Mohon tunggu...
Efwe
Efwe Mohon Tunggu... Administrasi - Officer yang Menulis

Penikmat Aksara, Ekonomi, Politik, dan Budaya

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Pilihan

Menyoal Efektifitas Rancangan Aturan Kemasan Rokok Polos dari Sudut Pandang Konsumen

20 September 2024   16:30 Diperbarui: 6 November 2024   11:56 457
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Pemerintah Indonesia sedang menggodok aturan baru yang dianggap akan mengubah wajah industri rokok nasional secara signifikan. Kementerian Kesehatan mengusulkan penerapan standarisasi kemasan rokok polos tanpa merek dalam Rancangan Peraturan Menteri Kesehatan (RPMK) sebagai aturan pelaksana dari Peraturan Pemerintah (PP) No 28/2024 tentang Peraturan Pelaksanaan Undang-Undang No 17 Tahun 2023 Tentang Kesehatan (PP Kesehatan).

Aturan ini akan mewajibkan semua kemasan rokok menjadi seragam, putih polos, tanpa menampilkan nama merek, logo, gambar, atau elemen desain lainnya, kecuali peringatan kesehatan bergambar yang lebih besar. Produsen rokok tidak lagi diizinkan menggunakan warna, gambar, atau desain yang menarik pada kemasan.

Tujuannya adalah mengurangi daya tarik rokok, terutama bagi anak-anak dan remaja, serta meningkatkan kesadaran tentang bahaya merokok. Kemenkes berharap langkah ini dapat berkontribusi pada penurunan prevalensi merokok di Indonesia, yang saat ini masih tinggi, mencapai 33,5% pada penduduk usia 15 tahun ke atas. Ini berarti, menurut data Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) 2022, ada sekitar 69,1 juta orang Indonesia adalah perokok aktif.

Namun, efektivitas aturan ini dipertanyakan. Bahaya merokok sudah diketahui luas, bahkan oleh para perokok, tetapi bagi mereka yang sudah kecanduan, upaya dari luar agar mereka menghentikan kebiasaannya tidak akan banyak berpengaruh.

Sebagai konsumen rokok, saya merasa kemasan polos tidak akan berdampak signifikan, apalagi mendorong perokok untuk berhenti. Rokok dinikmati karena rasanya, bukan kemasannya.

Kemasannya bisa saja polos, warna-warni, atau tanpa kemasan sekalipun, rasa rokok Dji Sam Soe tetaplah sama dengan rasa rokok Dji Sam Soe yang sudah dikenal.

Mungkin yang akan terjadi apabila aturan kemasan rokok polos ini jadi dilaksanakan adalah kebingungan konsumen, karena tidak ada penanda apa pun yang menunjukkan merek tertentu yang menjadi preferensi mereka.

Meskipun coba dibuat bingung, masyarakat Indonesia akan menemukan jalannya. Situasi ini akan mudah dimitigasi, baik oleh produsen maupun konsumennya.

Jangankan hanya urusan kemasan, kenaikan harga akibat cukai dinaikkan secara konstan pun mereka bisa akali.

Mari kita ambil contoh, dalam hal tarif Cukai Hasil Tembakau (CHT), Pemerintah menaikan cukai rokok cukup agresif dalam beberapa tahun belakangan, dalam upayanya untuk menekan jumlah perokok di Indonesia. Kenaikan cukai rokok itu normalnya akan berbanding lurus dengan kenaikan harga jual rokok di tingkat konsumen.

Ketika harga jual naik, maka konsumsi rokok seharusnya menurun. Hal tersebut terkonfirmasi lewat berbagai penelitian, misalnya penelitian The Union bertajuk "Tobacco Economics in Indonesia" menunjukkan tren umum di negara-negara maju, di mana kenaikan harga 10 persen berbanding lurus dengan penurunan konsumsi antara 2,5 persen hingga 5 persen.

Tapi di Indonesia, hasil penelitian ini tidak sepenuhnya valid. Ditataran praktis, naiknya harga jual rokok tidak serta merta menurunkan jumlah perokok atau volume penjualan rokok.

Sebagai konsumen tetap, saya tahu dan merasakan sendiri kenaikan harga rokok dalam 10 hingga 15 tahun terakhir selalu naik setiap tahunnya, dan berbagai data pun mendukung fakta itu.

Apalagi setelah munculnya Undang-Undang nomor 39 tahun 2007 tentang Cukai, menurut catatan Kementerian Keuangan, mulai dari tahun 2013 hingga tahun 2024 ini, hanya pada tahun 2014 dan 2019 tarif CHT tidak naik.

Namun ternyata kenaikan secara konstan tarif CHT yang berimbas pada tingginya harga jual rokok ini tidak serta merta menurunkan jumlah perokok dan konsumsi rokok.

Bahkan berdasarkan hasil Global Adult Tobacco Survey (GATS) 2021 yang diluncurkan Kementerian Kesehatan (Kemenkes), terjadi penambahan jumlah perokok dewasa sebanyak 8,8 juta orang dalam 10 tahun terakhir, dari 60,3 juta pada 2011 menjadi 69,1 juta perokok pada 2021.

Jumlah produksinya pun relatif stabil, paling tidak dalam 5 tahun terakhir, di kisaran 318 hingga 337 miliar batang per tahun.

Jadi apa yang sebenarnya terjadi dengan perokok Indonesia? Kok dihajar kenaikan harga terus-menerus tapi mereka tetap bertahan untuk tetap merokok?

Mereka lebih memilih mengakalinya dengan bergeser ke rokok berharga lebih murah dibandingkan merek rokok preferensi awal mereka.

Urusan harga saja yang sangat sensitif tidak mampu menggoyahkan perokok, apalagi hanya masalah kemasan polos.

Boleh saja data-data yang menunjukkan aturan kemasan rokok polos di berbagai negara memiliki dampak terhadap menurnnya prevalensi merokok, seperti di Australia. Aturan kemasan rokok polos, menurut penelitian mereka, berhasil menurunkan prevalensi merokok sebesar 0,55 persen per tahun; di Inggris mencapai 0,65 persen.

Namun sepertinya hal ini tidak akan terjadi di Indonesia. Mungkin penurunan akan terjadi, tetapi tidak akan lama, maksimal 3 bulan, karena produsen dan masyarakat butuh penyesuaian untuk menemukan titik ekuilibrium baru, selepas itu semuanya kembali ke posisi normal.

Jadi intinya, dalam kacamata konsumen, rancangan aturan kemasan rokok polos ini tak efektif untuk menurunkan tingkat prevalensi merokok, bahkan mungkin dampaknya tidak akan sesuai dengan tujuan aturan itu dibuat.

Meskipun aturan kemasan polos mungkin memiliki tujuan yang baik, namun dalam kenyataannya, hal tersebut tidak seefektif yang diharapkan. 

Pengalaman dan data menunjukkan bahwa perokok di Indonesia cenderung lebih adaptif terhadap perubahan, terutama jika berkaitan dengan harga dan aksesibilitas. Oleh karena itu, pendekatan yang lebih komprehensif, seperti edukasi yang lebih intensif tentang bahaya merokok dan program bantuan berhenti merokok yang lebih mudah diakses, mungkin akan lebih efektif dalam mengurangi prevalensi merokok di Indonesia.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun