Sebelum lanjut ke pembahasan utamanya, saya pikir perlu menerangkan terlebih dahulu apa itu "Annus Horribilis" seperti judul tulisan sederhana ini.
Tentu saja ini, tak ada hubungannya dengan salah satu bagian anggota tubuh, walaupun pelafalannya serupa.Â
Annus Horribilis
Mengutip Britannica, annus horribilis merupakan frasa yang berasal dari bahasa latin yang memiliki arti "tahun yang mengerikan".
Frasa ini dikenal publik dunia secara luas, setelah Ratu Elizabeth II, menyampaikan hal tersebut pada pidato akhir tahun, di tahun 1992. Tahun itu dalam pandangan Sang Ratu, merupakan tahun "mengerikan" bagi Inggris, khususnya buat Keluarga Kerajaan, yang ditandai oleh munculnya berbagai skandal dan bencana.
Tahun 1992 Pangeran Charles resmi berpisah dengan Lady Diana, dan penerbitan Buku Biografi Lady Diana karya Andrew Morton yang cukup menghancurkan citra Keluarga Kerajaan.
Nah, saya merasa frasa annus horribilis ini tepat disematkan pada kondisi daya beli masyarakat Indonesia pada tahun 2025 mendatang.
Bagaimana tidak menjadi "tahun yang mengerikan," jika di awal tahun saja "kita" rakyat Indonesia akan dibanjiri dengan berbagai pungutan baru dan kenaikan tarif, yang pastinya akan membuat kantong kita yang sudah tipis ini, terkuras lagi, mungkin bisa menjadi "setipis rambut dibelah tujuh."
Kenaikan tarif Pajak Pertambahan Nilai atau PPN, tak akan menjadi satu-satunya faktor yang meggerus isi dompet rakyat Indonesia pada tahun depan.
Paling tidak akan ada enam rencana pungutan atau kenaikan tarif yang sedang menanti untuk diterapkan Pemerintah Prabowo, dan jika jadi dilaksanakan potensial menghantam secara telak daya beli masyarakat, khususnya kelas menengah yang pada akhirnya akan menjadikan pertumbuhan ekonomi nasional sebagai korbannya.
Banjir Pungutan atau Kenaikan Iuran dan Tarif
Selain PPN yang tarifnya naik dari 11 persen menjadi 12 persen, begitu kita mulai menginjakan kaki di tahun 2025, seperti yang sudah kita mafhumi bersama.
Opsen PKB
Opsen Pajak Kendaraan Bermotor (PKB) merupakan pajak yang sudah hampir pasti diterapkan di awal 2025.Â
Mengutip Kompas.com, mulai tanggal 5 Januari 2025 Pemerintah juga akan menerapkan opsen pajak kendaraan bermotor (PKB) seperti yang tertuang dalam Pasal 191 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 tahun 2020 tentang Hubungan Keuangan antar Pemerintah Pusat dengan Pemerintah Daerah.
Opsen PKB adalah pungutan tambahan oleh Pemerintah Kota atau Kabupaten berdasarkan pokok PKB sesuai dengan peraturan yang berlaku.
Dengan opsen PKB ini, para pemilik kendaraan bermotor harus membayar tujuh komponen pajak, yaitu, BBNKB, opsen BBNKB, PKB, opsen PKB, Sumbangan Wajib Dana Kecelakaan Lalu Lintas Jalan (SWDKLLJ), serta biaya administrasi STNK dan TNKB. Dan pembayarannya dilakukan di Samsat saat membayar pajak kendaraan bermotor.
Kemudian yang juga sudah pasti bakal dirasakan kenaikannya adalah harga jual eceran rokok.
Harga Jual Eceran Tembakau
Meskipun kenaikan cukai 2025 telah dibatalkan Pemerintah, tetapi melalui dua Peraturan Menteri Keuangan (PMK) nomor 97 tahun 2024 yang ditandatangani oleh Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati pada 4 Desember 2024, harga jual eceran rokok akan naik pada saat peredaran Bumi memasuki tahun 2025.
Langkah ini dilakukan untuk mendukung pengendalian konsumsi tembakau, melindungi industri tembakau padat karya, dan demi menambah penerimaan negara.
Besaran kenaikan harga ecerannya, seperti diatur dalam beleid itu berkisar antara yang tertinggi 18,6 persen hingga terendah 4,8 persen tergantung jenis dan golongannya.
Di luar pungutan dan kenaikan yang sudah pasti tadi, terdapat beberapa rencana pungutan atau kenaikan iuran dan tarif yang sepertinya akan dilakukan tahun 2025, meskipun kepastiannya belum dikonfirmasi secara valid oleh pemerintah.
BPJS Kesehatan
Diantaranya, rencana kenaikan iuran BPJS Kesehatan seperti yang disebutkan dalam Peraturan Presiden nomor 59 tahun 2024, tentang penetapan manfaat, tarif, dan iuran yang akan diterapkan pada 1 Juli 2025.
Selain aturan, kondisi keuangan aktual BPJS Kesehatan yang terancam defisit hingga Rp20 triliun memaksa iuran peserta Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) harus dinaikan.
Tapera
Lantas ada kemungkinan Iuran Tabungan Perumahan Rakyat (Tapera) segera diberlakukan pada tahun yang sama juga, seperti yang diamanatkan Undang-Undang nomor 4 tahun 2016 yang diperkuat dengan Peraturan Pemerintah (PP) nomor 21 tahun 2024 tentang Tabungan Perumahan Rakyat.
Dalam aturan yang lain, yakni PP nomor 25 tahun 2020, pemberi kerja wajib mendaftarkan seluruh pekerjanya ke BP Tapera, paling lambat tahun 7 tahun setelah undang-undangnya disahkan.
Namun, seperti kita tahu langkah tersebut sudah dimulai sejak tahun ini, termasuk penarikan iurannya, hanya karena ada penolakam uji cobanya ditunda hingga tahun 2025 sebelum diimplementasikan secara penuh tahun 2027.
Nantinya Iuran Tapera wajib dibayarkan ASN dan pegawai swasta dengan besaran 3 persen dari gaji pokok plus tunjangan.
Asuransi TPL
Selanjutnya potensi masyarakat untuk mengeluarkan uang datang lagi dari Asuransi Kendaraan Bermotor, Third Party Liability atau Asuransi TPL yang oleh pemerintah akan dilekatkan menjadi sebuah kewajiban ketika memiliki kendaraan bermotor.
Mengutip Otoritas Jasa Keuangan (OJK), Asuransi TPL adalah Asuransi yang menanggung risiko tuntutan pihak ketiga apabila kendaraan yang dimilikinya mengakibatkan kerugian pihak lain.
Kewajiban Asuransi TPL ini merupakan amanat Undang-Undang P2SK yang aturan pelaksananya kini sedang digodog untuk mengejar batas penerapan pada 12 Januari 2025.
Sudah cukup, tentu saja belum!  Terdapat beberapa  "calon" kebijakan seputar pungutan dan tarif yang sepertinya bakal membuat bahu rakyat indonesia yang pada dasarnya sudah tidak kencang lagi semakin terbebani.
Rencana Pungutan Lainnya
Misalnya, tentang rencana pengenaan cukai minuman berpemanis dalam kemasan (MBDK) yang menurut Undang-Undang APBN 2025 telah ditetapkan penerapannya pada tahun tersebut.
Tujuan dari pengenaan cukai MBDK ini selain menambah penerimaan negara, juga untuk mengendalikan konsumsi gula berlebih di masyarakat serta mengurangi beban biaya kesehatan yang dikeluarkan oleh Negara.
Rencananya untuk awal tarif cukai MBDK akan berkisar di angka 2,5 persen untuk kemudian meningkat secara bertahap hingga maksimal 20 persen.
Namun demikian, menurut pihak Direktorat Jenderal Bea dan Cukai Kementerian Keuangan meskipun telah masuk dalam Undang-Undang APBN 2025, penerapan kebijakan tersebut masih menunggu aturan teknisnya berupa Peraturan Pemerintah (PP) dan Peraturan Menteri Keuangan (PMK).
Intinya kebijakan cukai MBDK ini, masih dalam tahap pembahasan dan di review lebih lanjut pada tahun ini.
"Kami sampaikan bahwa kebijakan itu akan kami review di 2025 sebab kita mengikuti perkembangan ekonomi 2025 yang belum berjalan dan kita ada mekanisme untuk melakukan review internal pemerintah," kata Dirjen Bea dan Cukai Kemenkeu,Askolani. Seperti dilansir Kontan.co.id.
Kenaikan beban keuangan masyarakat, juga bisa timbul dengan kebijakan konversi subsidi energi menjadi bantuan tunai langsung (BLT), yang kini masih terus dirampungkan oleh pemerintah.
Jangan lupa, desas-desus otak-atik subsidi untuk pengguna KRL dengan basis Nomor Induk Kependudukan (NIK) juga masih terbuka untuk tetap diberlakukan.
Bayangkan, apabila seluruh pengutan, kenaikan tarif dan otak-atik subsidi yang akan berimbas pada terkurasnya dompet rakyat Indonesia tersebut, diberlakukan secara bersamaan pada tahun 2025 mendatang, apa tidak akan mengerikan.
Dampak Hujan Pungutan
Berbagai tumpukan pungutan, iuran dan kenaikan tarif yang menurut rencanannya akan diberlakukan tahun depan pasti akan membuat beban pengeluaran pendapatan melonjak sangat signifikan.
Menurut Lembaga Kajian Ekonomi dan Kebijakan Publik, Celios, seperti yang saya kutip dari Kompas.id, yang akan terpapar lebih telak dari kebijakan tersebut adalah kelas menengah dibandingkan kelompok miskin.
Masyarakat kelas menengah akan mengalami tambahan pengeluaran paling besar yakni Rp 354.293 per bulan atau Rp 4,2 juta per tahun. Sementara, pengeluaran masyarakat rentan akan bertambah hingga Rp 153.871 per bulan atau Rp 1,8 juta per tahun.
Implikasi Terhadap Pertumbuhan Ekonomi
Kenaikan PPN dan berbagai pungutan lainnya akan memicu efek berganda yang berdampak negatif pada pertumbuhan ekonomi.
Ketika harga barang dan jasa naik, daya beli masyarakat akan menurun. Hal ini akan mengurangi permintaan terhadap barang dan jasa, sehingga memaksa perusahaan untuk mengurangi produksi dan bahkan melakukan PHK.Â
Akibatnya, pertumbuhan ekonomi melambat, tingkat pengangguran meningkat, dan kemiskinan semakin meluas. Kondisi ini akan menciptakan lingkaran setan yang sulit diputus, di mana penurunan permintaan akan semakin memperburuk kondisi ekonomi.
Dampak Sosial terhadap Ketimpangan
Kenaikan harga-harga akibat berbagai kenaikan tarif dan pungutan baru akan memperburuk ketimpangan sosial.Â
Kelompok masyarakat berpenghasilan rendah dan menengah akan lebih terdampak karena proporsi pengeluaran mereka untuk kebutuhan pokok lebih besar dibandingkan dengan kelompok berpenghasilan tinggi.Â
Akibatnya, kelompok miskin akan semakin kesulitan memenuhi kebutuhan dasar, pun demkian dengan kelas menengah, mereka besar kemungkinan bakal terjerembab ke dalam jurang kemiskinan, sementara kelompok kaya relatif tidak terpengaruh secara signifikan.Â
Kesenjangan yang semakin lebar dapat memicu berbagai masalah sosial, seperti meningkatnya angka kriminalitas dan ketidakstabilan politik.
Harapan Kepada Pemerintah
Pemerintah seharusnya bisa lebih bijak dalam membuat kebijakan, bukan hantam kromo demi menambah penerimaan negara. Tak semuanya pungutan atau kenaikan tarif dilakukan dalam waktu yang hampir bersamaan.
Negara seharusnya hadir untuk memitigasi kesulitan ekonomi rakyatnya, alih-alih membanjiri masyarakat dengan berbagai kebijakan yang menguras habis dompet rakyatnya
Alternatif kebijakan perlu dipikirkan dan segera dilaksanakan, jangan asal pungut dan naikan tarif iuran ini itu.Â
Mungkin ada beberapa hal yang dapat dipertimbangkan antara lain antara lain, memperluas basis pajak, meningkatkan efisiensi belanja negara, dan memberikan insentif bagi sektor swasta untuk berinvestasi.Â
Dengan demikian, beban untuk menambah penerimaan negara dapat dibagi secara lebih merata, tak hanya "memeras rakyat" melalui pajak, pungutan serta kenaikan tarif. Â
Jika pemerintah tetap ngotot menerapkan kebijakan kenaikan pajak tanpa mempertimbangkan dampak sosial dan ekonomi yang luas, maka kita dapat memperkirakan bahwa kondisi ekonomi Indonesia akan semakin memburuk.Â
Kesenjangan sosial akan semakin lebar, pertumbuhan ekonomi akan melambat, dan tingkat kemiskinan akan meningkat. Oleh karena itu, kita perlu mendesak pemerintah untuk mengubah kebijakan fiskal yang lebih pro-rakyat.Â
Penutup
Tahun 2025 benar-benar berpotensi menjadi "annus horribilis" bagi perekonomian Indonesia dan sebagian besar masyarakatnya.
Banjir bandang berbagai pungutan dan tarif secara serentak akan menciptakan tsunami sempurna yang mengancam daya beli dan kesejahteraan rakyat.Â
Jika pemerintah tidak segera mengubah arah kebijakan, kita akan menghadapi konsekuensi yang sangat serius, mulai dari melambatnya pertumbuhan ekonomi hingga meningkatnya ketimpangan sosial.Â
Sudah saatnya kita bersuara dan mendesak pemerintah untuk mengambil langkah-langkah konkret dalam melindungi kepentingan rakyat.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H