Gagasan ini berasal dari Jokowi dan tim ekonominya pada periode pertama pemerintahannya, termasuk di dalamnya Rini Soemarno sebagai eksekutornya.
Terbukti dengan mulai terbentuknya berbagai holding BUMN dijaman Rini. Mengapa harus BUMN yang dijadikan SWF? Karena potensinya memang ada, bayangkan ada aset sebesar Rp.8.200 triliun berputar di perusahaan pelat merah ini.
Jumlah yang sangat besar apalagi revenue yang berpotensi didapatkan dari BUMN untuk tahun 2019 ini saja bisa mencapai Rp.220 trliun.
Nah kemudian berkaca  pada keberhasilan Temasek Holding Singapore dan Khazanah Berhad Malaysia yang merupakan salah satu manifestasi dari SWF,  memberikan tambahan keyakinan bahwa Super Holding BUMN ini akan dijadikan sebagai pengelola investasi milik pemerintah.
Namun agar membuat Super Holding BUMN itu bisa moncer seperti Temasek dan Khazanah ada prasyarat tertentu yang harus di lakukan oleh pemerintah Indonesia, diantaranya dengan mengeluarkan BUMN-BUMN yang masih berfungsi sebagai pengusung Public Service Obligation(PSO).
Jika mengacu pada Temasek, perusahaan-perusahaan yang masih memberikan subsidi dalam produknya akan dikembalikan ke kementerian teknis masing-masing. Jadi yang ada di dalam Holding Temasek itu seluruhnya full komersial yang sepenuhnya diberi tugas untuk menghasilkan keuntungan bagi negara.
Hal ini yang akan menjadi tantangan besar bagi Pemerintah Indonesia jika memang mau melakukan hal seperti itu. Karena BUMN di Indonesia masih banyak sekali yang dibebani sebagai social agent.
Di kebanyakan negara, SWF secara struktural ada di bawah Kementerian Keuangan pemerintahnnya karena ia mengelola keuangan negara dalam kerangka yang berbeda, sementara Temasek itu bertanggung jawab langsung kepada Presiden Singapura. Bahkan untuk pergantian Direksi dan Komisarisnya harus atas dasar persetujuan Presiden.
Kenapa saya selalu mencontohkan Temasek sabagai acuan, karena dalam beberapa kesempatan Rini Soemarno bahkan Jokowi seperti mengiyakan bahwa Super Holding BUMN ini akan seperti Temasek, walaupun tentu saja akan ada adjustment-adjusment tertentu dalam pelaksanaannya.
Sebenarnya Kementerian BUMN itu sudah seperti Super Holding dalam bentuk lain, walaupun secara prinsip jelas berbeda. Karena yang namanya Kementerian itu merupakan bagian dari pemerintah, intervensi politik menjadi biasa saja, birokrasinya pun masih rigid sepertinya layaknya birojrasi pada umumnya.
Berbeda jika menjadi sebuah perusahaan pengelola seutuhnya, agilitynya akan tinggi karena mereka tak akan bertindak birokratis. Intervensi politik akan minimal meskipun dalam beberapa hal besar faktor politik tetap akan menjadi bahan pertimbangan dalam membuat keputusan. Tapi day to day operasional hampir dapat dipastikan terbebas dari unsur politik.