PENDAHULUANÂ
Bullyingatau perundungan adalah masalah serius yang mempengaruhi siswa pada berbagai level usia di seluruh dunia dan membutuhkan perhatian dari orang tua dan pendidik. Bullying merupakan perilaku agresif yang melibatkan ketidak seimbangan kekuatan, perilaku diulangulang, atau memiliki potensi diulang (Olweus, 2019). Ketidakseimbangan kekuatan dimunculkan dari aspek fisik,akses mendapat informasi yang memalukan, popularitas yang dimiliki, dan keinginan untuk menyakiti orangÂ
lain.Terjadi lebih dari sekali atau memiliki kecenderungan perilaku untuk diulangi lebih dari sekali.Â
Data hasil riset Programme for International Students Assessment (Visa) 2018 menunjukkan murid yang pernah mengalami perundungan (bullying) di Indonesia sebanyak 41,1%.Angka murid korban bullying ini jauh di atas rata-rata negara anggota Organisation for Economic Celebration and Development (OECD) yang hanya sebesar 22,7%.Â
Indonesia berada di posisi kelima tertinggi dari 78 negara sebagai negara yang paling banyak murid mengalami perundungan. Selain mengalami perundungan, murid di Indonesia mengaku sebanyak 15% mengalami intimidasi, 19% dikucilkan, 22% dihina dan barangnya dicuri.Â
Selanjutnya sebanyak 14% murid di Indonesia mengaku diancam, 18% Di dorong oleh temannya, dan 20% terdapat murid yang kabar buruknya disebarkan oleh pelaku bullying.Â
 Komisi Perlindungan AnakÂ
Indonesia KPAI mengidentifikasi bahwa dalam kurun waktu 9 tahun semenjak tahun 2011 hingga 2019 terdapat 37.381 data pengaduan kekerasan terhadap anak. Kasus bullying baik yang terjadi dalam pendidikan maupun melalui media sosial angkanya terus meningkat (KPAI, 2019). Data pengaduan anak kepada KPAI bagai fenomena gunung es, yakni data yang terlapor sangat sedkit dibandingkan data perilaku bullying yang masih terjadi pada anak. Melihat skala dampak yang disebabkan dari tiga peristiwa tersebut, hal ini memperlihatkan gangguan perilaku yang dialami anak. Gangguan perilaku tersebut perlu diantisipasi sejak awal termasuk dalam lingkup pendidikan tingkat dasar agar tidak menjadi tali rantai yang semakin panjang. Anak- anak membutuhkan figur orang dewasa disekelilingnya untuk memberikan perlindungan dan keselamatan dari bahaya bullying.Â
Sekolah idealnya menjadi tempat belajar yang menyenangkan bagi semua siswa, namun faktanya banyak pula perilaku bullying yang terjadi di sekolah termasuk pada tingkat sekolah dasar. Seperti hasil penelitian Sufriani (2017) tentang faktor-faktor yang mempengaruhi tindakan bullying pada anak usia sekolah di Sekolah Dasar Kecamatan Syiah Kuala Banda Aceh yakni faktor individu sebanyak 66,0%, faktor keluarga sebanyak 51,1% dan faktor media sebanyak 56,4%, faktor teman sebaya 56,4% dan faktor sekolah sebanyak 59,6%. Â
Salah satu faktor munculnya perilaku bullying adalah faktor eksternalyakni lingkungan keluarga dan lingkungan sekolah. Pembentuk perilaku bullying dari lingkungan keluarga adalah kebiasaan pola asuh orang tua (Lereya, 2013). Pola asuh tersebut misalnya bagaimana orang tua melakukan tindakan kekerasan pada anak dan bagaimana anak mengamati orang tua melakukan tindakan kekerasan atau agresi pada orang lain. Â
Pada umumnya pola lingkaran pertemanan terbentuk karena adanya kemiripan karakter satu siswa dengan siswa yang lain. Siswa yang cenderung agresif berimplikasi terhadap munculnya perilaku antisosial dilingkungan. Pengaruh informasi dari berbagai media misalnya film yang memunculkan adegan kekerasan dan tindakan agresif akan menjadi model bagi anak untuk melakukan perilaku bullying. Adanya lagu dengan lirik yang mengindikasikan terhadap tindakan agresif serta bermain video games juga menyumbang perilaku anti sosial (Rosen, 2017)Â