Artinya pembayaran tunai, sepanjang  dilakukan menggunakan mata uang Rupiah harus diterima tanpa alasan apapun, apabila tidak, berpotensi melanggar undang-undang yang bisa dimaknai melanggar hukum.
Seperti yang dijabarkan secara jelas dan terang dalam Pasal 33 ayat 2 UU Mata UangÂ
"Setiap orang dilarang menolak untuk menerima Rupiah yang penyerahannya dimaksudkan sebagai pembayaran atau untuk menyelesaikan kewajiban yang harus dipenuhi dengan Rupiah dan/atau untuk transaksi keuangan lainnya di Wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia, kecuali karena terdapat keraguan atas keaslian Rupiah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 dipidana dengan pidana kurungan paling lama 1 (satu) tahun dan pidana denda paling banyak Rp200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah)."
Bisa disimpulkan, di era digital ini, sistem pembayaran non-tunai (cashless payment) memang semakin populer.Â
Namun, hal ini tidak berarti bahwa pembayaran tunai menjadi tidak relevan. Undang-undang yang berlaku di Indonesia mengatur bahwa Rupiah sebagai alat pembayaran yang sah wajib diterima.Â
Penolakan terhadap pembayaran tunai merupakan tindakan yang melanggar hukum dan dapat dikenakan sanksi pidana.
Apalagi jika kita potret dengan lebih seksama, tak semua warga negara Indonesia sudah paham benar dengan penggunaan sistem pembayaran digital.
Tinjau Ulang Rencana Kebijakan Penghapusan Loket di StasiunÂ
Dalam konteks pengguna Kereta Commuter, hal itu jelas terlihat. Dari pengalaman saya yang setiap hari menggunakan moda transportasi shuttle berbasis rel tersebut, masih banyak kok calon pengguna Kereta Commuter yang mengantri di loket isi ulang tunai tiket elektronik apalagi pada hari libur.
Itu artinya, belum saatnya lah menghilangkan loket-loket isi ulang tunai di setiap stasiun KCI. Berdasarkan pengalaman dan berbagai informasi yang saya dapatkan, di Singapura saja yang warganya lebih edukatif dan cenderung homogon dari sisi pendidikan dengan tingkat pemahaman sistem pembayaran digital sangat tinggi, masih memberi ruang bagi pembayaran tunai.
Pun demikian dengan negara-negara maju di Eropa seperti Inggris dan Perancis.
Jangan sampai, hanya karena ingin dianggap maju, modern dan demi kemudahan operasional perusahaan, malah menimbulkan keruwetan tersendiri bagi para pengguna yang tak paham atau tak memiliki kapabilitas cukup untuk bertransaksi secara digital, seperti para lansia dan para pendatang, Â serta mereka yang belum kenal pembayaran digital.
Mungkin saja mereka hanya minoritas, tapi harus ingat KCI ini merupakan angkutan massal yang penggunanya sangat heterogen, dari segala sisi.Â