Simpang siur rencana kenaikan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) terus berlanjut, setelah keukeuh-nya Kementerian Keuangan untuk tetap melaksanakan salah satu amanat Undang-Undang Harmonisasi Peraturan Perpajakan, sesuai jadwal dan pernyataan sebaliknya yang dikatakan oleh Ketua Dewan Ekonomi Nasional (DEN) Luhut Binsar Pandjaitan, bahwa kebijakan baru perpajakan tersebut akan ditunda.
Berita terbaru menyebutkan, menurut hasil pertemuan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dengan Presiden Prabowo, kenaikan PPN 12 persen pada 1 Januari 2025 akan tetap dilaksanakan, tetapi dengan penerapan selektif.
"Hasil diskusi kami dengan pak presiden, kita akan tetap ikuti UU jika PPN berjalan (sesuai) jadwal waktu yakni 1 Januari 2025, tapi kemudian diterapkan secara selektif," kata Ketua Komisi XI DPRI-RI Misbakhun seperti dilansir CNNIndonesia, Kamis (05/12/2024).
"Diterapkan secara selektif" yang dimaksud adalah kenaikan PPN 12 persen hanya akan menyasar komoditas barang dan jasa berkategori mewah saja. Di luar itu PPN-nya tetap 11 persen.
Nah, pertanyaan kemudian, komoditas barang dan jasa yang mewah itu, definisi dan batasannya apa saja?
Batasan Barang Mewah Itu Apa Saja
Secara umum, menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI); me*wah /mwah/ a serba banyak; serba indah; serba berlebih (biasanya tentang barang dan cara hidup yang menyenangkan).
Sementara investopedia berpendapat, barang mewah adalah barang yang sebenarnya tidak diperlukan, tetapi dianggap sangat diinginkan dalam suatu budaya atau masyarakat tertentu.
Dalam terminologi ekonomi, seperti dipaparkan Kimberly Caserta dari Boston College di Jurnalnya bertajuk "Luxury Demand," barang mewah adalah barang yang permintaannya lebih besar daripada peningkatan pendapatan. Barang mewah juga dikenal sebagai barang superior atau barang kelas atas.
Mengutip penjelasan Badan Fiskal Kemenkeu, dalam konteks pajak, barang kena pajak yang tergolong mewah adalah:
- Barang yang bukan kebutuhan pokok.
- Barang yang dikonsumsi masyarakat tertentu
- Barang yang umumnya dikonsumsi masyarakat berpenghasilan tinggi,
- Dan barang yang dikonsumsi untuk menunjukan status.
Jadi intinya, barang mewah bisa diterangkan sebagai produk atau jasa yang memiliki nilai lebih daripada sekedar fungsi utilitasnya. Selain memenuhi kebutuhan, barang mewah memberikan kepuasan psikologis dan sosial penggunanya.
Selain mengacu kepada definisi-definisi seperti ini, dalam menentukan suatu barang itu mewah atau bukan sehingga bisa terkena pajak, umumnya Pemerintah akan menyesuaikan dengan perkembangan zaman dan kebijakan fiskal yang akan atau sedang berjalan.
Sebagai contoh, mungkin saja perangkat telepon seluler di masa tahun 2000-an hingga pertengahan dekade lalu, bisa dikategorikan sebagai barang mewah, tetapi tidak bisa dikategorikan demikian untuk saat ini, di mana era teknologi sudah merambah ke semua bidang, sehingga penggunaannya sudah seperti keniscayaan, tak ada lagi nilai lebih dari fungsinya.
Namun demikian, bisa saja argumen ini diinterpretasikan berbeda oleh pihak lain, terutama pemerintah sebagai pemungut pajak.Â
Nah, jika benar "konsep kenaikan PPN" ini yang akan dilaksanakan, untuk menghindari multitafsir tentang kategori "mewah," ada baiknya Pemerintah mengatur secara rigid dan menerangkan serta menuliskannya dengan jelas barang-barang mewah apa saja yang terkena kenaikan PPN 12 persen.
Dan ditegaskan pula, "di luar barang-barang yang disebutkan dalam aturan tersebut, maka tarif PPN-nya tetap 11 persen."
Karena aturan yang menegaskan klasifikasi barang mewah tersebut tak ada dalam Undang-Undang HPP, lazimnya, mengacu pada hirarki aturan di Indonesia, akan menggunakan semacam petunjuk pelaksanaan sebuah undang-undang yang diatur dalam peraturan pemerintah atau peraturan menteri, sepertinya dalam konteks pajak akan menggunakan Peraturan Menteri Keuangan (PMK).
Harapan Kepada Pemerintah
Sebenarnya kenaikan tarif PPN menjadi 12 persen dengan menggunakan skema apapun, tak dikehendaki oleh sebagian besar masyarakat Indonesia, mulai dari pengusaha besar, UMKM atau rakyat jelata seperti saya, mengingat kondisi ekonomi saat ini tidak baik-baik saja, berbagai indikator ekonomi menunjukan hal itu.
Sebagian besar kondisi ekonomi masyarakat Indonesia terutama kelas menengah dan masyarakat kecil ini "tongpes," ketika dibebani lagi dengan kenaikan PPN, ya bakal semakin kempes lah kantong kita.
Menurut Adhi S. Lukman Ketua Umum Gabungan Pengusaha Makanan dan Minuman Seluruh Indonesia (GPMMI), seperti yang dilansir CNNIndonesia, Kenaikan 1 persen PPN akan berpengaruh langsung ke harga makanan dan minuman yang di jual di pasar, nilainya kenaikannya bisa mencapai 2-3 persen.
Itu hanya salah satu contohnya saja, ada banyak lagi keberatan yang disampaikan oleh berbagai kalangan.
Pemerintah sejatinya tahu benar keberatan-keberatan dari masyarakat berserta beragam argumen terkait kenaikan PPN ini, tapi agak aneh mereka bersikeras untuk tetap menaikan PPN, meski coba diakali dengan berbagai skema yang nantinya menjadi seperti jalan tengah untuk mencari titik keseimbangan, daya beli masyarakat tetap terjaga, kondisi dunia usaha stabil, tapi penerimaan negara tetap sehat.
Pertanyaannya, seberapa besar sih tambahan penerimaan negara dari kenaikan PPN selektif khusus untuk barang mewah ini? dan satu lagi, bagaimana kemungkinan terjadinya spillover, atau limpahan dampak kenaikan PPN khusus barang mewah ini terhadap kenaikan barang-barang non-mewah lainnya?
Saya kira ini yang harus dijawab dulu oleh Pemerintah. Apabila memang tambahan penerimaan negara dari skema kenaikan PPN khusus barang mewah ini signifikan dan spillover terhadap barang non-mewah nol, atau nyaris nol, ya go a head dilaksanakan.
Namun jika yang terjadi, sebaliknya, penambahan terhadap penerimaan negara tidak cukup signifikan dan spillover nya cukup besar, ya tunda dulu lah, kenaikan PPN itu secara keseluruhan, tak perlu dipaksakan.
Transparansi dari Pemerintah mengenai hal tersebut menjadi penting, supaya publik Indonesia bisa memahami kebijakan yang dipilihnya tersebut.
Bukan karena egoisme atau keengganan Pemerintah untuk mengubah satu pasal dalam Undang-Undang HPP semata, tapi karena kebijakan menaikan PPN secara parsial tersebut memberikan manfaat yang lebih besar bagi perekonomian Indonesia secara keseluruhan.
Penutup
Rencana kenaikan PPN selektif khusus barang mewah ini menghadirkan lebih banyak pertanyaan daripada jawaban.Â
Ketidakjelasan definisi barang mewah, potensi dampak negatif terhadap perekonomian, dan seberapa besar pengaruhnya terhadap penerimaan negara menjadi tantangan besar yang harus diatasi pemerintah.Â
Implementasi kebijakan ini memerlukan perencanaan yang matang, transparansi yang tinggi, serta partisipasi aktif dari seluruh pemangku kepentingan agar tidak membebani masyarakat dan justru merugikan negara.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI