Mohon tunggu...
Efwe
Efwe Mohon Tunggu... Administrasi - Officer yang Menulis

Penikmat Aksara, Ekonomi, Politik, dan Budaya

Selanjutnya

Tutup

Money Artikel Utama

Daya Beli Lemah tapi Tiket Konser Jutaan Rupiah Ludes Terjual, Paradoks Ekonomi Indonesia

8 Oktober 2024   16:11 Diperbarui: 9 Oktober 2024   14:21 471
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Menjelang akhir masa pemerintahan Presiden Jokowi, beberapa indikator ekonomi Indonesia menunjukkan tanda-tanda pelemahan. 

Deflasi yang telah berlangsung selama lima bulan berturut-turut, dari Mei hingga September 2024, dianggap sebagai salah satu indikator melemahnya daya beli masyarakat.

Data Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan Indeks Harga Konsumen (IHK) turun sebesar -0,12 persen pada awal Oktober 2024, lebih dalam dibandingkan bulan sebelumnya yang sebesar -0,03 persen.

Pertumbuhan ekonomi Indonesia pada kuartal II 2024 juga tercatat melambat, menjadi 5,05 persen, lebih rendah dibandingkan kuartal I 2024 yang mencapai 5,11 persen.

Indikator lain yang memperkuat tesis pelemahan ekonomi adalah menurunnya indeks Purchasing Managers Index (PMI) Manufaktur yang telah berada di posisi kontraksi selama tiga bulan berturut-turut.

PMI Manufaktur memiliki rentang nilai antara 0-100, di mana angka di atas 50 mengindikasikan ekspansi pertumbuhan sektor manufaktur meningkat, sedangkan di bawah 50 menunjukan kontraksi atau penurunan aktivitas manufaktur.

Data PMI Manufaktur Indonesia yang dirilis S&P menunjukkan angka di bawah 50 sejak Juli 2024 hingga September 2024. Juli 49,3, Agustus 48,9, dan September 49,2, angka ini menandakan penurunan aktivitas manufaktur.

Menurut Paul Smith, Direktur Ekonomi S&P Global Market Intelligence, hal ini disebabkan oleh melemahnya permintaan global akibat lesunya perekonomian dunia.

Kondisi ini diduga menjadi pemicu meningkatnya angka Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) di Indonesia. Kementerian Ketenagakerjaan (Kemenaker) mencatat kenaikan jumlah PHK pada September 2024 menjadi 52.993 tenaga kerja.

Penjualan kendaraan bermotor, yang sering dijadikan indikator kondisi ekonomi, juga menunjukkan tren penurunan. 

Data Gabungan Industri Kendaraan Bermotor Indonesia (Gaikindo) per Juni 2024 menunjukkan penurunan penjualan kendaraan roda empat sebesar 10,8 persen menjadi 498.767 unit dan roda dua sebesar 23,9 persen atau sebesar 2.777.389 unit.

Sejumlah analis industri bermotor menyatakan bahwa hal ini dipengaruhi oleh melemahnya daya beli masyarakat.

Terkikisnya kekuatan konsumsi kelas menengah juga menjadi sorotan. Data Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) menunjukkan penurunan proporsi kelas menengah dalam struktur penduduk Indonesia menjadi 17,44 persen pada tahun 2023, anjlok dari 21,24 persen pada tahun 2019.

BPS juga melaporkan penurunan jumlah kelas menengah Indonesia dari 57,3 juta orang pada tahun 2019 menjadi 47,85 juta orang pada tahun 2024.

Meskipun indikator-indikator tersebut menunjukkan potensi pelemahan ekonomi, Indonesia masih jauh dari resesi karena paling tidak dalam empat kuartal terakhir pertumbuhan ekonomi masih positif.

Namun,di tengah data perekonomian Indonesia yang cenderung temaram seperti warung remang-remang, kita dihadapkan pada fakta yang cukup paradoksal dan sangat menarik untuk dicermati.

Meskipun daya beli masyarakat Indonesia dianggap melemah dan volume kelas menengah terus berkurang, tetapi nyaris seluruh acara konser-konser artis-artis internasional maupun domestik yang mematok harga tiket hingga jutaan rupiah, laris manis tanjung kimpul, ludes, bahkan berebut untuk mendapatkannya.

Terakhir Konser musisi asal Amerika Serikat John Legend yang dilaksanakan pada Minggu 6 Oktober 2024 kemarin, yang kisaran harga tiketnya, termurah Rp900 ribu hingga Rp5,5 juta ludes diserbu masyarakat

Fenomena ini memunculkan pertanyaan: Jika ekonomi Indonesia memang tengah lesu dan daya beli masyarakat melemah, mengapa setiap konser selalu dipenuhi penonton, padahal harga tiketnya tidak murah? Berbagai festival musik pun selalu tumpah ruah dipenuhi para penikmatnya. 

Tidak hanya konser musik, instrumen investasi seperti Surat Berharga Negara (SBN) ritel juga tetap diminati. Penawaran Sukuk Ritel seri SR021 berhasil memobilisasi dana masyarakat sebesar Rp24,22 triliun, dengan 14.778 investor baru. 

Padahal, menikmati konser dan berinvestasi biasanya dianggap sebagai kebutuhan tersier yang baru dipenuhi setelah kebutuhan pokok terpenuhi.

Fenomena ini menunjukkan kompleksitas ekonomi Indonesia, di mana indikator makro tidak selalu sejalan dengan kondisi mikro. Mungkinkah isu pelemahan daya beli tidak sepenuhnya benar, atau mungkinkah masyarakat mengubah pola prioritas belanja mereka?

Untuk menjelaskan fenomena ini, pendekatan ekonomi perilaku (behavioral economics) lebih relevan dibandingkan ekonomi tradisional. 

Ekonomi perilaku menggabungkan teori ekonomi dengan konsep psikologi dan ilmu sosial untuk memahami bagaimana individu membuat keputusan ekonomi. 

Ekonomi perilaku mempertimbangkan faktor rasional seperti untung rugi, serta faktor psikologis, sosial, dan emosional yang mempengaruhi keputusan kita

Keberadaan teknologi digital dan media sosial semakin mempertegas relevansi ekonomi perilaku dalam menjelaskan fenomena ini.

Sebelum era digital, pola konsumsi cenderung linier: daya beli melemah, konsumsi tersier dipangkas. Namun, kini media sosial telah mengubah perilaku konsumen.

Orang lebih mudah terpapar gaya hidup konsumtif dan terpengaruh oleh tren yang berkembang di media sosial. Fear of Missing Out (FOMO), social currency, dan herding behaviour menjadi faktor pendorong konsumsi, meskipun daya beli sedang melemah.

Media sosial, dengan algoritmanya yang cerdas, mampu menciptakan lingkungan di mana konser musik dan gaya hidup konsumtif lainnya terlihat sangat menarik dan diinginkan.

Hal ini memengaruhi persepsi masyarakat, terutama generasi muda, tentang apa yang dianggap penting dan berharga. Strategi pemasaran yang cerdik, seperti penawaran terbatas dan pembayaran cicilan, juga semakin memudahkan konsumsi.

Fenomena daya beli melemah tapi tiket konser laris dan investasi tetap tinggi mencerminkan paradoks ekonomi Indonesia di era digital.

Ekonomi perilaku memberikan lensa yang lebih tepat untuk memahami fenomena ini. Diperlukan kebijakan ekonomi yang tidak hanya berfokus pada indikator makro, tetapi juga memperhatikan dinamika perilaku konsumen di tingkat mikro.

Fenomena ini juga menjadi pengingat bagi kita untuk bijak dalam mengambil keputusan konsumsi dan tidak terjebak dalam perangkap gaya hidup konsumtif yang didorong oleh media sosial.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun