Mohon tunggu...
Efwe
Efwe Mohon Tunggu... Administrasi - Officer yang Menulis

Penikmat Aksara, Ekonomi, Politik, dan Budaya

Selanjutnya

Tutup

Money Artikel Utama

PPN Naik dan Berbagai Potensi "Kenaikan" Lainnya, Kado Pahit Bagi Rakyat Indonesia

17 November 2024   06:56 Diperbarui: 17 November 2024   22:03 320
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Tahun akan segera berganti, lembaran baru mulai membentang. Namun, bayang ketidakpastian justru semakin nyata terlihat. Optimisme yang seharusnya mengiringi pergantian tahun, harus terganjal realita ekonomi yang cukup mengkhawatirkan. 

Berbagai kebijakan ekonomi yang direncanakan akan diterapkan di tahun 2025, berpotensi menjadi "kado pahit" bagi masyarakat Indonesia.

Kenaikan Tarif PPN Menjadi 12 Persen

Realita pertama yang harus dihadapi rakyat Indonesia, begitu menginjak awal tahun 2025 adalah kenaikan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dari 11 persen menjadi 12 persen. 

Kepastian kenaikan PPN ini secara tegas dinyatakan oleh Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati. Rencana kenaikan PPN menjadi 12 persen akan tetap dilaksanakan mulai 1 Januari 2025. Jadi, begitu lonceng pergantian tahun berbunyi, saat itu pula masyarakat Indonesia akan "menikmati" tarif PPN baru.

"Jadi kami di sini sudah dibahas dengan Bapak Ibu sekalian (Komisi XI), sudah ada UU-nya, kita perlu siapkan agar itu bisa dijalankan," ujarnya saat Rapat Kerja dengan Komisi XI DPR RI di Jakarta, seperti dilansir Kompas.com, Rabu (12/11/2024).

Penetapan tarif baru PPN tersebut merupakan amanat Undang-Undang nomor 7 tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan. Kenaikan tarif PPN dilakukan secara bertahap, dari 10 persen menjadi 11 persen pada tahun 2022 dan kemudian menjadi 12 persen di awal tahun 2025.

Memang, seperti diatur dalam UU HPP dan aturan pelaksananya seperti PMK nomor 116/PMK.010/2017, tidak semua barang dan transaksi terkena kenaikan tarif PPN. Di antaranya, bahan-bahan kebutuhan pokok, mulai dari beras, kedelai, garam konsumsi, gula, daging, telur, susu, sayuran, buah-buahan, hingga bumbu-bumbuan.

Kemudian, dalam pasal lain di UU HPP juga disebutkan bahwa transaksi jasa transportasi, pendidikan, dan kesehatan tidak akan terkena kebijakan kenaikan tarif PPN. Untuk lebih rincinya, bisa dilihat dalam Pasal 4A dan 16B UU HPP.

Menteri Keuangan Sri Mulyani dalam Rapat Kerja dengan Komisi XI DPR RI di Jakarta, Rabu (12/11/2024). (KOMPAS.com/ ELSA CATRIANA)
Menteri Keuangan Sri Mulyani dalam Rapat Kerja dengan Komisi XI DPR RI di Jakarta, Rabu (12/11/2024). (KOMPAS.com/ ELSA CATRIANA)

Namun demikian, sejumlah pengamat dan pelaku ekonomi tetap menilai kenaikan tarif PPN tersebut, pada praktiknya, akan membebani dan menekan ekonomi masyarakat Indonesia yang sedang dalam tren melemah. Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) dalam pernyataannya menyebutkan bahwa kenaikan PPN berisiko menekan daya beli masyarakat yang memang sudah lemah menjadi lebih loyo lagi.

"Artinya, kalau pelemahan daya beli masyarakat ini terus dibebani oleh kebijakan fiskal yang kontraproduktif," ujarnya dalam catatan Apindo, seperti dilansir CNBCIndonesia.

Senada dengan Apindo, lembaga think tank ekonomi INDEF menyampaikan kenaikan tarif PPN akan menekan daya beli hingga konsumsi kelas menengah.

"Kalau pelaksanaannya (PPN naik jadi 12 persen) dilakukan pakai kacamata kuda, tanpa melihat realitas ekonomi yang sedang turun ini, ya kita mungkin akan mulai berbicara pertumbuhan ekonomi di bawah 5 persen tahun depan," katanya, seperti dilansir CNNIndonesia.com.

Tantangan Ekonomi Lainnya

Selain kenaikan PPN yang pasti dilakukan tahun depan, masyarakat Indonesia juga kemungkinan akan dibebani tantangan ekonomi lain, hasil dari berbagai kebijakan ekonomi Pemerintahan baru Prabowo-Gibran maupun warisan pemerintahan sebelumnya. Di antaranya, perubahan pola subsidi energi, kenaikan iuran BPJS Kesehatan, hingga pengenaan cukai minuman berpemanis.

Perubahan Formulasi Subsidi Energi

Untuk urusan subsidi energi ini, jargon yang digunakan pemerintah adalah subsidi tepat sasaran. 

Seperti yang selama ini diterapkan di Indonesia, subsidi energi menggunakan skema subsidi terbuka, yang berbentuk pengurangan langsung harga jual suatu barang atau jasa.

Subsidi terbuka seperti yang dilakukan pada energi ini, kelemahan utamanya tidak tepat sasaran. Akibatnya, banyak pihak yang tidak berhak menikmatinya, sehingga menimbulkan ketidakadilan dan juga membebani anggaran negara.

Mengutip dari data Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), alokasi anggaran untuk subsidi energi tahun 2025 mencapai Rp203,4 triliun, dengan perincian BBM dan LPG Rp113,6 triliun dan listrik Rp90,22 triliun.

Agar subsidi energi lebih efisien dan efektif, Presiden Prabowo memerintahkan kementerian terkait untuk sesegera mungkin melakukan kajian untuk mengubah skema subsidi energi menjadi subsidi tertutup, yang lebih tepat sasaran dan mengurangi beban negara

Artinya, masyarakat yang dianggap layak mendapatkan subsidi nantinya akan langsung mendapat bantuan langsung tunai (BLT).

Namun, konsekuensinya harga energi yang selama ini ditetapkan setelah disubsidi akan menjadi naik, karena nilainya akan sebesar harga keekonomiannya, yang oleh masyarakat akan dianggap sebagai kenaikan harga.

Oleh sebab itu, saat ini Kementerian ESDM dan kementerian terkait lainnya sedang melakukan kajian tentang hal itu. 

Mengutip keterangan Menteri ESDM, Bahlil Lahadalia, ada tiga jenis formulasi peralihan subsidi energi yang sedang digodok.

Pertama, mengalihkan subsidi energi berbasis kuota menjadi BLT secara keseluruhan. Opsi ini akan bersifat tanpa pengecualian, transportasi umum, rumah tangga miskin, dan rumah tangga kaya akan menikmati harga energi yang sama, dengan kompensasi si miskin mendapat BLT, si kaya tidak.

Kedua, subsidi energi berbasis kuota masih akan diterapkan, tetapi khusus untuk fasilitas umum seperti transportasi, tapi selebihnya dialihkan menjadi BLT.

Ketiga, masih digodok dan dimatangkan, tetapi yang jelas seluruh opsi-opsi tersebut akan membuat harga energi lebih tinggi dibandingkan dengan harga energi bersubsidi saat ini.

Dan kenaikan harga energi tersebut akan langsung dirasakan oleh seluruh masyarakat Indonesia, sementara penerima BLT yang dianggap layak hanyalah mereka yang masuk dalam Data Terpadu Kesejahteraan Sosial (DTKS) yang validitasnya masih diragukan.

Andaipun misalnya validitas datanya sudah cukup baik, penerimanya adalah masyarakat yang masuk dalam kategori miskin

Bagaimana dengan kelas menengah dan calon kelas menengah yang juga sangat terdampak kenaikan harga energi, tetapi tidak mendapatkan BLT? 

Ya, bakal semakin terpuruk dan jangan-jangan langsung terjun bebas masuk ke jurang kemiskinan.

Padahal, motor penggerak utama perekonomian Indonesia adalah kelompok kelas menengah ini. Jika ini yang terjadi, dampaknya akan meluas hingga menurunkan pertumbuhan ekonomi Indonesia.

Belum lagi jika kita hubungkan dengan tingkat inflasi, kenaikan tarif PPN dan naiknya harga energi pasti akan mendongkrak tingkat inflasi, apalagi jika dilakukan pada waktu yang tidak berselang lama. Ujungnya, bakal merembet tidak hanya menjadi urusan ekonomi, tetapi berkembang menjadi masalah sosial dan politik.

Ditambah lagi, ada kemungkinan tahun 2025 mendatang, iuran BPJS Kesehatan akan naik untuk menghindari defisit yang semakin membengkak, serta hampir pasti penerapan cukai minuman berpemanis akan diberlakukan, sehingga harga jualnya pun dipastikan bakal lebih mahal.

Harapan Kepada Pemerintah

Kita, termasuk saya, anda, dan pemerintah, tidak bisa menutup mata, tahun 2025 di depan bakal penuh tantangan. 

Kenaikan PPN dan harga energi, ditambah lagi potensi kenaikan iuran BPJS Kesehatan dan berbagai kebijakan lain yang berbau "kenaikan harga atau tarif" akan semakin membebani masyarakat. 

Pemerintah harus berpikir keras, tidak bisa hanya mengandalkan solusi instan dan normatif.

Menaikkan PPN dan mengalihkan subsidi energi memang bisa menambah pundi-pundi negara, tapi jangan sampai mengorbankan daya beli masyarakat. 

Subsidi tepat sasaran harus benar-benar tepat sasaran, bukan hanya sekedar jargon. Jangan sampai yang miskin semakin miskin, yang menengah terjun ke jurang kemiskinan.

Pemerintah harus proaktif, tidak bisa hanya mengandalkan BLT. Berdayakan UMKM, dorong sektor riil, ciptakan lapangan kerja, dan permudah investasi. Jangan biarkan kenaikan harga melumpuhkan perekonomian. Jaga inflasi tetap terkendali, baik dengan kebijakan fiskal maupun moneter.

Yang tak kalah penting, pemerintah harus transparan dan komunikatif. Jelaskan dengan bahasa yang mudah dipahami mengapa kebijakan ini diambil, apa manfaatnya, dan bagaimana dampaknya. 

Jangan biarkan masyarakat diliputi kecemasan dan ketidakpastian. Ingat, kepercayaan masyarakat adalah modal utama untuk menghadapi badai ekonomi, yang diciptakan sendiri.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun