Mohon tunggu...
Febrianti Christian
Febrianti Christian Mohon Tunggu... Lainnya - Manusia yang baru mengenal dunia. Beginner Writer.

Instagram : Poetry : @world_of_fesword

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Pelaut dalam Badai

26 Januari 2021   17:11 Diperbarui: 26 Januari 2021   17:23 809
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Prit! Byur ... Air kolam yang tenang mendadak gaduh dengan riak. Sekelompok orang berlomba mengayuh tangan dan kaki mereka membelah air, agar secepatnya tiba di sisi lain kolam. Sosok pelatih dengan sigap memegang stopwatch, menantikan kemajuan catatan waktu bagi para anak didiknya.

Sementara itu di sudut pintu, Awan memperhatikan para perenang dengan iri. Terlihat jelas kilat kemarahan dalam matanya yang gelap. Mulutnya terkatup rapat, namun hatinya sibuk mengutuk Tuhan.

"Pak Awan ? Mari saya antar ke Ruangan." Seorang petugas dari lembaga kesehatan mental menghampiri, dan dengan segera mendorong kursi rodanya menuju gedung di sebelah gelanggang olah raga ini.


Hari ini jadwal Awan menghadiri group konseling bagi para penyandang disabilitas baru, mereka yang tadinya mempunyai fisik normal, namun kini kehilangan salah satu atau beberapa fungsi indra pada fisiknya. Termasuk Awan, yang kedua kakinya harus diamputasi karena kecelakaan lalu lintas.

***

Tetesan air dari langit tanpa ragu menghujani aspal dengan derasnya. Mengakibatkan kumpulan sekelompok orang yang baru keluar kelas konseling, menumpuk di depan lobi demi menghindari basah. Awan mendorong kursi rodanya dengan gusar ke ujung lorong yang sepi, kemarahan berkecamuk dalam hatinya hanya karena hujan. Ya! Hujan bagi penyandang kursi roda sepertinya sangat menyebalkan. Licinnya lantai hingga sulitnya membersihkan lumpur pada roda di kursinya, tentu bukan hal yang menyenangkan bukan ? meskipun dalam kondisi Awan saat ini, sangat mustahil dapat menemukan hal yang menyenangkan baginya.

Awan menatap langit yang kelabu seperti hatinya, lagi-lagi ia sibuk menggerutu pada Tuhannya. 'hidupku sudah kau hancurkan dan kini aku mau pulang pun kau beri hujan!' gerutunya.

Tuk... sesuatu membentur ujung kursi roda awan. Ternyata itu adalah ujung sebuah tongkat penuntun. Dilihatnya seorang gadis memegang tongkat itu, ia sedang menunduk dan tangannya meraba-raba dalam kehampaan mencari keberadaan tempat duduk.

"majulah satu langkah"

Gadis itu menuruti perkataan awan dan menemukan apa yang dicarinya. Ia mengucapkan terima kasih dan perlahan duduk. Setelah beberapa menit keheningan, tuk... tongkat gadis itu kembali menyentuh kursi roda awan.

"maaf, aku hanya ingin tahu apakah kamu masih disitu atau tidak."

Awan tidak membalas sepatah katapun. Namun gadis itu bisa mendengar jelas hembusan nafas orang disebelahnya, sehingga ia tetap berusaha melanjutkan percakapan.

Namanya Sera, ia seorang penulis yang menjadi fasilitator di lembaga ini. Fasilitator adalah seorang penyandang disabilitas, yang dianggap sudah mampu berdamai dengan dirinya sehingga bisa memotivasi penyandang lain.

Dengan enggan, ketus, dan jauh dari kata ramah, Awan menanggapi celotehan Sera yang tidak berhenti sejak tadi. Berharap dengan sikapnya yang seperti itu, Sera akan menyerah mengajaknya bicara. Namun gadis itu tampaknya tidak peduli sedikitpun, ia berusaha terus melanjutkan percakapan.


"Bagaimana kelasmu?"

"Biasa."

"Apakah ada cerita yang menarik?

"Tidak."

"Lantas, bagaimana ceritamu?"

"Hidupku hanya penuh kesialan."

"Ah! Menurutku itu menarik! Maukah kamu bercerita ?"


Keheningan kembali di tengah percakapan mereka, hanya suara hujan yang terdengar untuk beberapa saat. Lalu Awan membuka mulutnya, bukan dengan nada ketus dan tidak ramah, kali ini suaranya terdengar lirih.

"Aku tertabrak Truk ketika menyelamatkan seekor kucing di tengah jalan raya,  kaki-ku terlindas ban dan ketika sadar di Rumah Sakit, kedua kakiku sudah hilang. Harga yang terlalu mahal untuk sebuah penyelamatan kucing".

Sera terdiam sejenak, tampak berpikir apa yang harus ia katakan.

"Apa kucing itu selamat ?"

"Apa kau lebih peduli dengan kucing itu dibanding hidupku yang hancur ?" Keketusan kembali mewarnai nada bicara Awan.

"Hidupmu tidak hancur, hanya berubah. Kita semua disini seperti itu."

"Hah! Mungkin bagimu mudah, Seperti kata orang-orang itu. Aku ini hanya butuh penyesuaian, semuanya akan membaik, yang terpenting aku masih hidup! Tidakkah kalian mengerti ? aku ini atlet renang! Pemenang medali emas Asian Games, bahkan aku seharusnya ikut Olimpiade! Tak pernah sekalipun kalah, tempat kedua pun tak pernah. Kolam adalah hidupku yang kini tak bisa kujalani. Tuhan mengambil hidupku!"

Kemarahan memuncak dalam diri Awan. Ia selalu kesal terhadap orang-orang yang bilang hidupnya akan membaik. Mereka hanya sok bersimpati! Tanpa pernah sedikitpun melangkah dijalan yang dihadapinya.

Tapi kemarahan yang bergejolak dalam hatinya bukan untuk orang-orang itu, melainkan untuk Tuhan-nya. Awan memang tidak begitu agamis, tapi setidaknya ia taat beribadah. Ia rajin menyumbang untuk kegiatan amal, juga jika sedang tidak ada latihan atau perlombaan, Awan aktif membantu kegiatan di tempat ibadahnya. Tapi apa yang Tuhan berikan ? ia hendak menyelamatkan makhluk hidup namun malah celaka. Tuhan hanya memberinya nafas kembali, bukan hidupnya! Dimana Tuhan yang katanya maha adil dan maha kasih ?

Tangan Sera menepuk perlahan pundak Awan, entah bagaimana tangan itu dapat menemukan sasarannya dengan tepat. Walaupun Sera tidak bisa melihat, namun mendengar sepenggal kisah Awan dan segala kemarahannya membuat gadis itu merasa bercermin. Ia melihat sosok dirinya beberapa tahun yang lalu dalam diri Awan. Seorang gadis bodoh yang hanya penuh kemarahan dan tidak pernah bersyukur.

"Tuhan tidak mengambil hidupmu, ia hanya merubah arah jalanmu dengan pemandangan yang lebih indah."

Tangan Sera memegang erat pundak Awan, berusaha membagi kekuatan yang ia punya.

"Kau penulis! Mungkin tidak mudah, tapi bagaimanapun kau bisa tetap menulis walau kini dengan huruf braille. Tapi aku perenang, bagaimana bisa aku berenang tanpa kaki ?!"

Kemarahan Awan sudah sedikit surut, digantikan kembali oleh keketusannya. Kata orang-orang, asal ia berlatih keras ia akan bisa kembali berenang. Namun sekeras apapun ia mencoba, ia tetap tenggelam dalam kolamnya. Otot tangannya mengayuh hingga menjerit, namun tanpa kaki ia terus kembali tertarik ke dasar kolam. Ia hampir mati oleh kehidupannya sendiri.

Ia seperti berjalan dalam lorong gelap, sejak kecil dunia yang ia tahu hanya renang. Sebelum kakinya menapak tegap ditanah, ia sudah terlebih dahulu mengepak-ngepak di air. Bahkan ia pun selalu menempuh pendidikan di sekolah khusus atlet. Teman-teman nya semua adalah atlet. Ketika dunia yang dikenalnya selama ini menghilang, ia seperti terlempar dari kehidupan, tidak ada pintu untuk terus maju, tapi ia juga tidak bisa kembali.

Sera mengarahkan pandangannya ke arah Awan, walau ia tidak bisa melihat tapi ia bisa merasakan raut kebimbangan diwajah Awan. Lagi-lagi gadis itu merasa Awan adalah sebuah cermin dirinya, selama ini kemarahan Laki-laki itu adalah kebingungannya sendiri dalam menemukan pintu ke kehidupan yang baru. Ia menghela napas, dan bercerita kehidupan lampaunya.

"Aku dulu pelukis. Tapi bagaimana bisa seorang buta menjadi pelukis ? membuat garis lurus pun aku tak mampu. Berbulan-bulan aku mengurung diriku dalam kamar, tidak pernah keluar selangkahpun. Sampai akhirnya aku bisa berdamai dengan diriku, dan kemudian aku menemukan cara lain menggambar. Kini aku menggambar dalam kata-kata, dan tak kalah indahnya"

Gadis itu mengambil sebuah buku dari dalam tasnya, ia meraba cover buku itu, garis-garis yang timbul membentuk gambaran sebuah kapal, sebuah buku dongeng berjudul "Pelaut Dalam Badai". Ia menaruh buku itu ke tangan Awan, sambil bercerita :

"Kata orang bijak, Pelaut handal pun tahu bahwa ia tidak mungkin melawan badai. Disaat laut bergejolak dan angin bising menghatam kapalnya, seorang kapten hanya mengikuti arus sambil memegang penuh kendali kemudi, agar kapalnya tak menabrak karang dan kandas. Tentu badai sangat menyebalkan baginya, tapi badai selalu membawanya pada pelangi. Pemandangan yang tak pernah mengecewakannya. Setelah lautnya tenang, barulah ia menentukan tujuannya kembali.

Bagaimana jika kapten tadi memaksa layarnya melawan angin ? Menurutku mungkin angin akan merobeknya dan membalikan kapalnya di tengah lautan. Kapten itu akan mati tenggelam, hanya untuk mengenang gelapnya badai tanpa melihat indahnya pelangi. Hidup tidak selalu tentang berjuang, namun ada saatnya kita hanya bisa bertahan agar tak tenggelam."

Sera termenung, tanpa sadar tangan kanannya memegang pergelangan tangan kirinya. Ia menyentuh luka yang menjadi kenangan akan kebodohannya dalam menyia-nyiakan kehidupan dan kesempatan.

Sementara itu, Awan merenungkan perkataan gadis disebelahnya. Bermacam-macam buku penuh kata-kata motivasi tergeletak begitu saja di kamarnya, bahkan orang-orang terdekatnya yang juga memberikannya kata-kata penyemangat pun tidak dapat meredam gejolak hatinya. 

Namun mengapa perkataan gadis yang baru dikenalnya kurang dari satu jam ini begitu menentramkan? Suaranya yang lembut dan tenang dalam bercerita kisah tadi seperti magis yang merasuki relung hatinya, yang menyadarkannya bahwa ia lelah!

Tanpa sadar Awan meneteskan air mata, kemarahannya mendadak sirna berganti dengan rasa lelah. Perlahan ia mengerti, Orang-orang yang selama ini memberinya semangat hanya membuatnya tertekan, karena mereka berharap Awan segera bahagia tanpa waktu bersedih. Ia seakan dipaksa untuk berdiri tanpa kaki, ia bingung dan tidak tahu caranya, akhirnya ia marah pada Tuhan yang mengambil kakinya.

Tapi Sera, gadis itu seakan menyuruhnya berhenti berjuang. Mengambil waktu untuk kesedihan dirinya sendiri. Agar setelah air matanya habis, ia bisa melihat lebih jelas, sebersit cahaya dari pintu yang terbuka untuknya.

Awan menghapus air matanya, ia merasakan tangan Sera kembali menepuk pundaknya perlahan.

"Apakah buku ini untukku ?" tanya Awan kali ini dengan ramah.

"Ambilah, kau lebih membutuhkan itu. Kata ibuku meski penuh dengan huruf braille, tapi buku itu juga menuliskan ceritanya dengan alphabet. Ia sering membacakannya ketika aku masih kehilangan arah seperti mu."

"Terima kasih, sepertinya Tuhan menuntunmu kepada ku ya hari ini" tidak ada lagi nada ketus bahkan kemarahan. Saat ini suara Awan tulus untuk berterima kasih, entah kepada Sera atau kepada Tuhan yang sudah lama ia limpahi akan kemarahannya.

Sera membalasnya dengan senyuman tulus dan bahagia, ia yakin Awan sedang melihat ke arahnya saat ini. Ia bahagia karena dapat menunjukan sedikit arah pada pria di sebelahnya. Ia tahu pasti bahwa Awan akan dapat memperjelas arah itu dengan sendirinya, karena hanya kapten kapal sendirilah yang tahu kemana tujuannya.

Dari cerita hidupnya, Sera sadar bahwa dahulu matanya hanya bisa melihat lukisan saja. Sekarang Saat semua warna dan gambar menghilang, gadis itu merasa bisa melihat seluruh dunia. Pada waktu yang tepat nanti, Awan pun akan bisa berenang lebih jauh dalam kehidupannya.

Biiiipp... bunyi klakson yang menandakan jemputan Awan sudah tiba, lalu sopir mobil tersebut dengan sigap turun dan menghampiri Awan.

"Apakah kamu berhasil menolong kucing itu ?" Sera merasa harus menuntaskan rasa penasarannya sebelum berpisah dengan Awan.

"Kucing itu selamat"

"Setidaknya itu menjadikanmu manusia berharga. Pengorbananmu untuk makhluk hidup itulah yang menjadi hargamu, dan itu menjadikanmu dirimu mahal."

Garis bibir Awan membentuk senyuman tipis amat samar, tapi itulah senyuman pertamanya. Kemudian sera menyerahkan sebuah kartu nama, agar Awan dapat menghubungi nya kapan pun dibutuhkan.

Hujan sudah berhenti, namun awan mendung masih bergelayut manja di langit seperti hati Awan. Walau badai masih berkecamuk, namun kini ia tahu bagaimana menghadapinya. Ia memutuskan mengikuti kemana badai membawanya untuk melihat pelangi. Setiap hidup adalah lautan, dan ia adalah pelaut di hidupnya sendiri.

Ia membalik buku yang diberikan Sera, satu kalimat tertulis tebal "Tuhan selalu memberi kesempatan untuk kamu, menjadi versi terbaik dirimu". Sebuah kalimat yang kelak akan menjadi pegangannya dalam kehidupannya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun