Mohon tunggu...
Efwe
Efwe Mohon Tunggu... Administrasi - Officer yang Menulis

Penikmat Aksara, Ekonomi, Politik, dan Budaya

Selanjutnya

Tutup

Financial Artikel Utama

ST013, Peluang dan Solusi Investasi di Tengah Badai Kenaikan PPN 12%

25 November 2024   07:06 Diperbarui: 28 November 2024   19:21 353
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi: Pexels/energepic.com

Rencana kenaikan tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dari 11 persen menjadi 12 persen mulai 1 Januari 2025 oleh Pemerintah akan memiliki dampak signifikan terhadap berbagai aspek kehidupan, mulai dari perekonomian secara keseluruhan hingga tingkat individu.

Kebijakan yang oleh Pemerintah dianggap harus dilakukan karena merupakan amanat Undang-Undang nomor tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan, mendapat sorotan negatif dari masyarakat, mengingat efeknya tadi

Dampak terhadap Perekonomian

Secara makro, dampak positif dari kenaikan PPN dapat mendorong pertumbuhan ekonomi dalam jangka pendek. Hal ini karena penerimaan negara meningkat, sehingga pemerintah memiliki dana yang lebih besar untuk membiayai pembangunan infrastruktur, program sosial, dan berbagai proyek lainnya. 

Namun, efek jangka panjangnya perlu diperhatikan dengan cermat. Apalagi di tengah situasi ekonomi yang tidak sedang baik-baik saja, seperti kita tahu dan rasakan, konsumsi masyarakat dalam tren penurunan.

Kenaikan PPN akan meningkatkan biaya produksi bagi pelaku usaha. Biaya produksi yang lebih tinggi ini akan cenderung diteruskan kepada konsumen dalam bentuk harga jual yang lebih tinggi. 

Akibatnya, daya beli masyarakat akan semakin tergerus, dan konsumsi rumah tangga yang menjadi komponen utama pertumbuhan ekonomi berpotensi semakin melambat.

Tanpa kenaikan PPN sekalipun, data Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukan pertumbuhan konsumsi rumah tangga domestik melambat dalam tiga kuartal terakhir, pada kuartal I 2024 tercatat tumbuh 4,91 persen, kuartal selanjutnya 4,93 persen dan kuartal III sebesar 4,91 persen.

Selain itu, kenaikan PPN juga dapat memicu inflasi. Ketika harga barang dan jasa secara umum meningkat, maka tekanan inflasi akan semakin besar. 

Inflasi yang tinggi dapat mengurangi daya saing produk dalam negeri di pasar global, dan pada akhirnya dapat menghambat pertumbuhan ekonomi nasional secara keseluruhan.

Dampak terhadap Masyarakat

Bagi masyarakat, dampak langsung dari kenaikan PPN adalah meningkatnya beban pengeluaran. Harga barang dan jasa yang semakin mahal akan semakin mengurangi daya beli masyarakat. Hal ini akan berdampak pada penurunan kualitas hidup, terutama bagi masyarakat berpenghasilan rendah.

Selain itu, kenaikan PPN juga dapat memperlebar ketimpangan sosial. Masyarakat berpenghasilan tinggi cenderung tidak terlalu terpengaruh oleh kenaikan PPN karena mereka memiliki daya beli yang lebih kuat. 

Sebaliknya, masyarakat berpenghasilan rendah akan lebih merasakan dampaknya karena proporsi pengeluaran mereka untuk kebutuhan pokok lebih besar.

Dampak Sektoral

Kenaikan PPN juga akan memberikan dampak yang berbeda-beda pada berbagai sektor perekonomian. Sektor yang sangat bergantung pada konsumsi masyarakat, seperti sektor ritel dan pariwisata, akan lebih terdampak. 

Sementara itu, sektor yang lebih berorientasi pada ekspor, seperti sektor manufaktur, mungkin tidak terlalu terpengaruh jika permintaan global tetap kuat.

Intinya, meskipun kenaikan PPN dapat meningkatkan penerimaan negara dan mendorong pertumbuhan ekonomi dalam jangka pendek. 

Namun, di sisi lain, kenaikan PPN juga dapat mengurangi daya beli masyarakat, memicu inflasi, dan memperlebar ketimpangan sosial

Dengan situasi seperti ini, tentu saja dampak kenaikan PPN akan terjadi terhadap investasi langsung maupun investasi portofolio.

Dampak Terhadap Iklim Investasi.

Kenaikan tarif PPN tidak hanya berdampak pada konsumen, tetapi juga memiliki implikasi yang cukup signifikan terhadap iklim investasi.

Ketika pemerintah memutuskan untuk menaikkan tarif PPN, maka secara otomatis biaya produksi bagi perusahaan akan meningkat. Hal ini terjadi karena perusahaan harus menanggung beban pajak yang lebih besar atas setiap produk atau jasa yang mereka jual.

Dengan meningkatnya biaya produksi, perusahaan akan dihadapkan pada beberapa pilihan sulit. 

Pertama, mereka bisa memilih untuk menyerap kenaikan biaya produksi ini, yang berarti margin keuntungan mereka akan tergerus. Hal ini tentu saja akan mengurangi daya tarik perusahaan bagi investor. 

Kedua, perusahaan bisa memilih untuk menaikkan harga jual produk atau jasanya. Namun, kenaikan harga ini bisa berdampak negatif terhadap permintaan konsumen, terutama ketika daya beli masyarakat sedang lemah, seperti saat ini terjadi di Indonesia.

Penurunan permintaan akibat kenaikan harga akan berdampak pada omzet perusahaan. Ketika omzet menurun, perusahaan akan cenderung mengurangi produksi, bahkan mungkin melakukan pemutusan hubungan kerja (PHK).

Kondisi ini akan menciptakan ketidakpastian di pasar dan membuat investor enggan untuk menanamkan modalnya.

Selain itu, kenaikan PPN juga dapat menyebabkan perubahan pola konsumsi masyarakat. Konsumen cenderung akan lebih berhati-hati dalam mengeluarkan uang dan mencari alternatif produk yang lebih murah, makanya seruan frugal living seperti yang saat ini berlangsung menjadi sangat relevan.

Hal ini akan mendorong perusahaan untuk bersaing lebih ketat, yang pada akhirnya bisa menekan margin keuntungan.

Ketidakpastian kebijakan juga menjadi faktor yang perlu diperhatikan. Kenaikan PPN seringkali diartikan sebagai sinyal bahwa pemerintah sedang mencari sumber pendapatan tambahan.

Hal ini bisa menimbulkan ketidakpastian di kalangan investor mengenai kebijakan fiskal pemerintah di masa depan. Akibatnya, investor akan cenderung lebih berhati-hati dalam mengambil keputusan investasi.

Dampak Terhadap Investasi Portofolio

Kenaikan tarif PPN, akan menyeret pasar keuangan pada ketidakpastian. Kinerja portofolio investasi akan menjadi pertaruhan dalam situasi seperti ini, terutama di pasar saham.

Kenaikan tarif PPN, akan mendorong meningkatnya biaya produksi, alhasil margin keuntungan perusahaan akan cenderung menciut, yang akan tercermin dalam laporan keuangan perusahan, dan pada gilirannya akan memengaruhi harga saham.

Investor, yang seringkali menggunakan laporan keuangan sebagai salah satu acuan dalam mengambil keputusan investasi, akan lebih berhati-hati dalam menilai prospek perusahaan yang terkena dampak kenaikan PPN.

Kondisi ini akan memicu ketidakpastian, lantaran volatilitas harga saham dalam jangka pendek akan meningkat semakin cepat dan cukup dalam.

Hal ini dapat terjadi lantaran investor akan menjadi lebih sensitif dan mereka biasanya cenderung melakukan aksi jual dalam volume cukup besar.

Bagi investor yang memiliki portofolio yang terdiversifikasi, fluktuasi harga saham ini mungkin tidak terlalu berdampak signifikan.

Namun, bagi investor yang memiliki konsentrasi investasi pada sektor-sektor yang sangat sensitif terhadap kenaikan PPN, risiko kerugiannya akan lebih besar.

Nah, agar terhindar dari kerugian yang signifikan investor perlu melakukan diversifikasi portofolio investasinya, selain tentu saja memilih saham-saham perusahaan yang memiliki fundamental yang kuat dan prospek pertumbuhan yang positif.

Strategi dan Instrumen Investasi yang Tepat Di Tengah Isu Kenaikan PPN.

Ketika menghadapi kenaikan PPN, salah satu pendekatan yang paling bijaksana saat berinvestasi adalah melakukan diversifikasi portofolio. 

Dengan menyebarkan investasi ke berbagai jenis aset, seperti saham, obligasi, reksa dana, atau bahkan properti, risiko kerugian dapat diminimalisir. Jika satu jenis aset mengalami penurunan nilai, kemungkinan aset lainnya dapat memberikan imbal hasil yang positif.

Lantas bagaimana dengan investor yang memiliki dana terbatas dan tak mampu berinvestasi pada ragam instrumen.

Salah satu yang menjadi pilihan adalah Surat Berharga Negara (SBN) atau Reksadana. Keduanya lebih aman dibandingkan saham.

SBN baik yang konvensional maupun ritel sering dianggap sebagai instrumen investasi yang aman dan relatif terlindungi dari potensi kerugian di tengah situasi perekonomian yang penuh ketidakpastian akibat kenaikan PPN seperti saat ini.

Apalagi imbal hasil yang ditawarkan SBN seringkali cukup kompetitif. Terlebih lagi dalam kondisi inflasi yang potensial naik akibat kenaikan tarif PPN, tingkat bunga riil (tingkat bunga nominal dikurangi tingkat inflasi) bisa menjadi lebih menarik.

Selain itu, SBN juga acapkali dianggap sebagai instrumen lindung nilai (hedging) terhadap inflasi. Ketika nilai mata uang melemah akibat inflasi, nilai SBN cenderung lebih stabil.

Oleh karenanya, tak heran jika SBN ritel yang penawarannya masih dibuka hingga 4 Desember 2024 bulan depan, yakni Sukuk Tabungan seri ST013 disambut cukup antusias oleh para investor.

Menurut catatan salah satu mitra distribusi yang telah bekerjasama dengan Pemerintah Bibit.Id, sejak dibuka pada 8 November 2024 hingga tulisan ini dibuat Minggu 24 November 2024 Pukul 22.04, nilai Pemesanan SBN berbasis Syariah seri ST013 telah mencapai Rp11,72 triliun.

Padahal masa penawaran instrumen keuangan berbasis syariah yang memiliki imbal hasil antara 6,40 hingga 6,50 persen per tahun ini masih sekitar 10 hari ke depan.

Dan sebagai catatan, Direktorat Jenderal Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko Kementerian Keuangan (DJPPR-Kemenkeu) hanya menyediakan kuota nasional sebesar Rp15 triliun dan hingga kini belum ada informasi akan menambah kuotanya lagi.

Artinya sisa kuota ST013 hanya tersisa Rp3,28 triliun.

Hal ini mencerminkan bahwa instrumen seperti SBN ritel ini memang merupakan investasi safe haven di tengah ketidakpastian ekonomi menjelang kenaikan PPN.

Penutup

Secara keseluruhan, kenaikan PPN merupakan kebijakan yang kompleks dengan dampak multidimensi. 

Meskipun pemerintah berharap kenaikan PPN dapat meningkatkan penerimaan negara dan mendorong pertumbuhan ekonomi, namun dampak negatifnya terhadap daya beli masyarakat, inflasi, dan iklim investasi tidak dapat diabaikan. 

Bagi investor, kenaikan PPN menghadirkan tantangan tersendiri. Namun, dengan strategi investasi yang tepat, seperti diversifikasi portofolio dan pemilihan instrumen investasi yang sesuai, investor tetap dapat meminimalkan risiko dan meraih keuntungan. 

Dalam kondisi seperti ini, instrumen investasi seperti Surat Berharga Negara (SBN) dan reksa dana menjadi pilihan yang menarik karena menawarkan tingkat keamanan yang lebih tinggi dibandingkan dengan instrumen investasi lainnya

https://www.djppr.kemenkeu.go.id/sbnritel

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Financial Selengkapnya
Lihat Financial Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun