Sejak awal partai itu sudah 'menyandera' nama Joko Widodo sebagai kader partainya. Berulang-ulang istilah 'petugas partai' disebut oleh sang ketum, tanpa memikirkan kemungkinan pelecehan terhadap wibawa seorang kepala negara.
Partai berlambang banteng yang menyematkan istilah 'demokrasi' dalam namanya itu, kerap buat kegaduhan dan tidak mengindahkan nilai-nilai demokrasi itu sendiri.
Jika kita mengembalikan ingatan pada saat Presiden Jokowi baru terpilih, kala itu terlihat bagaimana PDIP begitu 'maruk' akan kekuasaan. Ambisi untuk mencalonkan 'orang dekat' Megawati, Budi Gunawan sebagai Kapolri begitu terlihat. Pasalnya KPK sudah berulang kali mengingatkan bahwa orang ini (BG) berbahaya. Selain rekening gendut, melejitnya karir BG juga dinilai bukan karena professionalitas, namun karena tujuan politis.
Pada saat itu mulailah babak awal kegaduhan politik di Indonesia. Lebih parahnya, ribut ribut itu juga melibatkan instansi pemerintah di bidang hukum, yakni Polri dan KPK. KPK dan Polri mulai saling serang dan saling tangkap. Berturut-turut pimpinan KPK dikriminalisasi setelah BG ditetapkan jadi tersangka oleh KPK.
Lucunya, gagal jadi Kapolri malah membuat BG naik pangkat dan bahkan diberikan jabatan sebagai Kepala BIN. Pengamat kepolisian Bambang Widodo Umar menilai, pemberian pangkat jenderal kepada Kepala Badan Intelijen Negara (BIN) Jenderal Budi Gunawan sarat unsur politis.
Dikutip dari halaman kompas.com, Bambang mengatakan, dinaikkannya pangkat Budi menjadi bintang empat mungkin dilakukan sebagai kompensasi karena dia pernah terhalang saat ingin menjadi kepala Kepolisian RI.
"Mungkin sebagai kompensasi karena dulu pernah akan dijadikan Kapolri, tetapi terhalang" ujar Bambang.
Mantan Kepala Badan Intelijen Negara Hendropriyono pun menilai bahwa posisi BG sebagai Kepala BIN bermuatan politik. Menurutnya, posisi BIN di era reformasi ini seperti jabatan politik layaknya menteri dan duta besar.
"Karena seperti jabatan politik, Budi Gunawan akan kurang berperan dalam hal teknis intelijen." (dalam Tempo.co)
Sebenarnya hal itu tak menjadi hal, mengingat kedekatan BG yang pernah menjadi ajudan pribadi Megawati. Namun bukan kali pertama Mega mencoba memasukan 'orang dekat'nya dalam lingkaran kekuasaan. Anaknya, Puan Maharani di plot sebagai Menteri PMK.
Sejak pengangkatannya sebagai Menteri PMK, Puan memang tak pernah luput dari kontroversi. Kepuasan publik terhadap kinerja Menteri Puan selalu rendah. Puan berada di urutan terendah dari tujuh menteri yang dipersepsikan berkinerja terburuk.
Menurut riset Alvara Reasearch Center, dari skala 1 (sangat tidak puas sekali) sampai 6 (sangat puas sekali), Puan Mendapatkan nilai 3,54, yang terendah di bawah Menko Perekonomian Sofyan Jalil 3,80, Menteri Hukum dan HAM Yasonna Laoly 3,85 dan Menko Bidang Politik Hukum dan Keamanan Tedjo Edy 3,88. Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pujiastuti mendapat kepuasan publik yang paling tinggi yakni 4,50.
Kedua orang itu, BG dan Puan, kini direncanakan untuk menjadi pendamping Jokowi di Pilpres 2019.
Selanjutnya adalah kegaduhan pansus hak angket KPK. PDIP menjadi salah satu pentolan geng pendukung pansus, yang dinilai banyak orang bertujuan untuk melemahkan fungsi KPK. Partai banteng itu pun mengirimkan  Masinton Pasaribu untuk posisi Wakil Ketua Panitia Khusus Angket DPR terhadap KPK.
Sejatinya, tujuan hak angket ini hanya ingin membuka rekaman penyidikan BAP Miryam, tersangka Korupsi e-KTP yang juga merupakan anggota dewan. Buktinya, setelah kisah kasih e-ktp telah sampai pada pengujung acara, partai-partai pendukung pansus mulai taubat dan membubarkan diri.
Dalam perjalanannya, PAN, PKS dan Gerindra ikut keluar dari kumpulan itu. Nasdem dan Golkar pun berencana keluar. Sementara Partai Demokrat sejak awal konsisten menolak hak angket KPK. Meski demikian PDIP tetap berada di dalam pansus KPK. Sekjen PDIP, Hasto Kristiyanto malah berencana memperpanjang masa kerja pansus.
Setelah perjalanan panjang pansus KPK, secara ajaib nama 3 politisi PDIP yang terlibat e-KTP hilang dari KPK. Nama-nama yang dihilangkan dalam dakwaan, menurut pengacara Setya Novanto, adalah, mantan pimpinan Komisi II DPR yang kini menjabat Menkumham Yasonna Hamonangan Laoly, dan mantan Pemimpin Banggar DPR yang kini menjabat Gubernur Sulut, Olly Dondokambey dan Ganjar Pranowo.
Selanjutnya ada lagi gaduh soal Perpu Ormas. Hasto menyebut, alasan PDIP mendukung Perpu Ormas semata karena sudah sesuai dengan tujuan menjaga konstitusi dan Pancasila dari ormas -ormas yang ingin mengganti Ideologi dan mengancam kedaulatan negara.
Partai Demokrat, PKB, dan PPP menerima aturan itu dengan syarat revisi terhadap sejumlah pasal krusial. Sedangkan tiga lainnya, yaitu Partai Keadilan Sejahtera, Partai Gerindra, dan Partai Amanat Nasional menolak aturan itu.
Akibat perpu ormas disahkan, masyarakat ribut. Rakyat merasa haknya dicabut dalam beorganisasi. Seharusnya organisasi masyarakat dirangkul, bukan dihilangkan haknya dalam berpolitik. Nyatanya, hanya dua lembaga yang mempunyai kekuasaan memberi dan mengesahkan ormas, yakni Kementeri Dalam Negeri atau Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia. Dua Kementerian yang dijabat oleh politisi PDIP.
Hebat betul dua kemeterian ini bisa tafsirkan pancasila dan menentukan mana ormas yang pancasila dan yang bukan. Sebuah tugas yang pada praktiknya telah memperluas domainnya dan masuk ke ranah yudikatif yang berwenang memutuskan sesuatu kegiatan dan lain hal bertentangan atau tidak bertentangannya dengan Pancasila ataupun UUD 1945.
Wewenang penafsiran Pancasila bisa diserahkan kepada Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) sebagai lembaga penafsir yang merupakan penjelmaan seluruh rakyat, dan yang memegang kuasa rakyat.
Sedang wewenang penghakiman terkait dengan pendapat Pemerintah tentang kegiatan sekelompok masyarakat yang dianggap dan diduga keras bertentangan dengan Pancasila maupun dengan UUD 1945, semua itu serahkan kepada Mahkamah Konstitusi sebagai pihak ketiga yang netral untuk memeriksa dan mengadilinya. Dengan demikian lebih objektif dan berkeadilan.
Bila ditelaah berdasarkan aspek demokrasi dengan menghubungkan pemberian wewenang penafsiran terhadap ideologi negara kepada MPR, dimana Negara ini menganut paham demokrasi, titik berat kekuasaan terletak pada rakyat. Kekuasaan pada Pemerintah berasal dari rakyat. Bagaimana bisa sebuah partai berlabel 'demokrasi' tapi tidak menjalankan hakikat demokrasi itu sendiri?
Kegaduhan terbaru adalah rencana pengangkatan perwira tinggi Polri sebagai penjabat gubernur. Meski Sekjen PDIP Hasto Kristianto tidak terima jika partainya dituding menggunakan alat kekuasaan demi memenangkan Pilkada 2018, rencana itu diusulkan sendiri oleh rekan satu tim "merah"nya, yakni Tjahjo Kumolo.
Lagi-lagi PDIP menyandera nama Presiden untuk memuluskan jalannya menuju kekuasaan. Tjahjo mengatakan, penunjukan pejabat Polri itu kunci terakhirnya berada pada pejabat di Istana, yaitu Presiden Joko Widodo. Sudah jelas terlihat apa tujuan semua ini. Dua daerah yang menjadi target adalah Jawa barat dan Sumatera Utara. Dua daerah itu potensial untuk meraup suara pada pilpres 2019, jika menang di Pilkada tahun ini.
Sebegitu takutnya kah PDIP menghadapi Pilkada sehingga harus melakukan cara tersebut? Kita sama-sama tahu ada satu yang mantan Kapolda yang diusung oleh PDIP dan juga satu partai dengan Mendagri.
Sedangkan untuk Sumut, PDIP juga memiliki pasangan calon kepala daerah yang diusung, yaitu Djarot Saiful Hidayat dan Sihar Sitorus. Jenderal Polri yang diplot di sana, Sormin kelahiran Tapanuli Utara, Sumut. keputusan Tjahjo mengusulkan dua jenderal Polri sebagai Plt Gubernur tak terelakan lagi untuk 'mengamankan' pemenangan di Pilkada Jabar dan Sumut.
Alasan menjaga netralitas dan kerawanan wilayah tersebut terbantahkan. Jika alasannya adalah untuk mengamankan dan menjaga netralitas, penunjukkan jenderal Polri sendiri sudah tidak netral. Â Masyarakat sudah cerdas dan bisa menilai calon pasangan kepala daerah yang bertarung di Pilkada Jabar dan Sumut.
Beginilah kalau partai yang belum terbiasa berkuasa memegang kendali. Sejak menjadi the rulling party, tak henti-hentinya kegaduhan melanda negeri ini. Cara apapun diperbolehkan untuk menjatuhkan lawan-lawan politiknya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H