Oleh sebab itu, saat ini Kementerian ESDM dan kementerian terkait lainnya sedang melakukan kajian tentang hal itu.Â
Mengutip keterangan Menteri ESDM, Bahlil Lahadalia, ada tiga jenis formulasi peralihan subsidi energi yang sedang digodok.
Pertama, mengalihkan subsidi energi berbasis kuota menjadi BLT secara keseluruhan. Opsi ini akan bersifat tanpa pengecualian, transportasi umum, rumah tangga miskin, dan rumah tangga kaya akan menikmati harga energi yang sama, dengan kompensasi si miskin mendapat BLT, si kaya tidak.
Kedua, subsidi energi berbasis kuota masih akan diterapkan, tetapi khusus untuk fasilitas umum seperti transportasi, tapi selebihnya dialihkan menjadi BLT.
Ketiga, masih digodok dan dimatangkan, tetapi yang jelas seluruh opsi-opsi tersebut akan membuat harga energi lebih tinggi dibandingkan dengan harga energi bersubsidi saat ini.
Dan kenaikan harga energi tersebut akan langsung dirasakan oleh seluruh masyarakat Indonesia, sementara penerima BLT yang dianggap layak hanyalah mereka yang masuk dalam Data Terpadu Kesejahteraan Sosial (DTKS) yang validitasnya masih diragukan.
Andaipun misalnya validitas datanya sudah cukup baik, penerimanya adalah masyarakat yang masuk dalam kategori miskin
Bagaimana dengan kelas menengah dan calon kelas menengah yang juga sangat terdampak kenaikan harga energi, tetapi tidak mendapatkan BLT?Â
Ya, bakal semakin terpuruk dan jangan-jangan langsung terjun bebas masuk ke jurang kemiskinan.
Padahal, motor penggerak utama perekonomian Indonesia adalah kelompok kelas menengah ini. Jika ini yang terjadi, dampaknya akan meluas hingga menurunkan pertumbuhan ekonomi Indonesia.
Belum lagi jika kita hubungkan dengan tingkat inflasi, kenaikan tarif PPN dan naiknya harga energi pasti akan mendongkrak tingkat inflasi, apalagi jika dilakukan pada waktu yang tidak berselang lama. Ujungnya, bakal merembet tidak hanya menjadi urusan ekonomi, tetapi berkembang menjadi masalah sosial dan politik.