perilaku bullying yang terjadi di sekolah termasuk pada tingkat sekolah dasar. Seperti hasil penelitian Sufriani (2017) tentang faktor-faktor yang mempengaruhi tindakan bullying pada anak usia sekolah di Sekolah Dasar Kecamatan Syiah Kuala Banda Aceh yakni faktor individu sebanyak 66,0%, faktor keluarga sebanyak 51,1% dan faktor media sebanyak 56,4%, faktor teman sebaya 56,4% dan faktor sekolah sebanyak 59,6%.  

Salah satu faktor munculnya perilaku bullying adalah faktor eksternalyakni lingkungan keluarga dan lingkungan sekolah. Pembentuk perilaku bullying dari lingkungan keluarga adalah kebiasaan pola asuh orang tua (Lereya, 2013). Pola asuh tersebut misalnya bagaimana orang tua melakukan tindakan kekerasan pada anak dan bagaimana anak mengamati orang tua melakukan tindakan kekerasan atau agresi pada orang lain.  

Pada umumnya pola lingkaran pertemanan terbentuk karena adanya kemiripan karakter satu siswa dengan siswa yang lain. Siswa yang cenderung agresif berimplikasi terhadap munculnya perilaku antisosial dilingkungan. Pengaruh informasi dari berbagai media misalnya film yang memunculkan adegan kekerasan dan tindakan agresif akan menjadi model bagi anak untuk melakukan perilaku bullying. Adanya lagu dengan lirik yang mengindikasikan terhadap tindakan agresif serta bermain video games juga menyumbang perilaku anti sosial (Rosen, 2017) 

Banyak penelitian tentang materi bullying khususnya yang terjadi dalam dunia pendidikan, namun masih ada kekurangan informasi tentang bagaimana orang tua merespons bullying. Orang tua belum semua memahami dan memiliki kesadaran tentang bahaya bullying pada anak terlebih pada siswa tingkat sekolah dasar. Berbagai penelitian telah menunjukkan bahwa anak-anak enggan melaporkan bahwa mereka adalah korban bullying kepada siapa pun termasuk kepada orang tua dan guru (Clark, Kitsinger,& Potter,2004; Matsunaga, 2009; Puhl,Peterson,&Luedicke, 2013; Stives, 2019). 

Penanganan perilaku bullying disekolah membutuhkan kerjasama yang baik dari berbagai pihak salah satunya peranan guru bimbingan dan konseling. Layanan bimbingan dan konseling pada level sekolah dasar sebenarnya telah memiliki regulasi yakni pada Peraturan Menteri Pendidikan Dan Kebudayaan Republik Indonesia nomor 111 tahun 2014 tentang bimbingan dan konseling pada pendidikan dasar dan pendidikan menengah, peraturan ini untuk mempertegas keberadaan bimbingan dan konseling dalam lingkup sekolah dasar. Dasar lain adalah diterbitkannya panduan bimbingan dan konseling di sekolah dasar tahun 2016 oleh Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan.Layanan bimbingan dan konseling dalam pelaksanaannya terbagi menjadi dua yakni sekolah dasar yang memiliki guru bimbingan dan konseling secara khusus dan bagi sekolah yang belum memiliki guru bimbingan dan konseling secara khusus. 

METODOLOGI PENELITIAN 

Penelitian menggunakan metode kajian literatur dari berbagai kajian pustaka dan artikel hasil penelitian yang relevan dengan tema. Analisis terhadap literatur bertujuan untuk mendapatkan sebuah gagasan ilmiah untuk mendapatkan gambaran layanan bimbingan dan konseling di sekolah dasar untuk mengatasi perilaku bullying. Pada beberapa literatur tertulis terbit pada tahun 1999 hal tersebut karena literatur tersebut merupakan salah satu induk teori dalam pembahasan bullying di tingkat sekolah dasar. 

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Jenis-Jenis Perilaku Bullying 

Bullying adalah bagian dari perilaku agresif yang biasanya diulang dan melibatkan ketidakseimbangan kekuatan antara target dan targetnya pelakunya (Gladden, Vivolo-Kantor, Hamburger, & Lumpkin, 2014); Olweus,1993). Di Amerika Serikat, hampir seperempat siswa usia 12--18 tahun melaporkan telah diintimidasi selama tahun sekolah (Zhang, MusuGillette, & Oudekerk, 2016; Stives 2019) dan 14% dari siswa kelas 3-12 dilaporkan menjadi korban Bullying 2-3 kali per bulan atau lebih (Olweus, 2019).  

Banyak efek yang dimunculkan dari perilaku bullying baik efek jangka pendek dan panjang dari segi psikososial, kesehatan mental, fisiologis, dan perilaku negatif lainnya. Efek ini muncul baik dari segi pelaku bullying maupun korban bullying. Konsekuensi umum yang dirasakan oleh teman sebaya sebagian besar adalah internalisasi, dan termasuk depresi, harga diri yang buruk, dan ide bunuh diri, sedangkan anak-anak dan remaja yang menggertak teman sebaya ditandai oleh eksternalitas masalah, seperti kekerasan, perilaku melanggar aturan, dan kenakalan. Pada tahap awal, intimidasi bukan hanya masalah kesehatan tetapi juga pelanggaran serius terhadap fundamental tatanan masyarakat (Limber, 2018). 

Bullying yang terjadi dilingkungan sekolah dilakukan oleh teman dan bahkan melibatkan kelompok siswa. Perbedaan pendapat, kondisi fisik, psikis, sosial, ekonomi, agama, budaya, dan jenis kelamin merupakan faktor pemicu munculnya perilaku bullying. Individu dengan gangguan pendengaran misalnya mendapatkan penghinaan karena gangguan fisik yang dimilikinya. Perbedaan status sosial yang dipermasalahkan menjadikan individu merasa rendah diri sehingga tidak sedikit diantara mereka yang mengalami tindakan tindakan bullying verbal berupa dihina dan diejek 

(Kartika, 2019) 

Hasil penelitian Smith (2016) menunjukkan bahwa individu, keluarga, kelas, sekolah, dan faktor negara yang lebih luas dapat memengaruhi peluang keterlibatan siswa dalam kasus bullying. Perilaku bullyingdi sekolah tidak dapat dipisahkan dari situasi dan kondisi sekolah, komponen sekolah, dan lingkungannya. Dalam tulisan ini perilaku bullying dibagi menjadi empat yakni : 

Verbal Bullying perundungan secara lisan misalnya mengatakan atau menulis hal-hal yang berarti. Verbal intimidasi meliputi, sindiran, saling mengata-ngatai, komentar seksual yang tidak pantas, mengejek, mengancam untuk menyebabkan kerusakan. 

Social Bullying Perundungan sosial yakni meliputi, merusak nama baik seseorang, atau membuat hubungan orang menjadi kurang baik, meninggalkan seseorang, mengatakan siswa-siswa lain untuk tidak berteman dengan seseorang, menyebarkan rumor tentang siswa yang ,memalukan di depan umum,   

Phisycal Bullying atau perundungan fisik meliputi, memukul, menendang,mencubit, peludahan, tripping/mendorong, mengambil atau merusakbarang seseorang, membuat gerakan yang kasar.  

Cyberbullying, didefinisikan sebagai berikuttindakan yang menggunakan teknologi informasi dan komunikasiuntuk mendukung perilaku bermusuhan secara disengaja dan atauberulang oleh seorang individu atau kelompok, yang dimaksudkanuntuk menyakiti atau merugikan orang lain.  

Definisi bullying di sekolah meliputi beberapa elemen kunci yaitu: fisik, verbal, atau serangan psikologis atau intimidasi yang dimaksudkan untuk menyebabkan rasa takut, tertekan, atau membahayakan korban, ketidak seimbangan kekuasaan (psikologis atau fisik), dengan anak yang lebih kuat (atau anak-anak) menindas yang kurang kuat; dan mengulangi insiden antara sesama anak-anak dalam jangka waktu lama (Roland, 1989; Farrington, 1993; Olweus, 1993). 

B. Strategi Layanan Bimbingan Dan Konseling Di Sekolah Dasar Untuk Mengatasi Perilaku Bullying 

Pelaksanaan bimbingan dan konseling sangat diperlukan di sekolah dasar, karena dalam praktiknya tidak sedikit diantara peserta didik yang mengikuti proses belajar mengajar menghadapi masalah yang berasal dari dirinya sendiri dan lingkungan sekitarnya. Di antara permasalahan peserta didik yang kerap ditemui di lapangan, meliputi bermain sendiri sewaktu guru sedang menjelaskan pelajaran, tidak mau mengerjakan pekerjaan rumah, bertengkar sesame teman, marah pada teman yang berbuat salah, tidak masuk sekolah, berbicara kotor (Astuti, 2016). 

Pengembangan layanan bimbingan dan konseling disekolah dasar yang efektif dalam mengatasi perilaku bullying membutuhkan pendekatan yang komprehensif. Peran serta guru kelas, guru mata pelajaran, teman sebaya, konselor sekolah, administrator serta orang tua. guru bimbingan dan konseling atau konselor berperan membantu tercapainya perkembangan pribadi, sosial, belajar, dan karir peserta didik. Langkah pertama yang harus dilakukan untuk menangani perilaku bullying pada siswa adalah mengenali dan menyadari bahwa perilaku bullying itu memang ada di sekolah (Kowalski & Morgan, 2017). 

Pada satuan pendidikan ini, guru bimbingan dan konseling atau konselor menjalankan semua fungsi bimbingan dan konseling, yaitu fungsi pemahaman, fasilitasi,penyesuaian, penyaluran, adaptasi, pencegahan, perbaikan, advokasi, pengembangan, dan pemeliharaan. Meskipun guru bimbingan dan konseling atau konselor memegang peranan kunci dalam sistem bimbingan dan konseling di sekolah, dukungan dari kepala sekolah sangat dibutuhkan. Sebagai penanggung jawab pendidikan di sekolah, kepala sekolah bertanggung jawab diselenggarakannya layanan bimbingan dan konseling. Selain itu, guru bimbingan dan konseling atau konselor sekolah harus berkolaborasi dengan pemangku kepentingan lain seperti guru kelas, guru mata pelajaran, wali kelas, komite sekolah, orang tua peserta didik, dan pihak-pihak lain yang relevan. 

Menurut Panduan Operasional Penyelenggaraan Bimbingan dan Konseling 2016, sumber daya penyelenggara layanan bimbingan dan konseling pada Sekolah Dasar, sumber daya guru bimbingan dan konseling atau 

konselor terdapat beberapa jenis; 

 

Guru bimbingan dan konseling atau konselor yang bertugas pada satu sekolah, 

Guru bimbingan dan konseling atau konselor yang bertugas dalam gugus yang terdiri dari 5-7 sekolah;  

Guru kelas yang bertugas sebagai guru bimbingan dan konseling atau konselor apabila di sekolah tersebut belum memiliki guru bimbingan dan konseling atau konselor. 

Pada sekolah yang ada guru bimbingan dan konseling atau konselor baik pada satusekolah maupun gugus, guru kelas berperan melaksanakan layanan bimbingan dan konseling yang terintegrasi dalam kegiatan pembelajaran, berkolaborasi dengan guru bimbingan dan konseling atau konselor memberikan layanan bimbingan dan konselingsesuai dengan kapasitas sebagai guru kelas, berkolaborasi dan mengembangkan jejaring dengan orang tua untuk mendukung keberhasilan peserta didik dalam mengikuti proses pembelajaran dan pendidikan. Pada sekolah yang belum tersedia guru bimbingan dan konseling atau konselor, guru kelas berperan: melaksanakan layanan bimbingan dan konseling secara terbatas setelah memperoleh pelatihan, berkolaborasi dan berjejaring dengan stakeholder untuk mendukung pencapaian perkembangan peserta didik yang optimal. 

Beberapa strategi layanan bimbingan dan konseling di sekolah dasar yang dapat dilakukan dalam mengatasi masalah bullying adalah : 

Layanan Dasar   

Layanan dasar adalah proses pemberian bantuan kepada semua peserta didik / konseling yang berkaitan dengan pengembangan sikap, pengetahuan, dan keterampilan dalam bidang pribadi, sosial, belajar, dan karir sebagai penjabaran tugas-tugas perkembangan mereka. Layanan dasar pada sekolah dasar dilaksanakan dalam aktivitas yang langsung diberikan kepada peserta didik /konseling adalah bimbingan kelompok, bimbingan klasikal,dan bimbingan lintas kelas. Aktivitas yang dilaksanakan melalui media adalah papan bimbingan, leaflet dan media inovatif bimbingan dan konseling.  

Bagi guru kelas yang menjalankan fungsi sebagai guru bimbingan dan konseling, layanan bimbingan klasikal dapat diintegrasikan dalam kegiatan pembelajaran tematik yang telah 

dijadwalkan dalam mata pelajaran masingmasing. Beberapa materi yang dapat disampaikan dalam layanan dasar untuk mengatasi perilaku bullying terkait keoptimalan tugas perkembangan dan ketercapaian Standar Kompetensi Kemandirian Peserta Didik SKPD. Tugas perkembangan berupa Memiliki kebiasaan dan sikap dalam beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa mengembangkan kata hati, moral, dan nilai-nilai sebagai pedoman perilaku serta tugas perkembangan membangun hidup yang sehat mengenai diri sendiri dan lingkungan. Aspek perkembangan  

landasan hidup religius, landasan perilaku etis, dan aspek kematangan emosi dapat diinternalisasikan dalam mata pelajaran Agama dan Budi Pekerti, pendidikan kewarganegaraan dan Ilmu Pengetahuan 

Sosial. 

Orang tua dan guru sering tidak yakin perilaku apa saja yang masuk dalam kategori bullying sehingga tidak mengherankan bahwa anak-anak mungkin tidak dapat mengenali ketika mereka mengalami perilaku bullying dari pihak lain. . Fakta tersebut sangat membingungkan bagi seorang anak ketika bullying terjadi di antara teman-temannya (Mishna, 2004; Stevens, 2019). Meskipun seorang anak dapat membayangkan mereka ditindas dan mencari bantuan dari orang tua dan guru mereka, anak itu mungkin enggan memisahkan diri dari interaksi teman sebaya sehingga membutuhkan tantangan untuk membedakan antara menggoda dan intimidasi yang sebenarnya (Mishna, Wiener, & Populer, 2008; Stevens, 2019)Layanan dasar dapat pula sebagai sarana untuk memaksimalkan fungsi pemahaman dan fungsi pencegahan dengan memberikan materi berupa apa saja yang masuk kategoriperilaku bullying dan bagaimana cara menghindarinya. Guru bimbingan dan konseling juga dapat memberikan materi berupa mengenali jenis-jenis perilaku yang mendukung dan perilaku yang menganggu teman. Materi tentang apa saja perilaku yang sesuai dengan norma agama dan norma sosial pada siswa sekolah dasar dapat diberikan sebagai fondasi yang baik bagi siswa sekolah dasar agar lebih menyadari bahaya perilaku bullying.  

Mengenalkan rasa empati sejak dini pada siswa merupakan salah satu rangkaian materi yang dapat diberikan dalam layanan dasar untuk mengatasi perilaku bullying. Guru bimbingan dan konseling mulai mengenalkan Ketidakmampuan anak untuk merasakan apa yang dirasakan korban bullying merupakan salah satu awal dari munculnya perilaku bullying pada siswa. Fenomena bullying merupakan suatu fenomena sosial yang muncul dalam dinamika kelompok karena makin kuatnya krisis empati dalam masyarakat (Olweus, 2019). 

Layanan Responsif 

Layanan responsif adalah layanan untuk memenuhi kebutuhan jangka pendek peserta didik, atau masalah-masalah yang dialami peserta didik/konseli yang bersumber dari lingkungan kehidupan pribadi, sosial, belajar, dan karir. Layanan terdiri ataskonseling individual, konseling kelompok, konsultasi, konferensi kasus, referal danadvokasi.  

Pada konteks layanan responsif di Sekolah Dasar, guru bimbingan dan konseling atau konselor memberikan intervensi secara singkat. Pada layanan responsif juga dilakukan advokasi yang menitik beratkan pada membantu peserta didik/konseli untuk memiliki kesempatan yang sama dalam mencapai tugas-tugas perkembangan. Guru bimbingan dan konseling atau konselor menyadari terdapat rintangan-rintangan bagipeserta didik yang disebabkan oleh disabilitas, jenis kelamin, suku bangsa, bahasa, orientasi seksual, status sosial ekonomi, pengaruh orangtua, keberbakatan, dansebagainya. Guru bimbingan dan konseling atau konselor harus memberikan advokasi agar semua peserta didik/konseli mendapatkan perlakuan yang setara selama menempuh pendidikan di Sekolah Dasar. 

Implementasi layanan responsif untuk mengatasi perilaku bullying adalah guru bimbingan dan konseling atau guru wali kelas membersamai dan mendampingi jika terdapat anak-anak yang memunculkan tanda-tanda menjadi korban bullying, beberapa tanda tersebut adalah 

(Olweus,2019): 

Kecemasan meningkat (jika membicarakan sekolah, atau tempat tertentu). 

Tidak mau ke sekolah (atau tempat tertentu). 

Terdapat memar yang tidak ingin diceritakan sebabnya. 

Percaya diri rendah (aku ini bodoh, aku tidak punya teman). 

Menggambarkan orang lain secara negatif (mereka nakal, mereka jahat) 

Bersikap menantang dan bisa ikut terlibat perkelahian di sekolah. 

Frustasi ketika tidak mampu melakukan sesuatu sesuai caranya. 

Tidak perduli ketika orang lain mengalami hal buruk. 

Siswa yang kita duga memiliki salah satu tanda diatas, membutuhkan intervensi lanjutan dari orang dewasa di sekitarnya misalnya orang tua dan pendidik di sekolah. Reaksi terhadap bullying pada siswa sekolah dasar termasuk pencarian bantuan dari guru dan pejabat sekolah lainnya mampu meningkatkan pendidikan untuk mencegah bullying terutama efek cyberbullying.  

Secara keseluruhan berdasarkan penelitian Stives 2019 terhadap 54 orang tua siswa didapatkan bahwa strategi yang digunakan oleh orang tua untuk menangani bullying adalah untuk merekomendasikan bahwa anak mereka harus memberi tahu seorang guru atau pendidik di sekolah. Hal ini dipertegas dalam Peraturan Menteri Pendidikan Dan Kebudayaan Republik 

Indonesia Nomor 82 Tahun 2015 tentang Pencegahan dan Penanggulangan Tindak Kekerasan di Lingkungan Sekolah bagaimana Implementasi dalam layanan responsif ini bertujuan untuk mencegah dan menanggulangi tindak kekerasan di lingkungan satuan pedidikan terhadap peserta didik, dengan mengembangkan kerjasama pada orang tua/wali peserta didik, pendidik, tenaga kependidikan, satuan pendidikan, komite sekolah, masyarakat sesuai dengan amanah undang undang yang berlaku di Indonesia. 

Layanan Kolaborasi  

Kolaborasi adalah suatu kegiatan kerjasama interaktif antara guru bimbingan dan konseling atau konselor dengan pihak lain (guru mata pelajaran, orang tua, ahli lain dan lembaga), yang dapat memberikan sumbangan pemikiran dan atau tenaga untuk mengembangkan dan melaksanakan program layanan bimbingan dan konseling. Kerjasama tersebut dilakukan dengan komunikasi serta berbagi pemikiran, gagasan dan atau tenaga secara berkesinambungan. Satu kegiatan yang dilakukan guru, orang tua,dan ahli lain dihargai setara dengan satu jam pelajaran, sementara dengan lembagadihargai setara dengan dua jam pelajaran. 

 Permendikbud 111 Tahun 

2014, dijelaskan bahwa kolaborasi adalah kegiatan fundamental layanan BK dimana konselor atau guru bimbingan dan konseling bekerjasama dengan berbagai pihak atas dasar prinsip kesetaraan, saling pengertian, saling menghargai dan saling mendukung. Semua upaya kolaborasi diarahkan pada suatu kepentingan bersama, yaitu bagaimana agar setiap peserta didik/konseli mencapai perkembangan yang optimal dalam aspek perkembangan pribadi, sosial, belajar dan karirnya. Kolaborasi dilakukan antara konselor atau guru bimbingan dan konseling dengan guru mata pelajaran, wali kelas, orang tua, atau pihak lain yang relevan untuk membangun pemahaman dan atau upaya bersama dalam membantu memecahkan masalah dan mengembangkan potensi peserta didik/konseli (Nugraha, 2017). 

Salah satu strategi paling efektif untuk mengurangi intimidasi adalah dengan mengadakan forum pelatihan. Agenda pertemuan untuk orang tua sehingga mereka dapat belajar lebih banyak tentang masalah mereka anak bagaimana untuk mungkin menghadapi jika anak mereka menjadi bagian dari lingkaran bullying (pelaku, korban, dan saksi). Dukungan orang tua yang lebih banyak terbukti menyebabkan lebih sedikit perilaku bullying disekolah serta peningkatan kesediaan untuk melindungi korban bullying (Wang et al., 2009; Stives, 2019). Peningkatan pengawasan tempat bermain dan manajemen kelas yang lebih baik juga berhasil mengurangi jumlah kamar insiden perilaku bullying disekolah (Ttofi & Farrington, 2011; Stives, 2019). Sehingga hal ini menjadi salah satu referensi untuk semua pihak yang berkaitan dalam praktik kegiatan belajar mengajar di sekolah dasar. Semua guru ikut terlibat dalam memantau anak didik terutama saat jam istirahat dan mengikuti kegiatan ekstra kurikuler. Pengelola sekolah membuat konsep ruang -ruang sekolah yang dapat diakses dengan mudah, sehingga tidak memberikan ruang yang tersembunyi untuk digunakan sebagai tempat bullying siswa kepada temannya. 

Layanan kolaborasi bermanfaat untuk memaksimalkan ikatan positif antara model pendidikan integrasi di keluarga dan sekolah yang ideal untuk menghentikan perilaku bullying di sekolah (Ahmed & Braithwaite, 2004, ; Stives, 2019).Salah satu program kolaboratif untuk mengatasi bullying pada siswa di lingkungan sekolah dasar adalah dengan program whole school approach. Menurut Firdaus (2019) whole school approach dilakukan untuk mensinergikan program sekolah dengan parenting program. Beberapa upaya yang dilakukan yakni mengaktifkan komite sekolah yang merupakan perwakilan dari orang tua siswa untuk merancang dan melaksanakan secara kolaboratif mengenai program-program sekolah yang disepakati, sehingga terjalin pertemuan yang rutin antara pendidik dan orang tua. Upaya selanjutnya yakni mengadakan kegiatan guru model, seorang guru mensimulasikan proses pembelajaran di sekolah agar orang tua dapat menyesuaikan dengan keadaan di rumah.  

KESIMPULAN 

Tulisan ini disiapkan sebagai dasar untuk pengembangan program bimbingan dan konseling pada lingkup sekolah dasar untuk mengatasi perilaku bullying.Strategi layanan dasar, layanan responsif, dan layanan kolaboratif yang dilakukan guru bimbingan dan konseling disekolah dasar harus mampu untuk : 

Menunjukkan kehangatan dan minat positif pada semua siswa;  

Menetapkan standar batasan untuk perilaku tertentu yang tidak dapat diterima (mengarah ke perilaku bullying);  

Menggunakan konsekuensi positif yang konsisten untuk mengakui dan memperkuat perilaku yang sesuai dan konsekuensi tertentu ketika aturan dilanggar untuk meminimalisir bullying; dan  

Menjadi orang dewasa yang baik (pendidik dan orang tua) yang berfungsi sebagai otoritas dan model positif bagi anak agar terhindar dari perilaku bullying. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
  11. 11
  12. 12
  13. 13
  14. 14
  15. 15
  16. 16
  17. 17
  18. 18
  19. 19
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun