Fenomena ini menunjukkan kompleksitas ekonomi Indonesia, di mana indikator makro tidak selalu sejalan dengan kondisi mikro. Mungkinkah isu pelemahan daya beli tidak sepenuhnya benar, atau mungkinkah masyarakat mengubah pola prioritas belanja mereka?
Untuk menjelaskan fenomena ini, pendekatan ekonomi perilaku (behavioral economics) lebih relevan dibandingkan ekonomi tradisional.Â
Ekonomi perilaku menggabungkan teori ekonomi dengan konsep psikologi dan ilmu sosial untuk memahami bagaimana individu membuat keputusan ekonomi.Â
Ekonomi perilaku mempertimbangkan faktor rasional seperti untung rugi, serta faktor psikologis, sosial, dan emosional yang mempengaruhi keputusan kita
Keberadaan teknologi digital dan media sosial semakin mempertegas relevansi ekonomi perilaku dalam menjelaskan fenomena ini.
Sebelum era digital, pola konsumsi cenderung linier: daya beli melemah, konsumsi tersier dipangkas. Namun, kini media sosial telah mengubah perilaku konsumen.
Orang lebih mudah terpapar gaya hidup konsumtif dan terpengaruh oleh tren yang berkembang di media sosial. Fear of Missing Out (FOMO), social currency, dan herding behaviour menjadi faktor pendorong konsumsi, meskipun daya beli sedang melemah.
Media sosial, dengan algoritmanya yang cerdas, mampu menciptakan lingkungan di mana konser musik dan gaya hidup konsumtif lainnya terlihat sangat menarik dan diinginkan.
Hal ini memengaruhi persepsi masyarakat, terutama generasi muda, tentang apa yang dianggap penting dan berharga. Strategi pemasaran yang cerdik, seperti penawaran terbatas dan pembayaran cicilan, juga semakin memudahkan konsumsi.
Fenomena daya beli melemah tapi tiket konser laris dan investasi tetap tinggi mencerminkan paradoks ekonomi Indonesia di era digital.
Ekonomi perilaku memberikan lensa yang lebih tepat untuk memahami fenomena ini. Diperlukan kebijakan ekonomi yang tidak hanya berfokus pada indikator makro, tetapi juga memperhatikan dinamika perilaku konsumen di tingkat mikro.