Mohon tunggu...
Money

Hak Milkiyah dalam Kehidupan

18 Maret 2019   18:20 Diperbarui: 18 Maret 2019   18:43 2193
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ekonomi. Sumber ilustrasi: PEXELS/Caruizp

 Dalam masalah kepemilikan, individu, masyarakat dan Negara sebagai subyek ekonomi mempunyai hak-hak kepemilikan tersendiri yang ditetapkan berdasarkan syari'ah. Konsep kepemilikan menjadi sangat jelas dipaparkan oleh Hizbut Tahrir dalam kitabnya sistem ekonomi Islam. 

Dalam tulisan ini dijelaskan bahwa Islam membagi konsep kepemilikan menjadi kepemilikan individu (Al-Milikiyyah Al-Fardiyyah), kepemilikan umum (al-Milikiyyah al-Ammah), kepemilikan Negara (Milikiyyah al-Dawlah).

Islam mencakup sekumpulan prinsip dan doktrin yang memedomani dan mengatur hubungan seorang muslim dengan Tuhan dan masyarakat. Dalam hal ini, Islam bukan hanya layanan Tuhan seperti halnya agama Yahudi dan Nasrani, tetapi juga menyatukan aturan perilaku yang mengatur dan mengorganisir umat manusia baik dalam kehidupan spiritual maupun material.

Dalam pandangan Islam, pemilik asal semua harta dengan segala macamnya adalah Allah SWT karena Dialah Pencipta, Pengatur dan Pemilik segala yang ada di alam semesta ini:

"Kepunyaan Allahlah kerajaan langit dan bumi dan apa yang diantara keduanya. Dia menciptakan apa yang dikehendakiNya. Dan Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu". Sedangkan manusia adalah pihak yang mendapatkan kuasa dari Allah SWT untuk memiliki dan memanfaatkan harta tersebut.

"Berimanlah kamu kepada allah dan RasulNya dan nafkahkanlah sebagian dari hartamu yang Allah telah menjadikan kamu menguasainya..."
Seseorang yang telah beruntung memperoleh harta, pada hakekatnya hanya menerima titipan sebagai amanat untuk disalurkan dan dibelanjakan sesuai dengan kehendak pemilik sebenarnya (Allah SWT), baik dalam pengembangan harta maupun penggunaannya. 

Sejak semula Allah telah menetapkan bahwa harta hendaknya digunakan untuk kepentingan bersama. Bahkan tidak berlebihan jika dikatakan bahwa "pada mulanya" masyarakatlah yang berwenang menggunakan harta tersebut secara keseluruhan, kemudian Allah menganugerahkan sebagian darinya kepada pribadi-pribadi (dan institusi) yang mengusahakan perolehannya sesuai dengan kebutuhan masing-masing.

Sehingga sebuah kepemilikan atas harta kekayaan oleh manusia baru dapat dipandang sah apabila telah mendapatkan izin dari Allah SWT untuk memilikinya. Ini berarti, kepemilikan dan pemanfaatan atas suatu harta haruslah didasarkan pada ketentuan-ketentuan shara' yang tertuang dalam al-Qur'an, al-Sunnah, ijma' sahabat dan al-Qiyas. 

Sebagai sebuah sistem tersendiri, ekonomi Islam telah menjelaskan segala hal yang berkaitan dengan mekanisme perolehan kepemilikan, tata cara mengelola dan mengembangkan kepemilikan, serta cara mendistribusikan kekayaan tersebut di tengah-tengah manusia secara detail melalui ketetapan hukum-hukumnya. 

Atas dasar itu, maka hukum-hukum yang menyangkut masalah ekonomi dalam Islam, dibangun atas kaidah-kaidah umum ekonomi Islam (al-qawaid al-'ammah al-iqtisadi al-Islamyyah) yang meliputi tiga kaidah, yakni:

1. kepemilikan (al-milkiyyah),
2. mekanisme pengelolaan kekayaan (kayfiyyah al-tasarruf fi al-mal) dan
3. distribusi kekayaan di antara manusia (al-tawzi' al-tharwah bayna al-nas).
 Klasifikasi Hak Milik
1. Kepemilikan Individu (Private Property)

Hak milik individu adalah hak syara' untuk seseorang, sehingga orang tersebut boleh memiliki kekayaan yang bergerak maupun kekayaan tetap. Adalah fitrah manusia, jika dia terdorong untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhannya. 

Oleh karena itu juga merupakan fitrah, jika manusia berusaha memperoleh kekayaan untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan tersebut, serta berusaha untuk bekerja agar bisa memperoleh kekayaan tadi. Sebab, keharusan manusia untuk memnuhi kebutuhan-kebutuhannya adalah suatu kemestian, yang tidak mungkin dipisahkan dari dirinya.

Maka, usaha manusia untuk memperoleh kekayaan, disamping merupakan masalah yang fitri, hal itu juga merupakan suatu keharusan. Akan tetapi, dalam memperoleh kekayaan tersebut tidak boleh diserahkan begitu saja kepada manusia, agar dia memperolehnya dengan cara sesukanya, serta berusaha untuk mendapatkannya dengan semaunya, dan memanfaatkannya dengan sekehendak hatinya. 

Islam hadir dengan membolehkan kepemilikan individu serta membatasi kepemilikan tersebut dengan mekanisme tertentu, bukan dengan cara pemberangusan (perampasan). Sehingga dengan begitu, cara (mekanisme) tersebut sesuai dengan fitrah manusia serta mampu mengatur hubungan-hubungan antarpersonal di antara mereka. 

Islam juga telah menjamin manusia agar bisa memenuhi kebutuhan-kebutuhannya secara menyeluruh. Adapun pembatasan kepemilikan dengan menggunakan mekanisme tertentu itu nampak pada beberapa hal berikut ini:

a) Dengan cara membatasi kepemilikan dari segi cara-cara memperoleh kepemilikan dan pengembangan hak milik, bukan dengan merampas harta kekayaan yang telah menjadi hak milik.
b) Dengan cara menentukan mekanisme mengelolanya.
c) Dengan cara menyerahkan tanah kharajiyah sebagai milik negara, bukan sebagai hak milik individu.
d) Dengan cara menjadikan hak milik individu sebagai milik umum secara paksa, dalam kondisi-kondisi tertentu.
e) Dengan cara men-supply orang yang memiliki ketebatasan faktor produksi, sehingga bisa memenuhi kebutuhannya sesuai dengan ketentuan-ketentuan yang ada.

2. Kepemilikan Umum (Collective Property)

Kepemilikan umum adalah izin as-syari' kepada suatu komunitas untuk sama-sama memanfaatkan benda. Sedangkan benda-benda yang termasuk katagori kepemilikan umum adalah benda-benda yang telah dinyatakan oleh as-syari' bahwa benda-benda tersebut untuk suatu komunitas, dimana mereka masing-masing saling membutuhkan, dan as-syari' melarang benda tesebut dikuasai oleh hanya seorang saja. Benda-benda tampak pada tiga macam, yaitu:

a) Yang merupakan fasilitas umum, dimana kalau tidak ada di dalam suatu negeri atau suatu komunitas, maka akan menyebabkan sengketa dalam mencarinya.
b) Bahan tambang yang tidak terbatas.
c) Sumber daya alam yang sifat pembentukannya menghalangi untuk dimiliki hanya oleh individu secara perorangan.

Yang merupakan fasilitas umum adalah apa saja yang dianggap sebagai kepentingan manusia secara umum. Rasulullah saw. Telah menjelaskan dalam sebuah hadits, dari segi sifat fasilitas umum tersebut, bukan dari segi jumlahnya. Dari Ibnu Abbas, bahwa Nabi SAW. Berabda: "Kaum Muslimin berserikat dalam tiga hal, yaitu air, padang dan api." (H.R. Abu Daud). 

Anas meriwayatkan hadis dari Ibnu Abbas tersebut dengan menambahkan: wa tsamanuhu haram (dan harganya haram). Ibnu Majah juga meriwayatkan dari Abu Hurairah, bahwa Nabi Saw. Bersabda: "Tiga hal yang tidak akan pernah dilarang (untuk dimiliki siapa pun) yaitu air, padang dan api."

Oleh karena itu jelas, bahwa sesuatu yang merupakan kepentingan umum adalah apa saja yang kalau tidak terpenuhi dalam suatu komunitas apa pun komunitasnya, semisal komunitas pedesaan, perkotaan, ataupun suatu negeri, maka komunitas tersebut akan bersengketa dalam rangka mendapatkannya. Oleh karena itu, benda tersebut dianggap sebagai fasilitas umum. Contohnya, sumber-sumber air, kayu-kayu bakar, padang gembalaan hewan, dan sebagainya.

Adapun bahan tambang yang tidak tebatas jumlahnya, yang tidak mungkin dihabiskan, maka bahan tambang tersebut termasuk milik umum (collective property), dan tidak boleh dimiliki secara pribadi.

Imam At-Tirmidzi meriwayatkan hadits dari Abyadh bin Hamal, bahwa ia telah meminta kepada Rasulullah SAW Untuk mengelola tambang garamnya. Lalu Rasulullah memberikannya. Setelah ia pergi, ada seorang laki-laki dari majelis tersebut bertanya: "Wahai Rasulullah, tahukah engkau, apa yang engkau berikan kepadanya? Sesungguhnya engkau telah memberikan sesuatu yang bagaikan air mengalir." 

Rasulullah kemudian bersabda: "Tariklah tambang tersebut darinya." Benda-benda yang merupakan milik umum ini meliputi jalan, sungai, laut, danau, tanah-tanah umum, teluk, selat dan sebagainya. Juga bisa disetarakan dengan hal-hal tadi adalah masjid, sekolah milik negara, rumah sakit negara, lapangan, tempat-tempat penampungan dan sebagainya.

3. Kepemilikan Negara (State Property)

Milik negara adalah harta yang merupakan hak seluruh kaum muslimin, sementara pengelolaannya menjadi pandangannya. Makna pengelolaan oleh khalifah ini adalah, adanya kekuasaan yang dimiliki khalifah untuk mengelolanya. Inilah kepemilikan. Karena makna kepemilikan adalah, maka tiap hak milik yang pengelolaannya tergantung pada pandangan dan ijtihad khalifah, maka hak milik tersebut dianggap sebagai hak milik negara. 

Zakat tidak termasuk hak milik negara, melainkan milik ashnaf delapan yang telah ditentukan oleh syara'. Baitul mal hanya menjadi tempat penampungannya, sehingga bisa dikelola mengikuti obyek-obyeknya.

Nasionalisasi merupakan penambalan-penambalan sistem kapitalis, yaitu memindahkan hak milik individu menjadi hak milik negara. Apabila negara melihat, bahwa disana terdapat kemaslahatan umum yang mengharuskan untuk memiliki harta yang dimiliki secara pribadi. 

Negara tidak memaksakan nasionalisasi, namun negara memberikan pilihan. Apabila negara berkeinginan, maka bisa saja menasionalisasikan, namun bisa juga sebaliknya membiarkan harta tersebut tanpa dinasionalisasikan.

Kepemilikan merupakan suatu hal yg tidak asing bagi manusia dalam kehidupan sehari hari. Dengan adanya kemilikan seseorang dapat memiliki hak atas suatu benda, barang dll. 

Untuk memahami pemaparan tentang kepemilikan maka kita terlebih dahulu harus mengetahui definisi dari milik. Istilah milik berasal dari bahasa Arab yaitu milk yang berakar dai kata kerja malaka, milik dalam lughah (arti bahasa) dapat diartikan "Memiliki sesuatu dan sanggup bertindak secara bebas terhadapnya," (Hasbi Ash Shiddieqy,1989:8). 

Menurut istilah, milik dapat didefinisikan, "Suatu Ikhtisas yang menghalangi yang lain, menurut syari'at, yang membenarkan pemilik ikhtisas itu bertindak terhadap barang miliknya sekehendaknya, kecuali ada penghalang" (Hasbi Ash Shiddieqy,1989:8).

Kata menghalangi dalam definisi di atas maksudnya adalah sesutu yang mencegah orang yang bukan pemilik sesuatu barang untuk mempergunakan/memanfaatkan dan bertindak tanpa persetujuan terlebih dahulu dari pemiliknya. Sedangkan pengertian penghalang adalah sesuatu ketentuan yang mencegah pemilik untuk bertindak terhadap harta miliknya.

Sehingga dapat saya tarik kesimpulan dari definisi diatas kepemilikan adalah suatu kekuasaan seseorang terhadap sesuatu, baik berupa barang maupun yang lainnya. Di mana seseorang itu mempunyai hak sepenuhnya atas kekuasaan tersebut, sehingga seseorang itu mempunyai wewenang dan hak untuk menggunakan atau mengambil kebaikan dari sesuatu itu. Dan orang lain pun tidak mempunyai hak untuk mengambil dam memilikinya tanpa seizin dari pihak yang memilikinya. Dalam sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah RA:

Yang artinya :" Dari Abu Hurairah RA berkata: ada seorang laki-laki menghadap Rasulullah SAW, ia berkata : ya Rasulullah bagaimana pendapat kamu jika ada seorang laki-laki yang ingin merampas hartaku? 

Rasulullah menjawab : jangan kau berikan hartamu, ia berkata : bagaimana pendapat kamu jikalau ia ingin membunuhku? Rasulullah bersabda : bunuhlah dia, ia berkata : bagaimana pendapatmu jika dia telah membunuhku? Rasulullah bersabda : kamu mati syahid, ia berkata : bagaimana pendapatmu jikalau aku berhasil membunuhnya? Ia masuk neraka (HR Muslim)."

Dari hadits diatas dapat kita pahami bahwa memiliki harta atau menggunakan harta orang lain itu perbuatan yang tidak baik dan tidak boleh, apalagi mengambil harta orang lain dengan cara (merampas) itu adalah perbuatan yang sangat dilarang dan berdosa besar dan hukumnya adalah masuk neraka. Dan ini merupakan sebuah pembelajaran bagi kita semua khususnya Umat Muslim. Hukum-hukum kepemilikan atau hal-hal yang bisa membuat kita berkuasa atas barang milik orang lain, di antaranya:

1. Aqad,  yaitu hukum kekuasaan suatu barang akan pindah alih kepada kita (pihak kedua), jikalau sudah melakukan aqad kepada orang yang mempunyai kekuasaan atas barang tersebut (pihak pertama) dan pihak pertama menyetujuinya. Seperti contoh: aqad jual beli.

2. Penggantian, yaitu suatu nadzar, atau bentuk ucapan yang di lontarkan dari pemilik barang (pihak pertama) kepada orang yang akan di berikan barang (pihak kedua). Seperti contoh kita memberikan barang kepada seseorang yang kita sayangi.

3. Turunan dari seseorang atas sesuatu  yang dimilikinya, pengertian ini hampir mirip dengan pengertian yang kedua, yaitu suatu nadzar dari si pemilik barang (pihak pertama) kepada orang yang akan di berikan barang (pihak kedua) tapi nadzar ini di khususkan untuk orang yang mempunyai berhak atas barang dari pihak pertama. dalam pengertian ini seperti contoh : seorang ayah memberikan harta warisnya kepada anak-anaknya.

Dari pengertian dan hukum atas kepemilikan yang sudah di jelaskan diatas, sudah jelas bahwa memiliki atau memakai apa saja yang bukan haknya, atau milik orang lain maka itu tidak boleh, kecuali dengan seizin orang yang memilikinya, atau dengan cara akad, penggantian, dan turunan dari seseorang atas sesuatu yang dimilikinya(waris).

Dalam hadist lain yang diriwayatkan oleh : Rafi' bin Khadij RA  yang artinya : "Rasulallah bersabda: barang siapa menanam tanaman dilahan seorang kaum tanpa seizinnya, maka ia tidak berhak mendapatkan hasil tanamannya sedikitpun dan walaupun ia telah mengeluarkan modal (biaya) mengelolahnya (HR.Abu Daud)."

Dari sebuah hadist di atas, Rasulullah melarang seseorang untuk memakai lahan milik orang lain tanpa seizin pemiliknya misalnya menanam pohon, walaupun si penanam sudah mengeluarkan biaya yang besar untuk merawat pohon tersebut, tapi si penanam tidak berhak mengambil hasil dari pohon yang ditanamnya tersebut, karena belum mendapat izin dari sang pemilik tanah. Kalaupun si penggarap mengambil dari hasil tersebut, maka berdosalah bagi si penggarap.

Sehingga saya dapat menarik kesimpulan tentang bab "kepemilikan" bahwasannya kepemilikan bisa berpindah alih jika salah satu hukum hukum kepemilikan terpenuhi/ada. Dan janganlah kita mengambil secara paksa, menggunakan tanpa seizin pemiliknya, dan menggunakan yang bukan milik kita karena itu perbuatan yang dilarang oleh Agama

Hikmah Kepemilikan

Ada beberapa hikmah disyariatkannya kepemilikan dalam Islam, antara lain:

a. Terciptanya rasa aman dan tenteram dalam kehidupan bermasyarakat.
b. Terlindunginya hak-hak individu secara baik.
c. Menumbuhkan sikap kepedulian terhadap fasilitas-fasilitas umum.
d. Timbulnya rasa kepedulian sosial yang semakin tinggi.

Sebab-sebab Kepemilikan

Harta benda atau barang dan jasa dalam Islam harus jelas status kepemilikannya, karena dalam kepemilikan itu terdapat hak-hak dan kewajiban terhadap barang atau jasa, misalnya kewajiban zakat itu apabila barang dan jasa itu telah menjadi miliknya dalam waktu tertentu.
Kejelasan status kepemilikan dapat dilihat melalui sebab-sebab berikut:

a. Barang atau harta itu belum ada pemiliknya secara sah (Ihrazul Mubahat). Contohnya : Ikan di sungai, ikan di laut, hewan buruan, Burung-burung di alam bebas, air hujan dan lain-lain.

b. Barang atau harta itu dimiliki karena melalui akad (bil Uqud), contohnya: lewat jual beli, hutang piutang, sewa menyewa, hibah atau pemberian dan lain-lain.

c. Barang atau harta itu dimiliki karena warisan (bil Khalafiyah), contohnya: mendapat bagian harta pusaka dari orang tua, mendapat barang dari wasiat ahli waris.

d. Harta atau barang yang didapat dari perkembangbiakan ( minal mamluk). Contohnya : Telur dari ayam yang dimiliki, anak sapi dari sapi yang dimiliki dan lain-lain.
Macam-macam Kepemilikan.

Kepemilikan terhadap suatu harta ada tiga macam, yaitu :

a. Kepemilikan penuh (milk-tam), yaitu penguasaan dan pemanfaatan terhadap benda atau harta yang dimiliki secara bebas dan dibenarkan secara hukum.

b. Kepemilikan materi, yaitu kepemilikan seseorang terhadap benda atau barang terbatas kepada penguasaan materinya saja.

c. Kepemilikan manfaat, yaitu kepemilikan seseorang terhadap benda atau barang terbatas kepada pemanfaatannya saja, tidak dibenarkan secara hukum untuk menguasai harta itu.

Menurut Dr. Husain Abdullah kepemilikan dapat dibedakan menjadi :

a. Kepemilikan pribadi (Individu), yaitu suatu harta yang dimiliki seseorang atau kelompok, namun bukan untuk umum, Contohnya: rumah, mobil, sawah dan lain-lain. 

b. Kepemilikan publik (umum), yaitu harta yang dimiliki oleh banyak orang. Contohnya: Jalan Raya, laut, lapangan olah raga dan lain-lain.

c. Kepemilikan Negara Contohnya: Gedung Sekolah Negeri, Gedung Pemerintahan, Hutan dan lain-lain.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun